Jumat, 15 Juni 2007

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Umat Manusia Dalam Menikmati Aktifitas Belanja




Tuhan Maha Adil. Keadilan tersebut bisa diamati dengan lebih mudah jika kita mau berusaha untuk melihat, mendengar, merasa dan berpikir lebih dalam. Salah satu keadilan yang kebetulan sedang saya rasakan adalah tentang menikmati hidup, yang bisa diperoleh tiap orang, tanpa mempedulikan banyaknya harta yang ia punya. Dan secara lebih spesifik lagi, saya ingin bercerita tentang keadilan dalam berbelanja.

Secara sekilas, kita sering berpikir bahwa orang kaya lebih menikmati aktifitas belanja bila dibandingkan dengan orang miskin. Hal ini memang ada benarnya mengingat mereka-mereka itu, orang-orang kaya itu, bisa berbelanja dengan seenaknya sendiri tanpa dibebani oleh keterbatasan duit yang dipunyai. Mereka bisa dengan mudahnya beli baju di Singapura, beli karya seni di Bali, beli ukir-ukiran Jepara, makan siang di Prancis, makan malam di Swiss, lalu sebelum tidur pipis dulu di New York. Saya akui, semua itu memang menyenangkan, punya prestise tersendiri, tapi bukan berarti orang-orang "terancam" miskin (seperti saya) tidak dapat merasakan aktifitas belanja yang lebih nikmat dari mereka.

Lho.., ndak percaya..? OK, mari saya kasih bukti.

Pertama :
Coba lihat topi hitam yang saya pakai.

Lho, ndak kelihatan ya..?

Oh, maap. Ternyata topinya belum saya foto.

"Piin, pinjem HP kameranya dong Piin..!!!"

Ck, sudahlah, fotonya nanti saja.

Begini, bagi orang lain, topi ini, topi hitam ini, tidaklah istimewa. Lha wong harganya cuma 10.000 perak kok, beli di pinggir jalan waktu ada pemilihan kepala desa. Tapi walaupun begitu, bagi saya, topi ini punya kesan yang amat dalam. Kenapa..? Karena topi ini saya beli menggunakan duit yang didapat saat nyoblos kepala desa, berarti duit yang menyimbolkan meriahnya pesta demokrasi di desa saya. Dan jika memakai topi ini, saya seperti sedang berkata bahwa saya adalah seorang penegak demokrasi di indonesia.

Cuma itu..? Tentu tidak. Karena ternyata saat saya membeli topi ini, si gadis manis dari RT sebelah sedang berada di dekat pak penjual topi, menemani adiknya memancing ikan-ikanan. Dan topi ini saya beli setelah terlebih dahulu bertanya :

"Mbak, kalo daku pake topi pet ini gimana..?" --> Aneh
"Kalo penutup kepala mirip tukang ngobor..?" --> Gak pantes
"Kalo topi mancing..?" --> Lucu
"Yang ini..?" --> Wagu

Tapi saat saya mengambil topi hitam dan memakainya, si manis itu berkata :

"Wuih, bagus mas.., pantes"

Hahaha, begitulah. Akhirnya topi hitam ini langsung saya beli. Dan oleh sebab itu, bagi saya, kenikmatan memakai topi ini, melebihi nikmatnya memakai topi yang dibeli di negara manapun di muka bumi.


Kedua :

Foto di KTP saya juga punya kisah yang hampir sama. Kemarin, ibu memberi titah untuk mencetak foto sebab kami sekeluarga mau rame-rame bikin KTP. Dan saya, sebagai anak lelaki yang sedang menikmati aktifitas bermalas-malasan, merasa ogah. Tapi setelah mengingat bahwa beliaulah yang berkuasa dalam memberi uang saku, terpaksa titah tersebut saya turuti juga.

Dan coba tebak, ternyata di studio foto, ada mbak-mbak yang tak kalah manis bila dibandingkan dengan si gadis manis dari RT sebelah. Dan disana, mbak-mbak tersebut mengajak saya ngobrol dengan ramah. Mengantar saya ke ruang foto, memberi tahu tarif tiap ukuran foto, menerangkan alasan kenapa cetak foto digital dan foto biasa kok tarifnya beda, dan lain sebagainya. Yang lebih menyenangkan lagi adalah, mbak-mbak tersebut melakukan semua itu dengan tersenyum manis.

Ah Indahnyaa...!!!

Makanya, sekarang ini, saya bisa membanggakan KTP di dompet saya. Kenapa..? Karena foto KTP ini berasal dari mbak-mbak manis di studio foto Sampurna. Dan kenikmatan memiliki KTP ini tak bisa disaingi oleh KTP manapun di muka bumi.


Ketiga : Sebenarnya yang satu ini tidak berhubungan langsung dengan aktifitas belanja, tapi sebaiknya tetap saya tulis saja.

Alkisah, saat berulang tahun yang ke-21 saya berdebat hebat dengan si jutek berpipi besar (yang juga manis). Kenapa..? karena kemarin, saat dia ultah, dengan usaha dan kerja keras, saya membuatkan puisi dan kartu ucapan untuknya. Tapi saat saya ultah, dia kok adem ayem saja, gak ada tanda-tanda bakal mempersiapkan kado. Makanya saya protes.

Untunglah, selang enam bulan kemudian, saya mendapat bingkisan kado berupa baju batik, plus "Kartu Ucapan Selamat" yang isinya tentang "Memanfaatkan Waktu Dengan Baik". Yang kalau diterjemahkan kedalam bahasa indonesia yang disempurnakan, makna dibalik ucapan tersebut adalah "Inget Umur Gie, Kamu Sudah Tua, Kok Belum Lulus-Lulus Juga..? HaHaHa..!!!"

Pletak..!!

Tapi tak apalah. Walaupun begitu, bagi saya, kenikmatan memakai baju batik ini tak tertandingi oleh baju manapun di muka bumi.


Nah, coba anda lihat.., siapa bilang orang miskin tidak bisa berbelanja dengan nikmat..? Dan barang-barang Singapur..? Amerika..? Inggris..? Prancis..? Ck, gak bisa dibandingkan dengan baju, topi atau KTP saya.



Hikmah :
"Peristiwa" tidaklah penting, tapi bagaimana kita menyikapi (atau mengakal-akali) peristiwa tersebut
Kata-kata bijak dari China








Senin, 11 Juni 2007

Bedah Karya Sambil Telaah bareng FLP Purwokerto

Start:     Jun 17, '07 08:00a
Location:     Depan UPT Perpustakaan Pusat unsoed
Ikutan Yuuukk...!!!!

Rabu, 06 Juni 2007

Pegaturan Tamu pada Resepsi Pernikahan - versi pria

Alkisah, daku baru saja menghadiri resepsi pernikahan teman SMA. Ternyata disana, undangan pria dan wanita dipisah. Pria hanya berbaur dengan pria, sedang wanita dengan wanita. Sebenarnya, daku, yang baru pertama kali menghadiri resepsi model begini, merasa janggal. Tapi lambat-laun daku dapat mengerti alasannya, apalagi setelah seorang teman yang rada paham agama memberi penjelasan panjang lebar.

Berhubung daku bingung kalau harus mengulang penjelasan tersebut, maka daku tuliskan apa yang ada di benak pribadi saja, walau mungkin rada gak nyambung dengan urusan agama.

Begini, pemisahan tamu pria dan wanita dapat memberi keuntungan yang cukup lumayan bagi kita, selaku tamu pria. Keuntungan tersebut adalah :


1. Tidak ada gangguan dari kaum hawa
Seperti telah diketahui bahwa wanita adalah mahluk tercerewet di muka bumi. Andai dua orang wanita dikumpulkan di tempat sepi, pasti tempat tersebut jadi gaduh. Apalagi kalau wanita yang berkumpul jumlahnya banyak, entah suasana sebising apa yang bakal tercipta.

Nah, dengan dijauhkannya wanita dari kita, maka sebagai kaum pria, kita akan bisa lebih tenang dalam menghayati resepsi pernikahan, acara demi acara. Dan biarlah kebisingan itu hanya melanda ruang dimana wanita berada.


2. Bebas dari rasa malu
Begini, porsi makan laki-laki kan jauh lebih banyak dari wanita ya..? Sebenarnya itu wajar saja karena aktivitas fisik yang dilakukan jauh lebih berat. Maka dari itu, laki-laki harus makan banyak, agar punya tenaga. Tapi sayangnya, kalau disitu ada wanita, laki-laki jadi malu dan suka jaim. Cuma berani ngambil makan sedikit, takut mbok digosipin.

Dengan dipisahkannya wanita dari kita, maka kita dapat menghabiskan semua makanan yang ada, tanpa perlu takut lagi. Jangan malu, toh itu hal yang wajar. Ingat, kita ini laki-laki, butuh banyak bahan bakar


3. Bebas berekspresi
Dengan dipisahkannya kaum hawa, maka kita sebagai laki-laki dapat ngobrol sebebas-bebasnya, terutama soal dunia lelaki, dunia yang penuh tantangan. Gak dikekang oleh banyaknya aturan yg tampaknya dibuat khusus oleh kaum hawa untuk membatasi bahan obrolan kita.



Itulah beberapa keuntungan yang bisa kita dapat. Namun saya rasa, model pemisahan tersebut kurang maksimal, kurang kreatif.

Maksudnya begini, saya pikir, sebaiknya tamu undangan bukan hanya dipisahkan per-jenis kelamin, tapi juga berdasar umur, status dan hal lain.

Kenapa..? Karena acapkali, saat kita janjian untuk ketemuan di resepsian pernikahan teman, kita harus saling mencari. Dan setelah muter-muter kesana kemari, baru pada ketemu. Nah, dengan pemisahan secara terstruktur, hal itu tidak perlu terjadi.

Makanya, kelak kalau menikah, daku ingin memisahkan tamu pria dan wanita dengan struktur sebagai berikut :

  • Kaum pria ditempatkan di ruang I, wanita ruang II.
  • Pria lajang di petak no IA, wanita lajang di petak no IIA
  • Pria & wanita lajang berwajah rupawan di petak A.1
  • Pria & wanita lajang yg rupawan umur belasan di petak A.1.a
  • Pria & wanita lajang yg rupawan umur dua puluhan di petak A.1.b
  • Pria & wanita lajang yg rupawan umur tiga puluh keatas di petak A.1.c
  • Pria & wanita lajang berwajah biasa di petak A.2
  • Pria & wanita lajang berwajah biasa umur belasan di petak no A.2.a
  • .
  • .
  • .
  • Dan seterusnya sampai ke Pria & wanita lajang yang tidak laku-laku juga di petak paling akhir.


Bagaimana teknisnya..?

Gampang, nanti di pintu masuk, kita pasang alat sensor khusus buatan mahasiswa teknik elektro unsoed yang suka telat kuliah. Sensor tersebut berfungsi untuk mengidentifikasi para tamu. Apa jenis kelamin mereka, masih lajang atau tidak, umurnya berapa, rupawan atau tidak, lalu sensor tersebut secara otomatis akan menyebutkan di tempat mana mereka harus duduk.

Efektifkah..? Tentu saja. Andai kita harus datang ke resepsi pernikahan yang tamu undangannya berjumlah ribuan, lalu disana kita harus mencari teman-teman yang berangkat duluan, kita tinggal menebak saja. Oh, dia masih lajang, ganteng, berumur dua puluhan. Berarti dia berada di ruang sebelah kanan petak no IA.1.b

Kelebihan lain dari sistem ini adalah, para undangan yang masih lajang bisa hunting pasangan dengan lebih mudah. Misal : mereka ingin pasangan dengan status lajang, rupawan, berumur dua puluhan, maka mereka bisa pura-pura nyasar ke petak IIA.1.a, lalu secara sekilas menaksir siapa yang dia suka, dan saat resepsi selesai dia bisa bertanya identitas lengkap calon pasangan yang ditaksir tersebut pada daku. Biaya informasi tersebut cukup murah kok, hanya lima juta saja.

Dengan begini diharapkan agar resepsi pernikahan daku dapat menjadi pintu gerbang bagi perikahan orang lain. Diharapkan pula bahwa para jomblo yang meminta informasi jumlahnya banyak, agar daku bisa balik modal sebab untuk mengadakan resepsi pernikahan butuh biaya besar. Sekali dayung, tiga pulau terlampaui.

Oo, lalu bagaimana dengan undangan yang sudah menikah..? Adakah manfaatnya kalau mereka juga ditempatkan secara terpisah..?

Hm, tentu ada. Seperti yang daku sebutkan di muka, dengan dipisahkannya istri dari para suami, maka bahan obrolan para suami bisa lebih bebas. Yang tidak mungkin dapat sebebas itu jika istrinya terus-terusan ada disampingnya. Misal, obrolan seperti ini :

Eh, istri elu cantik ya..?
Iya sih, tapi sayang, ngoroknya dahsyat
Wuih, bener nih..? Kok gue baru tau. Tapi masih mendingan elu ding. Istri gue, udah gak cantik-cantik banget, eh jarang mandi pula
Lu serius..?
Yo'i. Bahkan kalau gak salah, terakhir dia mandi itu tiga bulan yang lalu deh


Lihatlah betapa baiknya daku, yang walaupun entah kapan bisa lulus kuliah (apalagi menikah) tapi sudah merencanakan segala sesuatunya untuk calon tamu undangan




Note :
Sebenarnya saat daku ceritakan hal ini pada pipin, dia langsung bisa menebak jalan pikiran daku selanjutnya

"maksud kamu aku mau ditempatkan di bagian pria lajang yang tidak laku..? Begitu Gie..?"

Hahaha.., Maap Pin.., Maap. Ini kan baru sekedar ide

Selasa, 05 Juni 2007