Kamis, 29 Juni 2006

Millis Alumni SMA 2 Purwokerto

http://groups.yahoo.com/group/alumni-smadha
Buat Para Alumnus SMU N 2 Purwokerto, silahkan gabung disini. Mari berbagi informasi dengan rekan-rekan yang lain

Rabu, 14 Juni 2006

Suatu malam di Jawa Barat - Keteladanan


Malam itu disebuah daerah di jawa barat yang terkenal dengan udaranya yang dingin kami berkumpul membentuk sebuah lingkaran mengelilingi seseorang yang sangat kami hormati. Dengan khusyu kami mendengarkan nasehat yang beliau sampaikan. Salah satu nasehat yang begitu membekas di hati adalah tentang pentingnya sebuah keteladanan, tentang betapa pentingnya sebuah aksi nyata, bukan hanya sekedar kata-kata.

Beliau berkata bahwa salah satu cara untuk sukses adalah dengan belajar menulis dan berbicara. Boleh saja anda berargumen hingga mulut ber busa-busa, namun jika tidak seorangpun mempercayai apa yang anda katakan maka apalah artinya. Begitupun sebaliknya, silahkan paparkan sebuah teori aneh yang tidak bisa dilogika, atau buatlah sebuah kebohongan yang mendekati sempurna. Jika anda bisa membuat orang lain percaya maka perkataan anda tersebut bisa dianggap benar, tak peduli seberapapun ngawurnya. Karna itulah, kalau ingin meraih keberhasilan di dunia maka latihlah lidah anda.

Saya masih ingat peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu, saat pertama kali merasakan bangku perkuliahan. Saat itu saya diberi berbagai pemahaman oleh seseorang tentang pentingnya quantum learning dalam pelaksanaan pembelajaran. Saya diajari bahwa bangku kuliah itu beda dengan bangku SMA (walaupun sebenarnya bangku tersebut sama-sama terbuat dari kayu, tidak ada bedanya) sehingga cara belajarpun akan berbeda. Hebatnya, beliau juga memberikan landasan berupa dalil yang diambil dari Alqur'an atau Al-hadits untuk mendukung perkataannya. Ya, saat itu saat itu saya benar-benar bersemangat untuk melakukan Quantum learning dalam belajar. Saya kagum dengan perkataan beliau, dan sayapun memberikan kepercayaan penuh pada beliau.

Namun yang terjadi kemudian adalah, tak satupun perkataan tersebut yang bisa beliau laksanakan. Dan yang paling parah adalah beliau sama sekali tidak menyadarinya. Saat para mahasiswa disuruh untuk mengisi angket tentang perkuliahan yang diampu beliau berkata :

"Isilah dengan jujur, saya tidak akan tersinggung walaupun kalian mengkritik saya. Bukankah kita harus saling nasehat-menasehati, harus saling mengingatkan."

Dan kamipun berusaha untuk menuliskan berbagai kendala yang selama ini dihadapi, kemudian mengembalikan angket tersebut. Namun setelah seluruh angket beliau baca, beliau marah dan mengancam kami.

"Siapa yang sudah berani menulis hal-hal buruk tentang saya..? Memang di angket ini tidak tertulis siapa namanya, tapi awas kalau ketahuan. Saya bisa menyamakan tulisan tangan di angket ini, dengan tulisan kalian. tunggu saja"

Dan yang membuat saya trenyuh adalah, akibat yang ditimbulkan oleh sikap beliau ini. Selesai kuliah ada beberapa mahasiswa non-muslim yang mengeluh :

"Kenapa orang islam itu munafik ya gie, kalau bicara sih indah banget tapi perbuatannya berbeda 180 derajat"

Saya ingin membantah perkataan tesebut namun apa daya, saya benar-benar sudah kehilangan semangat untuk berbicara.

Contoh diatas terjadi didalam ruang lingkup kampus, dan contoh yang lebih ekstrim bisa kita lihat saat kampanye pemilu. Berbagai macam janji kosong, kata-kata manis, propaganda dan tipu muslihat licik bermain disana. Asal masyarakat percaya janji yang diucapkan maka cukuplah sudah. Soal janji tersebut bisa dilaksanakan atau tidak itu bukan masalah, kita hanya tinggal menyiapkan beberapa alasan yang dianggap masuk akal. Sungguh, sudah terlalu banyak orang di negeri ini yang "pandai" merangkai kata-kata mutiara namun terlalu sedikit orang yang bisa mengaplikasikannya.

Itulah yang membuat saya begitu menjunjung tinggi arti dari "keteladanan". Saya berpendapat bahwa jika anda adalah seorang praktisi beladiri yang ingin mengajari murid anda cara mematahkan benda keras, maka coba patahkan benda tersebut di depan mereka. Jika anda adalah seorang da'i yang ingin mengajak masyarakat untuk menjalin ukhuwah dan silaturahmi, berilah contoh terlebih dahulu. Coba untuk selalu bermurah senyum dan mengucapkan salam. Memang kita tidak selalu bisa untuk memberikan contoh pada semua yang ingin kita sampaikan, namun kalau ada sesuatu yang bisa kita lakukan maka tidak ada salahnya untuk mencoba.

Saya masih ingat bahwa dulu Tarmo pernah berkata:

"Jangan terlalu banyak bicara tentang sesuatu hal yang tidak kita kuasai. Giat-giatlah belajar agar kita mengusai topik yang ingin disampaikan. Sayap burung elang akan bertambah kuat hanya bila digunakan untuk terbang. Begitu pula dengan kita."

Dia juga berkata seperti ini:

"Jangan memberi nasehat yang kita tahu bahwa hal tersebut tidak bisa dilakukan karna seringkali kita berbicara hanya karena ingin dianggap pandai oleh orang lain. Dalam kasus ini, bisa tidaknya kata-kata tersebut dilakukan tidaklah penting. Asal kita dianggap hebat, maka itupun sudah cukup."

Ternyata dibalik sifat spontanitasnya, dia memiliki kebijaksanaan yang tak bisa diduga. Semoga dia cepat pulang kembali ke Indonesia agar dapat saya dengarkan lagi untaian kata bijaknya.

Malam itu disebuah daerah di jawa barat yang terkenal dengan udaranya yang dingin kami berkumpul membentuk sebuah lingkaran mengelilingi seseorang yang sangat kami hormati. Dengan khusyu kami mendengarkan nasehat yang beliau sampaikan.

Gambar diambil dari : Hp nokia 3660 milik adik, yang digunakan saat uji coba untuk memfoto tangan-lampu di kamar saya.

Sebuah cerita tentang jilbab



Untuk kesekian kalinya obrolan yang
awalnya kami isi dengan acara 'saling menasehati' berubah menjadi ajang
'saling kritik' dan kemudian berakhir dengan pertengkaran. Setelah puas
mencela sikap kekanak-kanakan serta ketidak-konsistenan yang saya
miliki, akhirnya tibalah giliran saya untuk memberi beberapa kritikan.
Tentu saja, saya harus memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Maka
dengan suara berat dan berwibawa saya bertanya :



"Lalu bagaimana dengan kamu sendiri, kenapa sampai saat ini kamu belum
juga mengenakan jilbab? bukankah berjilbab itu hukumnya wajib?"




Dan dengan mimik serius dia menjawab :



"Sebenarnya saya ingin Gie tapi saya merasa belum siap. Setelah
mengenakan jilbab, ada berbagai konsekuensi yang harus dihadapi, dan
saya belum bisa untuk itu. OK, sekarang bisa saja saya mengenakan
jilbab. Namun siapa yang bisa menjamin bahwa sebulan lagi jilbab
tersebut belum saya lepas? Kalau sudah begitu, bagaimana dengan
tanggapan orang? Jujur saja, saat kita memutuskan untuk berjilbab,
pasti banyak yang akan memuji. Tapi kalau memutuskan untuk melepas
jilbab, pasti akan ada yang berbicara jelek tentang kita. Hal ini akan
menjadi beban Gie, dan walaupun bisa dilalui tapi mungkin saja saya
akan menjalaninya dengan perasaan terpaksa. Karna itulah, saya ingin
merasa siap terlebih dahulu. Saya tidak ingin membohongi diri sendiri.
tolong doakan agar saya dapat segera memenuhi kewajiban ini".




Dan seperti biasa, sayapun turut berdoa agar Allah mengabulkan keinginannya. Amiin.



Sebenarnya saya merasa sedikit ragu dengan jawaban yang dia berikan.
Pertama kali saya bertanya seperti ini adalah saat kami berada di
semester pertama bangku perkuliahan, kurang lebih pada akhir tahun
2001. Dan anehnya, sampai sekarang jawaban yang saya dapat masih tetap
sama, tidak berubah satu hurufpun. Hingga seringkali saya bertanya pada
diri sendiri, apakah dia benar-benar ingin berjilbab? bukankah
ada kemungkinan bahwa jawaban yang dia berikan itu hanya digunakan
sebagai kedok untuk menutupi keengganannya? Ada berbagai alasan yang
membuat perempuan enggan untuk berjilbab. Perempuan ingin tampil
cantik, saya tahu itu. Dan saya juga tahu bahwa jilbab sering dianggap
"menghambat" perempuan untuk bisa tampil lebih cantik. Namun
alhamdulillah keraguan itu hanya bersifat sementara. Saya tahu
kejujuran yang dia miliki, dan saya tahu bahwa dia tidak akan berbohong
bila menyangkut masalah yang prinsipil semacam ini. Bukankah selama ini
dia hanya beberapa kali berbohong pada saya.



Diantaranya saat dia
berkata bahwa orang tuanya sedang membuat beberapa bunker bawah tanah
dihalaman belakang sembari menunjukkan timbunan tanah merah yang
menggunung disamping rumah. Juga saat dengan liciknya dia meyakinkan
saya bahwa di rumahnya akan ada "hajatan besar" sembari menunjukkan
cincin emas yang melingkar dengan indah di jari manisnya. Ya,
kebohongan yang aneh yang mungkin tidak bisa menipu anak TK, namun
entah kenapa dapat membuat saya percaya begitu saja tanpa sedikitpun
rasa curiga.



Hari mulai malam, dan sayapun harus pamit pulang. Sembari mengendarai
motor Jupiter-Z generasi kedua yang cicilannya masih belum lunas, saya
berpikir untuk memberikan sesuatu sebagai tanda bahwa saya mendukung
keinginannya (walaupun akhirnya tidak jadi saya berikan). Maka
sesampainya dirumah, didepan monitor 17 inch yang belum lama ini saya
beli, mulailah saya menulis sebuah cerita untuknya :



Alkisah disebuah halte bus terdapatlah seorang muslimah dengan jilbab
lebarnya, yang sedang bermandi keringat menahan panasnya udara ibukota.
Diantara belasan orang yang sedang berdesakan menunggu bus, ada seorang
laki-laki yang tiba-tiba menghampiri muslimah tersebut dan setelah
berbasa-basi sejenak kemudian dia bertanya :




"Di cuaca yang panas seperti ini kenapa anda masih menggunakan jilbab?
untuk apa anda menyiksa diri seperti ini? padahal katanya Tuhan maha
pemurah. Dia tidak akan mempersulit hambanya".




Kemudian wanita tersebut balas bertanya :




"Lalu bagaimana dengan anda sendiri? anda hendak pergi bekerja bukan?
kenapa anda tidak duduk santai dirumah dan bersenda gurau bersama
anak-istri? bukankah hal tersebut lebih menyenangkan daripada
menghabiskan waktu dan tenaga untuk bekerja dan berdesak-desakan di
tempat seperti ini?"




Pria tersebut menjawab :




"Tidak bisa begitu. Saya adalah seorang kepala rumah tangga, saya harus
bekerja demi keluarga. Saya menyayangi mereka. Saya mempunyai kewajiban
untuk membahagiakan mereka. Kalau tidak, maka saya bisa disebut
sebagai suami dan ayah yang tidak bertanggung jawab"




Akhirnya pembicaraan tersebut ditutup dengan kata-kata bijaksana dari sang muslimah :




"Begitu pula dengan saya. Kalau anda rela untuk bekerja keras hingga
bermandikan keringat untuk memenuhi kewajiban anda terhadap keluarga,
kenapa saya harus berkeberatan untuk menggunakan jilbab demi memenuhi
kewajiban terhadap "Dia", Zat yang menciptakan saya dengan penuh kasih
sayang...?"




Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah yang telah menganugerahkan
kekuatan pada mereka yang senantiasa ber'istiqamah', dalam memenuhi
kewajiban. Semoga Allah memudahkan jalan bagi mereka yang sedang
mencari petunjuk, amiin.




Gambar diambil dari sini





Kamis, 08 Juni 2006

Perkuliahan Yang Aneh


Purwokerto, 31 - Mei - 2006


Alkisah di ruang seminar sebuah Program Studi (belum menjadi fakultas) suatu perguruan tinggi di Purwokerto, terdapat beberapa mahasiswa yang sedang mengikuti kuliah Teknologi Basis Data. Kuliah ini diampu oleh seorang doktor yang merupakan alumni sebuah perguruan tinggi terkenal di Inggris Raya. Beliau baru saja pulang ke Indonesia setelah beberapa lamanya menghabiskan waktu untuk mengajar di berbagai negara, diantaranya Inggris dan Malaysia.


Kuliah berlangsung dengan kondusif, aman dan terkendali sampai akhirnya terjadilah sebuah sesi tanya-jawab yang berkedok sebagai quiz.


Pada quiz tersebut, bapak dosen yang saya hormati bertanya pada seorang mahasiswa kurus, pendek, berjerawat namun mempunyai wajah yang luar biasa tampan laksana bulan purnama.


Ya.., mahasiswa tersebut adalah saya.


- Hm, pada quiz kali ini saya ingin bertanya pada kalian. Coba berikan contoh sebuah database relasional yang sederhana. Togie, coba kamu jawab..!
+ Baik pak. Contoh database relasional adalah database yang dimiliki oleh sebuah minimarket. Disitu terdapat relasi antara database produk/barang yang mempunyai atribut nama, kode, jenis dan jumlah dengan database penjualan yang mempunyai atribut no_kode, tanggal penjualan, harga serta kuantitas.
- Lalu, relasi apa saja yang ada disana? apa saja yang bisa anda dapatkan dari database tersebut? coba jelaskan!
+ kita dapat mengecek stok barang yang terjual dan membandingkannya dengan database di gudang. Dan dengan cara tersebut kita bisa mengetahui apakah ada "pengutil" yang beraksi di minimarket. Bahkan kalaupun ada, maka kita bisa memperkirakan apakah ada orang dalam yang terlibat pak.
- caranya..?
+ Dengan membandingkan dengan hasil pengecekan yang biasa dilakukan beberapa saat sebelum minimarket tersebut tutup pak.
- Apa..? tidak realistis, coba kamu pikirkan lagi.  Untuk sementara saya beri kamu nilai 5.


Kemudian beliau mengajukan pertanyaan yang sama kepada mahasiswa yang lain. Pertanyaan tersebut berhasil dijawab dengan baik oleh mereka. Namun apa daya, jawaban tersebut masih belum dapat memuaskan beliau hingga dengan terpaksa ada mahasiswa yang berkata


+ Tapi di buku tertulis seperti itu pak, jadi hanya inilah jawaban yang kami anggap paling tepat
- Lho, tapi kan belum tentu pengarang buku tersebut lebih pintar dari saya. Anda boleh saja mengambil jawaban dari buku, tapi lihat dulu siapa pengarangnya
  *HALLAH*


Setelah menemui jalan buntu, beliaupun melemparkan kembali pertanyaan tersebut kepada saya. Kali ini saya dapat membuktikan bahwa jawaban yang tadi saya ajukan adalah realistis, bahkan saya beritahukan alamat minimarket yang menggunakan metoda tersebut agar beliau dapat membuktikannya sendiri. Walhasil beliaupun berkenan membenarkan pendapat saya dan menambah nilai saya menjadi 7. Lho, kenapa hanya 7..? Karna menurut beliau konteks database yang saya ajukan terlalu sempit. Beliau berkata bahwa sebuah database tidak boleh dibatasi oleh konteks tertentu.


Saya bingung karna seingat saya dulu beliau pernah berkata bahwa dalam mendesain sebuah sistem database kita harus membuat batasan-batasan atau konteks sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh client. Tetapi kenapa sekarang beliau berkata lain? Akhirnya adu argumenpun  terjadi dan beliau mau mengalah. Beliau mengakui bahwa contoh yang saya kemukakan sudah tepat dan sudah sesuai dengan konteks. Namun nilai yang diberikan tetap tujuh. Kenapa..? Karna contoh tersebut dinilai terlalu sederhana.


Beliau mau memberikan nilai sepuluh bila jawaban/contoh tersebut diberikan oleh mahasiswa D3, bukan mahasiswa S1. Apalagi kalau mahasiswa tersebut sangat murah senyum seperti saya (Apa hubungannya coba..?)


Lagi-lagi saya teringat akan peristiwa yang terjadi sebulan yang lalu. Saat itu ada seorang mahasiswa yang 'terancam' mendapat nilai nol dalam tugas karna memberikan contoh database yang dianggap terlalu "tinggi" dan terlalu "luas". Beliau memberi nasehat agar lain kali kami memberikan contoh yang sederhana saja, dan saya kira contoh yang tadi saya berikan sudah cukup sederhana. Saya ingatkan beliau akan hal ini, dan akhirnya beliau berkenan memberikan nilai 10 pada saya. Namun apa yang terjadi selanjutnya..? Beliau berkata bahwa nilai tersebut diberikan dengan syarat bahwa beliau akan menganggap saya sebagai mahasiswa D3 yang sama sekali tidak pantas untuk kuliah di S1. Dilain pihak, saya juga diberi kesempatan untuk tetap beliau anggap sebagai mahasiswa Strata satu dengan syarat bahwa nilai yang saya dapatkan tetap tujuh.


Uh, dengan lapang dada (bohong ding) akhirnya saya terima opsi kedua. Toh saya tidak terlalu dirugikan karna teman saya yang lain diberi nilai 3. Jadi.., yaaahhh!!!


Duh Gusti.., semoga Engkau senantiasa memberi kebaikan pada kami. Saya yakin beliau mempunyai alasan-alasan tertentu dalam bersikap seperti ini, yang mengandung kebaikan, yang tidak kami ketahui.