Senin, 19 Mei 2008

#4 Fighting Tragedy - Fall of the Jomblo's

 

“Gie, cepat pulang. Sebentar lagi, gerombolan tukang mabok mo pada kesitu..!!”

 

Sms itu masuk ke HP ku ketika sedang mengajari para jomblo. Membayar nadzar yang dulu pernah kuucapkan kala tergeletak tak berdaya diserang penyakit.

 

Di lapangan ini, mereka berbaris rapi. Memasang sikap kuda-kuda sambil mengatur nafas. Keringat membanjiri tubuh dan muka. Dada kembang-kempis tak beraturan. Bahkan ada yang sudah menyerah. Mengacungkan tangan sambil berkata : “Mas, pusing. Gak kuat..!!”

 

Lemah…

 

Padahal akupun melakukan semua yang mereka lakukan. Memberi contoh. Sama-sama berlatih. Tapi keringatku belum banyak menetes. Nafasku masih teratur.

 

Dari jauh, kulihat ada sepeda motor memasuki lapangan. Tukang mabok itu..? Ternyata bukan. Dua jomblo yang tadi ditinggal di warung datang menyusul.

 

“Gie, mereka mau kesini. Mereka marah. Katanya, mereka mau bikin kita babak belur..!!”

 

Yah, rasa setiakawanlah yang selama ini menyatukan hati kami. Bukannya menyelamatkan diri, Edi dan Kebo malah mendatangi kami, memperingatkan kami. Padahal kalau gerombolan ngaco itu muncul, mereka berdua bisa ikut kena akibatnya.

 

“Gak papa. Mending ditunggu aja.”

 

Benar. Tak ada hal yang bisa dilakukan selain menunggu. Selama ini kami terus lari. Menghindar. Bersembunyi. Mengalah. Itulah yang menyebabkan kami terus ditindas.

 

“Tenang aja. Yang ngajak kalian kesini kan daku. Jadi kalau ada apa-apa, kalian gak usah ikut campur.”

 

Banyak yang melibatkan orang lain kedalam masalah. Hal itu menyebabkan makin banyak pula orang yang terkena masalah. Itulah kenapa lebih baik segala sesuatunya diselesaikan sendiri. Dihadapi sendiri.

 

“Sekarang, ikut latihan dulu. Daripada bengong”

 

Dua orang itu tampak istimewa. Kebo “yang artinya kerbau” tubuhnya memang benar-benar mirip kerbau. Besar, hitam, penuh otot. Sedangkan Edi, walau tak begitu besar, tapi setiap harinya terbiasa mengangkat berton-ton ayam, dari pagi sampai malam. Tenaga dan ototnya telah terlatih. Kuharap mereka lebih kuat dari jomblo lain. Tapi apa mau dikata. Ternyata mereka malah lebih mengenaskan. Mereka hanya bertahan sebentar sebelum akhirnya berkata : “Hosh.., hosh.., istirahat dululah. Hosh.., hosh..!!”

 

Sial.

 

Jadilah kami beristirahat. Menatap beribu bintang di langit. Berdebat mengenai berbagai rasi bintang.

 

“Jit, itu yang namanya rasi Gemini. Rasi-nya orang romantis. Bentuknya mirip dua manusia yang sedang beradu punggung”

 

Itu kataku pada Ujit. Aku yang lahir dibawah rasi Gemini, harus dikenal sebagai orang romantis. Tak peduli bahwa sikapku sehari-hari jauh dari apa disebut romantis.

 

“Tapi mas, kok gak mirip manusia yah, malah lebih mirip layangan..?”

 

“Kalau daku bilang manusianya lagi main layang-layang, kamu mau apa..? Pokoknya itu rasi Gemini. Kalau toh bukan, anggep aja Gemini. Titik.”

 

Dan karena tidak berani membantah, mulailah mereka menciptakan berbagai rasi lain. Ada rasi belut, rasi undur-undur, rasi ikan gurameh, dan entah rasi apalagi. Yang jelas, tak satupun pernah disebut dalam ilmu astronomi.

 

Tak cukup sampai disitu. Lapangan di waktu malam, hembusan angin yang menggoyangkan pucuk-pucuk tanaman padi, suara katak yang meriuhkan telinga, peluh dan lumpur yang menempel di baju dan celana, mengingatkan kami pada memori masa kecil. Pada berbagai permainan dan kenakalan yang dulu kami lakukan. Yang sekarang, kami ingin kembali melakukannya. Ya, main pendekar-pendekaran.

 

Setelah tenaga terkumpul kembali, dimulailah apa yang bisa disebut sebagai tragedi. Sumber masalahnya adalah Edi, kuli ayam itu. Dia mendekati Narto yang sedang duduk termenung. Saat jarak mereka mencapai beberapa meter, dia mengambil ancang-ancang lalu meluncur dan menendang, tepat mengenai dada Narto hingga terjungkal ke belakang.

 

Yeeaahh…!! Begitu teriaknya. Dan Edi tertawa sambil mengacungkan dua kepalan tangannya ke udara.

 

Selanjutnya Alip yang sedang berdiri mematung (sejak patah hati dia jadi hobi mematung). Edi merangkak, mengendap-endap, menyembunyikan tubuhnya diantara rimbun rumput. Dia kembali mengambil ancang-ancang. Melompat dan menendang dagu Alip. Membuatnya jatuh terjungkal.

 

Yeeaahh…!! Dua tangan diacungkan ke udara.

 

Cimang dan kebo, yang bertubuh besar. Merekapun tak luput dari penganiayaan Edi. Kedua raksasa itu dibikin tumbang membentur permukaan bumi.

 

Yeeaahh…!! Dua tangan diacungkan ke udara.

 

Lagi-lagi alip. Saat dia sedang sparring dengan Tarso, Edi mendekati kedua orang itu. Dia merangkak bak singa betina yang sedang mengincar mangsanya. Menyembunyikan diri dengan sempurna sambil bergerak mendekat. Hingga sebelum Alip (sebagai mangsa) menyadari adanya bahaya, dua kaki yang terbang di udara sudah membentur dadanya dengan telak.

 

Yeeaahh…!!

 

Tarso tertawa. Tapi tawa itu tak berlangsung lama. Baru saja mau menutup mulutnya, Edi sudah mengejar. Tarso lari percuma sebab dalam waktu singkat ada dua kaki menghantam punggungnya. Dan seorang lagi, ambruk membentur bumi.

 

 

Hh..,

 

Penganiayaan..?

 

Kupikir, itulah yang sedang terjadi. Berbeda dengan dulu ketika bermain pendekar-pendekaran. Dimana kami berteriak : “Aku Wiro Sableng..!!”, “Aku Batman”, “Superman”, “Si buta dari Goa Hantu”, dan langsung memukul membabi buta. Saat itu kami hanya pura-pura memukul atau menendang. Bukan menendang beneran seperti sekarang.

 

Aku ingin mengirim sms pada Tarmo dan menyuruhnya kesini. Edi sudah menggila. Orang segila itu tak bisa disuruh berhenti. Para jomblo sedang berlatih agar bisa membela diri terhadap kesewenang-wenangan tukang mabok. Tapi kenapa disini mereka malah disewenang-wenangi Edi..?

 

Tarmo…

 

Orang gila hanya bisa dihentikan oleh orang yang lebih gila lagi. Dan di kampung, tak ada yang lebih gila dari Tarmo. Itulah sebabnya dia harus dipanggil untuk menghentikan kegilaan Edi. Walaupun mungkin setelah itu, dia ganti menganiaya para jomblo.

 

Tapi tunggu, ada yang aneh. Jika diperhatikan, ternyata mereka, yang menganiaya dan yang dianiaya, sama-sama tertawa. Tak tampak sedikitpun bahwa mereka marah. Bahkan terkadang, saat tubuhnya terkapar tak berdaya dan hanya bisa tergeletak menatap langit, mereka tertawa lepas. Melepaskan segala beban dan penat yang menumpuk di kepala. Meneriakkannya dari mulut yang terbuka, lalu membiarkan beban itu terbawa angin terbang entah kemana.

 

Benar. Ternyata, para jomblo tak selemah yang kukira. Mereka kuat. Mereka bisa bertahan menghadapi tendangan bak torpedo yang diluncurkan dari pantat kerbau. Memang mereka tak benar-benar bertahan. Ada yang selanjutnya berjalan dengan kaki setengah pincang. Ada yang bangkit sambil memegang perut. Ada yang tangannya keseleo. Tapi biar bagaimanapun, mereka kuat. Mereka tidak mengeluh. Mereka malah tertawa.

 

Ah, tapi peduli amat. Kalau memang harus ngawur, ya dingawurkan sajalah. Jangan tanggung-tanggung.

 

Di tengah sana, Ujit sudah terjerembab. Ditindih oleh Edi, Alip, Tarso, dan Kebo. Togie melepas kaos dan lari ketengah lapangan. Melompatkan tubuhnya, melayang di udara, lalu menindih mereka yang posisinya bak hamburger di meja restoran.

 

Huek…!!

 

Suara itu keluar dari mulut Ujit.

 

Yeeaahh…!! Dan dua tangan diacungkan ke udara.

 

 

 

Kamis, 15 Mei 2008

3 - Fighting tragedy - Asal muasal

 

Belakangan ini, para jomblo bisa bernafas lega. Warung tempat mereka berkumpul sudah bebas dari judi. Sikap tegas polisi ternyata bikin ciut nyali. Para penjudi, yang dulu berkata “jangan takut pada polisi” sekarang hanya bisa gigit jari. Sebab polisi sudah menggunakan sistem baru yaitu sistem paket. Artinya, bila ada penjudi yang tertangkap, tak bisa lagi ditebus secara perorangan, harus seluruhnya. Dan itu berarti, bila satu orangnya dikenai biaya dua juta, maka bila ada sepuluh penjudi, butuh duit duapuluh juta untuk menebusnya. Jumlah yang amat besar.

Begitulah, tak ada lagi perjudian. Tak ada mabok-mabokan. Yang ada paling-paling hanyalah men"suit-suit" gadis manis yang lewat di pinggir jalan. Tapi tak apa. Sebab hal itu memang mengasyikkan. Lagipula, terkadang, akupun suka ikut-ikutan. Tak baik bila mengkritik suatu perbuatan dimana aku sendiri ikut terlibat didalamnya.

Namun seperti kata pepatah : "Selesainya satu masalah, selalu disusul datangnya masalah baru". Belum lama kami menikmati masa kebebasan, segerombol pemabuk dari wilayah sebelah menjajah warung kami. Mereka, dalam setiap kedatangannya, hampir selalu meminta uang pada para jomblo. "Tambahan buat beli minuman" katanya. Dan bila ditolak, mereka tak segan-segan mengancam, menampar, memukul, serta menendang. Akibatnya, para jomblo (yang kondisi keuangannya sering minus itu) makin bertambah minus.

Solusi. Suatu cobaan biasanya sudah satu paket dengan solusinya. Sebagai manusia, kita bertugas untuk mencari, menemukan, dan mengaplikasikan solusi itu. Biasanya, Allah juga menyediakan solusi alternatif bila kita belum dapat menemukan solusi utamanya. Dan karena kami dikaruniai anugerah untuk tak bisa berpikir panjang, maka kami hanya bisa mencoba solusi alternatif yang paling mudah.

Awalnya kami berpindah markas ke pedalaman hutan bambu. Disana, berhubung tak bisa melakukan banyak hal, kami hanya mengisi waktu dengan mengobrol dan berdiskusi. Tapi disitulah untungnya. Gelapnya malam di hutan bambu membuat pikiran kami tertuju kepada alam kubur. Lolongan anjing liar yang memberdirikan bulukuduk membuat kami teringat pada Allah Yang Maha Melindungi. Sosok hantu yang sering muncul menyadarkan kami bahwa ada alam lain dibalik sana, alam para jin dan malaikat yang sering luput dari perhatian. Kepakan sayap kampret membuat kami merasa khusyuk saat berbagi cerita tentang berbagai hal dalam hidup.

Nikmat…

Sungguh, kami merasakan kenikmatan yang amat sangat sampai-sampai tidak teringat lagi pada tipisnya dompet ataupun status yang masih juga menjomblo.

Sayang kenikmatan itu tak berlangsung lama. Para pemabuk menemukan keberadaan kami. Kembali menyatroni kami. Menyuruh-nyuruh kami. Meminta uang kepada kami.

Memang, mereka tak pernah meminta uang padaku. Pernah sih, sekali. Tapi saat tak kuberi, mereka tak berani meminta lagi. Namun tak baik tunduk pada ego. Islam mengajarkan bahwa umat muslim itu bersaudara. Jika sesama muslim disakiti, maka kita merasakan sakit yang serupa. Itulah sebabnya kuajak para jomblo duduk-duduk diteras atas yang lampunya mati. Berpindah markas. Bisa dibilang, sebagai solusi sementara untuk menghindarkan mereka dari jangkauan para pemabuk.

Walau tidak lagi dibuai syahdunya hutan bambu, tapi teras ini bisa memberi suasana yang hampir serupa. Kota baturaden terlihat jelas dari sini. Kerlip lampu disana tampak indah. Belum lagi bila bulan purnama, kami bisa melihat agungnya gunung slamet yang berwarna hitam-kelabu. Kami juga masih bisa menikmati cericit kampret yang terbang bebas lalu berbelok saat hampir membentur tembok. Plus gelapnya rimbun bambu tak jauh diujung sana.

Mengobrol dinaungi malam, saling mencurahkan isi hati.

Gelap, sepi, dan secangkir kopi mengantarkan obrolan kami pada apa yang selama ini hanya menjadi milik rahasia. Topik yang kami bahas bertambah luas. Tak lagi dibatasi oleh zona yang disebut sebagai hitam, putih atau kelabu. Sebab sebagai manusia biasa, kami memang hidup dalam zona-zona itu. Tak ada salahnya saling membuka diri, seperti apa adanya diri kami.

Keamanan…

Bapak (yang galak) dan ibu (yang lebih galak lagi) membuat para pemabuk harus berpikir seribu kali bila ingin mencari gara-gara disini. Itulah yang kumanfaatkan, walau tak bisa berlangsung terus-menerus.

Suatu saat, ibu pasti mengeluhkan keberadaan para jomblo di rumah kami. Bapak (walau sebagai sesama laki-laki pasti bisa memaklumi) pun akan ikut mengeluh agar tidak diomeli ibu. Aku, sebagai anak, tentu harus menanggapi keluhan mereka. Sebab bila tidak, aku bakal diomeli. Dan mendengarkan omelan ibu, rasanya lebih menyiksa daripada dipalak oleh pemabuk manapun di muka bumi. Lagipula, para pemabuk juga pasti takkan berdiam diri. Mereka akan bertindak suatu saat nanti. Entah kapan. Itulah sebabnya aku harus menemukan solusi lain. Secepatnya.

Seperti yang telah diduga, beberapa hari kemudian para pemabuk merasa marah. Mereka berteriak dari pinggir jalan tanpa berani mendekat. Mereka mengirim seseorang (entah siapa) dan mengajak salah satu dari kami untuk turun. Yang dengan tenangnya kami jawab dengan : "kalau ada perlu, suruh mereka kesini". Dan orang itupun pergi.

Yah, seperti itulah. Aku tak bisa berbuat banyak. Disini, di teras ini, di rumah ini, para jomblo aman. Tapi pemerasan, pemaksaan, masih terus mengintai. Hingga akhirnya aku berpikir "Tak bisa terus seperti ini, mereka harus bisa melindungi diri. Berani berkata TIDAK"

Tunggu..,

Ah, nadzar itu…

Nadzar yang lama tertunda akibat kemalasanku…



pic : teras atas yg sampai sekarang lampunya masih mati

 

Rabu, 14 Mei 2008

#2 Road to nadzar - mereka yang diremehkan

 

 

Jujur, daku kecewa pada ulama hutan bambu. Mereka, yang dulu berjanji membantu renovasi mushalla, ternyata hanya memberi janji tanpa bukti. Padahal mereka adalah tulang-punggung kami. Merekalah yang punya koneksi ke banyak pejabat dan calon donatur. Tanpa mereka, kami tak bisa mencari link untuk meminta sumbangan. Kami tak bisa mengumpulkan dana untuk membeli material dan mengupah para tukang.

Daku ingin bersikap seperti penduduk kampung sebelah yang berjiwa pemberani. Bila ada warga yang hobi menceramahi orang padahal dia-nya jarang ke masjid, niscaya dia langsung diseret menuju masjid dan disuruh berceramah disana. Bila ada yang menggembar-gemborkan kata-kata indah (misal : sebagai muslim kita harus memberikan harta dan jiwa kita, seluruhnya untuk islam) maka besoknya dikirimi proposal permohonan bantuan dana, infak, atau semacamnya. Itulah sebabnya warga kampung sebelah tak banyak bicara, terutama para ulamanya. Sebab apa yang mereka katakan, nasehatkan, atau ceramahkan, biasanya harus diikuti oleh bukti nyata.

Berbeda dengan ulama hutan bambu. Mereka menyuruh kami meminta bantuan kesana-kemari tapi saat diminta ikut turun tidak ada yang mau. Katanya sih.., malu.

Berkali-kali kami mengeluh. Bahwa banyak calon donatur yang tidak percaya pada kami. Banyak yang curiga. Padahal hampir setiap minggu para calon donatur itu bertemu dengan para ulama. Kami ingin, agar saat bertemu itulah para ulama menyodorkan proposal, atau datang langsung ke rumahnya. Kalau toh malas datang sendiri, bolehlah kami temani. Kami jemput, kami antar kembali sampai rumah. Tapi mereka tidak mau. Katanya sih.., malu.

Ingin kami protes. Tapi rasanya tak pantas. Kami hanya manusia biasa. Tak layak memprotes ulama. Akibatnya, nasib mushalla hanya bergantung pada pak ustadz dan keluarganya (yang bekerja sebagai kuli merangkap petani miskin-tak punya koneksi), serta kuli sukarela (seorang mahasiswa tampan dan tiga remaja putus sekolah yang tak tahu apa-apa). Wajar kalau akhirnya renovasi berjalan tersendat. Tak mengalami kemajuan berarti. Tak punya dana untuk melanjutkan renovasi.

Ditengah segala kesulitan itu, bukannya memberi semangat atau membantu, para ulama malah memprotes lambatnya kerja kami. Menyalahkan kami. Bahkan kerap menghina kami. Sungguh, mungkin kondisi takkan separah ini bila mereka mau membantu kami. Memanfaatkan link yang mereka punya, ikut turun mencari bantuan dana. Tapi apa mau dikata.., mereka malu.

Untunglah, ternyata hidayah tidak dibatasi oleh status. Ketika renovasi benar-benar mandeg, ada beberapa warga yang walaupun jarang (dan tidak pernah) ke mushalla tapi mendadak hatinya tersentuh. Membuat kami (panitia renovasi) merasa salut dan terharu sampai ingin menangis..

  • Mas Budi, supir truk ayam. Beliau dekat dengan orang-orang partai. Beliau memanfaatkan kedekatannya untuk mencari sumbangan dana. Mengirimkan banyak proposal yang alhamdulillah di ACC sehingga uang kas perlahan mulai terkumpul.
  • Pak Darsiman, satpam RRI. Beliau meminta sumbangan kepada bosnya serta pada ulama atau da’i yang berceramah di RRI. 
  • Pak sahlan, penjual ketupat. Walau tak pernah menongolkan diri di mushalla, tapi entah kenapa tiba-tiba beliau datang meminta proposal dan pergi berjalan kaki menyusuri jalan setapak di kampung sebelah. Meminta sumbangan pada sanak-saudaranya.
  • Bethik, kernet truk. Beliau sering mengajak daku (serta Tarmo) berputar-putar meminta sumbangan kepada para bos batu-bata.

Anda ingin tahu status mereka dimata masyarakat..? mereka hanyalah sosok tidak penting. Orang-orang seperti mereka sering diremehkan. Mereka bukan alim-ulama. Baca buku iqro saja mungkin tak bisa. Mereka tak pantas disejajarkan dengan para ustadz, da’i, kyai, atau semacamnya. Tapi sungguh, bagi pak ustadz dan bagi kami, mereka adalah pahlawan. Mereka patut dijadikan teladan. Mereka berdakwah (atau beramal) bukan dengan kata, tapi tindakan nyata. Mereka jauh lebih menolong kami daripada para ulama yang hobi bercuap-cuap tanpa mau memberi bukti. Sebab sungguh, tak semua masalah bisa diselesaikan hanya dari balik meja atau mimbar.

Daku pernah bertanya kenapa mereka tiba-tiba memperhatikan nasib mushalla. Dan ternyata, biarpun jawabannya berbeda, tapi sama-sama sederhananya.

  • Sebab saya jarang beribadah. Makanya sekarang lagi mulai ngumpulin bekal biar kalau nanti mati, bekalnya sudah cukup”
  • Saya prihatin dengan nasib mushalla. Kalau diurus orang macam kamu, bisa-bisa sampai kiamatpun gak bakal rampung”
  •  “Dulu anak saya sering mengaji, sekarang sudah berhenti. Makanya saya ingin agar mushalanya cepat jadi, nanti anak itu tak suruh mengaji lagi"
  • Lha wong minta duit buat mabok aja aku berani, masak minta sumbangan buat renovasi mushalla yang imbalannya adalah pahala, kok aku gak berani..?”

Gara-gara itulah, sekarang daku tak lagi memperhatikan status. Bila mengunjungi berbagai forum dan bertemu dengan mereka yang hobi mengobral kata, daku sudah berani bersikap seperti penduduk kampung sebelah (walau masih belum berani berhadapan dengan ulama hutan bambu). Apalagi kalau orangnya suka menyalah-nyalahkan, menyesatkan, dan mengkafirkan atas nama islam. Daku berani meminta mereka menunjukkan bukti. Bila orangnya mampu secara materi, maka tanpa babibu langsung daku minta untuk menyumbang renovasi mushalla. Dan biasanya mereka gak mau. Entah kenapa.

Berbuat, berusaha, jangan banyak bicara. Belakangan ini, para jomblo mulai tertular pola pikir itu. Bila punya keinginan, mereka langsung berusaha meraih keinginannya itu. Tak lagi cuma bilang : “Ingin tobat, pintar, kaya, punya pacar” atau semacamnya Yang biasa bicara kotor, seolah mengunci mulutnya. Yang hobi mabok, tak lagi berjiwa botol. Yang suka berantem, sekarang lebih pemaaf. Mereka jadi lebih irit, murah senyum, ramah pada wanita, bahkan ada yang tumben-tumbennya kepergok lagi belajar..

Dengan prinsip itulah, akhirnya ada beberapa diantara mereka yang sudi ikut kerja bakti di mushalla. Juga ikut berusaha mencari sumbangan dana. Keterlibatan mereka merupakan anugerah tak terkira bagi kami, para kuli sukarela yang ditelantarkan oleh para ulama dan hampir kehabisan tenaga.

Yah, memang saat ini mushalla kami masih hancur tak berbentuk. Tapi biar bagaimanapun, bagi kami, mushalla itu tampak seelok istana. Sebab kami bangun menggunakan tetesan keringat, darah, dan airmata. Bukan dengan kata.

#1 Road to nadzar - untuk para kuli

 

Saat ini, mumpung tidak ada yang melihat, maka biarkan aku menangis. Bukan karena sedih, patah hati, ingin bunuh diri, atau hal remeh lainnya. Tapi karena haru. Ketika mengenang kembali apa yang pernah kita lalui, bersama.

Indah. Kata paling tepat untuk menggambarkan seluruh penderitaan kita. Bekerja dan berpikir keras dibawah bayang-bayang minimnya dana, ketidak-tahuan tentang teknik renovasi mushalla, laparnya perut dan keringnya dahaga, serta lusinan celaan, kritikan, dan sindiran dari para ulama.

Sebelum kalian datang, hanya satu hal yang membuatku bertahan menghadapi semua itu. Sebab ketika tergolek lemah diserang penyakit, aku telah bernadzar : Bahwa “Bila Allah menyembuhkanku, akan kurenovasi mushalla sampai dapat dihuni kembali. Juga mengajak para remaja untuk berlatih beladiri. Agar mereka bisa berkata : “TIDAK” ketika dimintai duit oleh para pemabuk.”

Alhamdulillah, ditengah kesulitan itu aku bertemu kalian. Para remaja putus sekolah yang sering dianggap sebagai sampah. Terus terang, awalnya akupun menganggap kalian hanya sekedar sampah. Yang hobi berseliweran sambil garuk-garuk kepala, seringnya menganggur tak mau kerja, bahkan sesekali kulihat mabok terkapar di pinggir jalan.

Memang di bulan ramadhan, kalian sering nongol di mushalla. Tapi apa pengaruhnya..? bagiku dan bagi orang lain, kalian tetaplah manusia tak berguna. Kalian datang hanya untuk sementara. Bila bulan suci tlah lewat, kalian kan kembali kabur entah kemana. Yah, walau akupun mungkin bernasib sama. Ikut kabur juga.

Panggok mushalla adalah tempat yang merubah persepsi itu. Kalian, yang tadinya sekedar bertanya kenapa aku tak mau dibayar, entah kenapa tiba-tiba mau ikut bekerja-bakti tanpa mempedulikan bayaran. Bukan hanya itu, selanjutnya kalian juga menemaniku berkeliling meminta sumbangan, begadang bareng pak ustadz membahas masalah dana, bahkan rela membelaku didepan para ulama yang tak mau membantu dan hanya bisa mencela.

Namun kalian hanya manusia biasa, sama sepertiku. Wajar bila lama-lama kalian mengeluh. Tentang renovasi yang mandeg berkali-kali, ulama yang makin lama makin menjauhi, minimnya dana, juga tentang fakta bahwa kita gak mudeng babar blas soal ilmu bangunan. Kuakui, sebenarnya akupun menyimpan keluhan yang sama. Dimana kemudian, kupaparkan beberapa hal kecil untuk mengesampingkan keluhan itu :

  • Acuhkan sikap ulama yang tak mau membantu renovasi mushalla. Sebab tugas mereka hanyalah mengobral kata, menasehati, mengkritik, menyindir. Biarkan mereka melakukan tugasnya. Agar mereka membiarkan kita yang tugasnya bekerja. Mari mencontoh pak ustadz saja. Yang terkadang rela bolos demi bekerja bakti di mushalla.
  • Usah pedulikan tak tersedianya makanan. Sebab kan kuhibahkan seluruh uang sakuku untuk konsumsi kalian. Berhenti ke warnet, rehat dari ngempi, ngirit uang bensin, stop beli rokok (sebab sudah dijatah mushalla). Kalau toh duitku habis, bisa kita petik rambutan di kebun Tarmo, panjat pohon kelapa milik juragan truk, jambu biji di samping mushalla, minta snack pada pak ustadz, atau utang cimol pada si mame (dia orang baik, insya Allah diberi).

  • Masa-bodo dengan ketidak-tahuan kita. Salahpun tak apa, yang penting kerja.

Begitulah. Kalian belajar kepadaku. Menganggapku lebih pintar, lebih tahu, lebih bersemangat, dan lebih dalam segalanya. Tapi itu salah. Pada kenyataannya: “Aku yang harus belajar pada kalian”.

Sering kalian berkumpul menungguku diluar rumah demi berangkat bersama menuju mushalla padahal rumah kalian lebih dekat. Rela datang menjemputku ketika mengecat kayu dan harplek. Membangunkanku kala bangun kesiangan.

Saat mengangkat batu, genteng, kapur, semen, mengaduk pasir, kalianlah yang bekerja sedangkan aku hanya bisa melihat sebab tenagaku tak kuat. Saat harus membeli material, membuat kopi, beli jajan, manjat pohon kelapa dan rambutan, metik jambu, nyuci piring, kalian jugalah yang kusuruh. Dan kalian tak pernah protes. Bahkan saat kubilang bahwa “mungkin tak ada bayaran”, kalian menjawab : “Tak apa, mas togie juga gak mau dibayar kok..!!”

Ketahuilah, aku sudah terikat nadzar. Seberat apapun rintangannya, harus kupenuhi nadzar itu. Berbeda dengan kalian. Menurutku, tak seharusnya kalian bekerja disini : yang sukarela, sering tak dapat makan, hanya dijatah sebungkus rokok murahan (itupun dibagi empat), malamnya keliling kampung meminta sumbangan, belum lagi harus memikirkan cara untuk meminimalisir pengeluaran. Tapi, dalam kondisi seperti itu, saat ditawari pekerjaan lain, kalian malah berkata : “Maaf tidak bisa, kami lagi sibuk ngurus mushalla..!!”

Sungguh, biarpun tidak pantas menjadi kuli teladan (banyak pekerjaan yang ngawur, banyak bermalas-malasan, sehabis bekerja bakti sering kompakan mensuit-suit gadis manis yang lewat di pinggir jalan) tapi tetap kuberi seluruh hormatku. Sebab biasanya, yang mengajak untuk melakukan semua kengawuran itu adalah aku.

Kini, biarpun masih mirip gudang, tapi mushalla sudah ada atapnya, sudah bisa dihuni. Dan berarti, satu nadzarku telah terpenuhi. Sekarang tinggal satu nadzar lagi. Aku ingin melunasi seluruh nadzarku mbok keburu mati. Jadi maaf bila aku harus pergi.

Aku pamit. Semoga Allah membalas ketulusan kalian.

Amiin..

 

Kutitipkan kata-kata ini di multiply. Untuk berbagi, untuk menghargai mereka - para kuli sukarela yang bekerja membanting tulang demi renovasi mushalla.

Minggu, 11 Mei 2008

Kuli Renovasi Mushalla - The Team


Gak tau ambil dimana
Pas MP5 player dipinjem Narto, pulangnya dah ada foto ini

Para kuli Sukarela
Yang bekerja tanpa mengharap bayaran
Plus beberapa foto tambahan

Jumat, 02 Mei 2008

kunang-kunang di kepala

 

Entah kenapa, pengalaman pagi ini terasa berbeda. Padahal pengalaman-pengalaman itu terbilang biasa, tak bisa disebut istimewa.

 

Mungkin sakitlah yang jadi penyebabnya. Sejak bangun tidur, mata ini seolah melihat beribu kunang-kunang beterbangan di udara. Ribuan kunang-kunang berwarna putih perak yang muncul silih-berganti. Saat melotot didepan layar monitor, warna perak tersebut berbaur dengan beragam warna lain. Membuat monitor warnet dipenuhi oleh warna-warna baru yang sepertinya baru saja diciptakan Tuhan. Untung warna campur-aduk itu tidak mengaburkan tulisan yang sedang daku baca. Sehingga daku tetap bisa berinternet ria.

 

Perasaan. Seolah kesadaran daku melayang, mengambang di awang-awang. Daku berada dalam kondisi setengah sadar. Bila saat ini daku ditanya : "Kamu siapa..?" Mungkin pertama kalinya bisa daku jawab : "Togie..!!". Namun jika terus-terusan ditanya, lama-lama kesadaran yang tinggal separuh ini bisa hilang. Hingga tanpa rasa malu lagi daku menjawab : "Ah, ganteng setengah mati"

 

Anda boleh menganggapnya bercanda tapi daku sungguh serius. Daku menyadari hal ini ketika tadi mampir ke perpustakaan komik. Ketika mbak-mbak yang jaga disitu bertanya : "Mas togie, kok mukanya pucat banget..? Lagi sakit ya..? Ingat lho mas, wajah nggak bisa berbohong..?". Saat itulah daku baru mengerti sebab-musabab dari munculnya beribu kunang-kunang yang daku lihat sejak pagi. Sebab saat berkaca di kaca spion motor vespa, daku sendiri sampai kaget. Sampai hampir berteriak  "Astaga.., mukaku pucat sekalii..!!"

 

Sayang, nama daku togie. Bagi daku, tak perlu mengeluh. Nikmati saja semuanya. Termasuk penyakit yang sedang bersarang di tubuh kita. Lagipula, daku merasa sehat-sehat saja. Tak ada rasa pusing, masuk angin, mual, atau semacamnya. Daku malah kok jadi senang, bahagia. Sebab walaupun sakit, tapi tubuh daku terasa seperti terbang, melayang. Lebih ngefly dari perasaan orang mabok atau yang habis menghisap ganja. Kayaknya sih.

 

Oh iya, belakangan ini daku hobi mengamati ekspresi manusia. Daku mempelajari perubahan mimik muka mereka lalu mengaitkannya dengan kondisi psikologis yang mereka punya. Setelah berlangsung sekian lama, ternyata hal itu membuahkan hasil. Saat ini, daku cukup bisa membedakan mana orang yang sedang dilanda masalah dan mana yang bergembira. Bahkan daku bisa menebak masalah apa yang menimpa mereka. Entah itu soal asmara, ekonomi, sekolah, kuliah, atau semacamnya. Berbekal hal itu, satu bulan belakangan ini, daku diangkat menjadi konsultan para jomblo. Daku kerap ditanya berbagai hal berkaitan dengan bagaimana caranya untuk memperoleh pacar. Menggunakan kemampuan daku untuk menilai sifat dan karakteristik gadis yang mereka incar lalu menyusun taktik dan strategi untuk melumpuhkan hati gadis tersebut.

 

Naas. Walau begitu, mereka tetap tidak laku-laku. Bukan karena analisa daku yang salah sebab setelah di crosschek, yang daku katakan pada mereka memang benar. Mungkin penyebabnya adalah karena mereka dikutuk oleh wanita sedunia agar lebih lama menjomblo. Atau pula karena daku tidak rela bila mereka meninggalkan status jomblonya dan meninggalkan daku hidup sendiri dalam kejombloan, tanpa teman seperjuangan.

 

Ah, sudahlah. Sebelum tulisan ini berubah menjadi lebih ngawur lagi, daku ingin bercerita tentang satu hal aneh yang ada kaitannya dengan menilai rona muka manusia.

 

Tadi, setelah menyalakan mesin vespa dan hampir beranjak pergi dari perpustakaan komik, daku melihat seorang gadis berjilbab. Dalam sekali lihat, hati daku sudah berkata : "Ada yang tidak beres". Dan ternyata benar. Dalam sekejap, gadis berjilbab itu mendekati motor daku dan tanpa babibu langsung memohon : "Mas, mau kemana..? Tolong anterin ke jalan besar dong. Biar bisa nunggu angkot ke terminal. Saya capek".

 

Seperti yang daku bilang, daku diangkat menjadi konsultan para jomblo karena persentase yang cukup tinggi dalam menilai manusia. Entah itu pria atau wanita. Dan saat itu pula, ketika gadis berjilbab itu memboncengkan tubuhnya di jok belakang motor vespa (tanpa permisi atau menunggu jawaban "Ya" dari daku), seketika itu pula daku menyimpulkan : "Dia gila". Kesimpulan itu diperkuat ketika gadis itu terus-terusan berkata bahwa dia kuliah di fakultas hukum. Diperkuat lagi oleh fakta bahwa setelah daku antar sampai ketempat yang dituju tiba-tiba dia berkata : "Mas, dirumah punya pembantu gak..? Saya mau dong, ngelamar jadi pembantunya mas. Saya ini kuliah di fakultas hukum lho..!!" GUBRAK..!!!

 

Entahlah, bukannya berprasangka buruk atau apa. Sebab tanpa perlu analisa pun, dengan mudah bisa dibedakan mana orang gila dan orang biasa. Yah, tapi tak masalah. Bukankah sebagai manusia kita memang harus menolong sesama..? Baik yang waras ataupun mereka yang divonis sebagai gila..?. Tapi semoga tebakan daku salah. Semoga dia hanya mahasiswi biasa, gadis biasa, yang tidak gila. Amin

 

Sayang, bantuan yang bisa daku beri hanya sekedar tumpangan diatas motor. Itupun gara-gara terpaksa sebab tanpa menunggu ijin dia sudah menempatkan tubuhnya di jok belakang motor vespa. Lagipula, daku sendiripun, mahasiswa teknik elektro yang entah kenapa bercita-cita jadi petani ini, sedang dilanda kesulitan ekonomi. Daku ingin memelihara lele di tanah samping rumah tapi tidak diijinkan orang tua. Setelah diijinkanpun masih terbentur masalah dana. Jangankan beternak lele, lha wong duit untuk bikin kolam pun tidak ada apalagi kalau harus menggaji pembantu, duit darimana coba..?

 

Yang jelas, selanjutnya, daku beranjak pulang menaiki motor vespa. Sambil menikmati indahnya kunang-kunang yang beterbangan di udara. Yang warna peraknya tak bisa dibedakan dengan pantulan sinar mentari di kaca mobil. Sembari berdoa agar kesadaran daku tetap tersisa sampai nanti tiba dirumah. Berusaha menerima fakta bahwa "DAKU SEDANG SAKIT..!!". Gak tau sakit apa.

Goresan Patah Hati

 

Kuakui, rasa ini memang menyakitkan. Tapi tak apa. Sebab rasa sakit adalah resiko yang harus dihadapi oleh para pecinta.

 

Bukan kamu yang salah, tetapi aku. Tak seharusnya kugantungkan angan setinggi langit. Bahkan sebatas atap pun tak pantas.

 

Kita memang berbeda, terlalu berbeda. Hanya keajaiban yang bisa membuat kita bersama, dan keajaiban itu tak sudi datang.

 

Sudahlah, percuma berkeluh kesah. Yang pasti, biarkan aku menikmati rasa sakit. Sebab memang itu yang harus kudapatkan.

 

goresan patah hati

togie