Selasa, 22 Juli 2008

Kisah duka seorang TKI - sebuah wawancara


Wawancara ini dilakukan sejak Tarmo baru pulang dari Korea sampai sebelum dia berangkat lagi.

Mo, di Korea kamu kerja apa..?
Aku kerja di pabrik teflon. Tiap hari kerjaku ya ngelap pantat panci yang bakal dijadiin teflon. Enam hari dalam seminggu, dari jam delapan pagi sampai jam sembilan malam. Kalo lembur malah ampe jam dua belas. Ngelapnya pake mesin Gie. Pancinya bisa jalan sendiri. Dalam sehari, aku bisa ngelap ampe 15.000 panci. Intinya, kalau kamu punya panci atau wajan yang ada tulisan “Made in Korea” nya, mungkin itu adalah salah satu panci hasil karyaku.


Apakah pekerjaan tersebut mengandung bahaya..?
Yang bahaya itu kalo disuruh mengoperasikan mesin-mesin berat. Banyak lho, orang kita yang jadi cacat gara-gara kecelakaan kerja. Yang mati juga ada. Pokoknya, kalo kerja di bidang itu, siap-siap saja kehilangan jari, tangan, kaki, bahkan nyawa. Tapi kerjaku kan ngelap teflon. Jadi gak ada bahaya-bahayanya. Kerja di perikanan juga berat Gie. Menderitane Poooll..!! Saranku, kalau mo jadi TKI di Korea, sebaiknya berdoa dulu. Jangan sampai kerja di perikanan. Amiin.


Mengelap pantat teflon..? Lama-lama pasti membosankan.
Jelas lah. Bikin bete.


Lalu, bagaimana cara menghilangkan kebosanan itu..?
Kalo lagi Bete, biasanya sepulang ke kontrakan, kami kencing terus air kencingnya dimasukin kedalam botol nanti botolnya ditaruh dibawah hujan salju. Keren lho Gie, gak ampe dua jam air kencingnya udah jadi es batu. Kalo dicampur ama sirup kayaknya enak deh, kuning-kuning seger gitu. Biarpun mungkin rada asin dikit sih.


Glek..?
Tapi kalo betenya lumayan berat, terkadang kami nyolong buah anggur langsung dari pohonnya. Disana banyak kebun anggur Gie. Mau yang merah, item, ijo, semuanya aja. Kita tinggal metik. Sekali nyolong kami bisa dapet dua ransel lebih. Pokoknya puas. Wah, kalo urusan nyolong sih, kami jagonya. Lha wong kalo dirumah kami udah biasa nyolong rambutan atau mangga kok.


Apa gak dosa..?
Ya.., dosa. Tapi kapan lagi kami bisa nyolong anggur kalo bukan di Korea..?


Mo, rencananya daku lagi melakukan wawancara tentang penderitaan dan kesulitan hidup yang dialami oleh para TKI. Makanya tadi sempet pake bahasa resmi. Jadi selanjutnya, tolong ceritakan hal-hal sedih yang kamu alami. Ok..?
Yup.


Baiklah. Apa masalah utama yang kamu hadapi..?
Di korea, kami biasa nggombali TKW. Paling enak tuh nggombalin yang di Hongkong. Soalnya gaji mereka gede. Jadi lebih mudah diporotin. Kalo udah kena, mereka sering ngirim pulsa, baju, sepatu, juga makanan.


Lho..?
Tapi aku kan orangnya gak tegaan Gie. Gak pernah ikut-ikutan. Paling cuma ikut nggombal doang. Gak lebih,


Stop Mo.., itu sih gak ada sedih-sedihnya.
Berbeda dengan disini. Di korea, daging sapi murah banget. Tiap hari aku bisa makan daging. Nah, yang namanya daging sapi itu, paling enak kalo dibakar terus dimakan rame-rame. Meriah.


Kalo kaya gini, nanti wawancaranya bisa ancur Mo..!!
Tiap tujuh belasan, kami ngadain lomba-lomba juga. Dan walaupun kerja di luar negeri, tapi kami tetap membawa budaya indonesia.


Wis lah. Sakarepmu..!!
Contohnya pas pertandingan sepak bola. Tandingnya sih cuma sebentar, tapi berantemnya bisa lama. Bahkan seringnya, kami nonton bola cuma buat ngeliat orang berantem doang. Seru..!! Bak buk bak buk gitu.


Terus kamu ikut digebukin terus ditangkep polisi terus disiksa selama berhari-hari..?
Gak. Aku kan cuma nonton. Orang-orang korea juga ikut nonton kok. Bedanya, mereka nontonnya sambil geleng-geleng kepala. Kayaknya sih mereka heran liat tingkah laku kita.


Mo, gaji kamu pernah dipotong, ditindas majikan, dipalak sesama TKI, punya masalah imigrasi, ditolak cewe, atau semacamnya..?
Gak


Kamu niat kerja gak sih..? Masa gak pernah mengalami perkara gawat..?
Ya mau gimana lagi.., lha wong nyatanya gitu.


Ok, gini aja. Sepulangnya ke Indonesia, kamu dipalak oknum di Bandara Sukarno Hatta..?
Aku pulang lewat Bali. Terus ke Jogja. Abis itu langsung ke Purwokerto. Jadi gak sempet kena palak.


Lalu masalah gawatnya manaa…? Daku ingin meng-eskpos berbagai kesulitan yang dialami oleh para TKI Mo..!! Kalo wawancaranya kaya gini, lalu apa yang harus daku tulis..?
Oo, kalo keluh-kesahnya TKI sih ada. Di korea sana, kami menghadapi satu masalah krusial yang tak bisa dipecahkan oleh pihak kedutaan besar sekalipun.


Nah, gitu dong..!! Mm, masalah apa saja..?
Ck, parah Gie. Gak ada satu TKI pun yang bisa pacaran sama wanita Korea. Kayaknya orang-orang sana pada gengsi lho, kalo harus pacaran sama kita-kita. Padahal ya Gie, mereka cantik. Gak ada yang jelek. Semuanya putih. Mulus. Tinggi semampai. Kamu pernah liat film korea..? Pemainnya cantik-cantik kan..? Asal tahu saja ya. Banyak banget yang jauh lebih cantik daripada itu. Gila..!!!


Gubrak..!!
Lalu masalah iklim. Ternyata di Korea ada musim salju. Kamu pernah hujan-hujanan dibawah guyuran salju..? Dinginnya minta ampun Gie. Apalagi di daerah Seoul. Biarpun udah pake baju dobal-dobel plus jaket tebel, tetep aja dingin. Kayak didalem kulkas.


Mo..
Korea Selatan gak punya nuklir Gie. Amerika juga gak punya, apalagi Israel. Korea Utara itu jahat. Mereka punya senjata nuklir yang bisa digunakan untuk menghancurkan dunia. Serem.


Bentar Mo..
Disana para TKI sering ditemui oleh orang-orang kulit putih. Diajak pindah agama. Aku juga pernah ketemu mereka. Aku dikasih selebaran.


Wuih, ini baru menarik. Patut untuk di analisa. Lalu, selanjutnya bagaimana..?
Oh iya. Aku pernah punya pacar. Disana ada TKW juga lho, banyak yang cantik malah. Tapi beda distrik. Pokoknya ya Gie.., mereka itu..


AAARRRGGGHHH…!!!



Maaf kalau wawancara ini berbeda dengan harapan anda.
Ternyata, daku mewawancarai orang yang salah
togie


Senin, 14 Juli 2008

Jomblozone - Bukit bintang, kuburan, dan hantu


Waktu baru menginjak pukul setengah delapan malam ketika sepi datang mengunjungi kampung kami. Sebagian warga sudah terlelap dibuai hangatnya selimut dan empuknya kasur. Suhu udara yang beberapa hari ini turun drastis membuat mereka mudah sekali mengantuk.

Aku mengenakan tiga lapis jaket saat melangkah menuju basecamp para jomblo di RT sebelah. Aku mengantuk. Tak peduli kegiatan apa yang kulakukan di rumah.  Nonton tv, belajar, membaca cerpen, melamun, semua itu hanya membuatku tambah mengantuk. Aku tak mau tidur terlalu awal. Tidur membuatku jadi mirip orang mati. Aku ingin hidup.

"Gie, ayo kita pergi ke Bukit Bintang..!!" Sesampainya disana, para jomblo mengajakku. Aku terima ajakan itu. Semoga dengan pergi bersama mereka rasa kantukku bisa hilang.

Bukit Bintang adalah daerah terpuncak dari Gunung Tugel, dekat Tempat Pembuangan Sampah. Kami harus mengendarai sepeda motor melalui rute berliku menembus pegunungan, hutan, jalan setapak, juga kuburan agar bisa sampai kesana. Menembus tebalnya kabut yang turun menyelimuti pepohonan, menahan rasa dingin yang dihembuskan angin malam. Sepanjang perjalanan, beberapa kali kami berpapasan dengan sosok-sosok mencurigakan - entah manusia atau bukan. Hanya satu hal yang membuat kami tetap menuduh mereka sebagai manusia, yaitu  karena kaki mereka mengenakan sandal jepit.

Setelah lelah mengarungi waktu, sampailah kami di Bukit Bintang. Kami duduk menempati bangunan kosong. Tapi tak bisa kulihat bintang dari situ. Atap menutupi penglihatanku. Busuknya aroma sampah juga  terasa menusuk-nusuk hidungku.

"Inikah Bukit Bintang..?" Protesku
"Bukan..!! Ini bukit sampah. Ayo, ikut aku. Akan kutunjukkan bagaimana seharusnya Bukit Bintang itu"

***

Masih di kompleks Gunung Tugel, kami tiba ditempat yang lebih baik daripada tempat tadi. Dari sini, Kami bisa melihat puluhan ribu bintang yang berkerlap-kerlip menghiasi langit tanpa terhalang oleh atap atau terganggu aroma sampah.
Indah
Aku jadi ingin merebahkan tubuh diatas hamparan rumput, menghirup segarnya bau rumput, menengadahkan wajah kearah langit, menikmati kerlip bintang di langit.
Tenang
Melihat langit selalu membuat hatiku tenang. Apalagi bila dihiasi bintang-bintang

Sayang, terlepas dari semua itu, tempat ini memiliki satu kekurangan

"Mas” Keluh salah seorang jomblo.
“Dari sini kita memang bisa melihat bintang. Tapi maaf ya mas, ini kan di pinggir jalan raya. Masak mau tiduran disini..? Apa gak bahaya..?"

Ah, dia benar. Aku takkan pernah menatap kerlip bintang sampai puas. Mobil yang berlalu-lalang membuatku tak bisa tenang. Kami harus mencari tempat lain. Yang sepi.

"Bro, kita cabut." Ajakku

"Kemana..?"

"Kuburan"

****

Berbeda dengan Gunung Tugel, Kuburan Gunung Wangi bukan terletak di daerah tinggi. Dari kuburan ini, bintang yang tadinya berjumlah puluhan ribu pada kabur entah kemana, hanya tertinggal beberapa butir saja. Itupun berukuran kecil, tidak jelas-jelas amat.

Gunung Wangi adalah pekuburan keramat yang dikultuskan. Seperti tempat keramat lain di pulau jawa, aura mistis di pekuburan ini terasa begitu pekat. Pohon-pohon tua yang berumur ratusan tahun, gelapnya suasana malam, suara aliran sungai yang melintasi tepi makam, suara ranting-ranting pohon yang bergesekan tertiup angin, ringkikan jangkrik dan belalang,  semua itu membuat bulu kuduk kami merinding.

“Kok gelap ya..?” Ujarku begitu melihat kondisi disana
Tanpa harus disuruh, seorang jomblo menyalakan lampur motor. Tepat menyorot kearah besarnya pohon tua yang dahan, ranting, dan rimbun daunnya menggerombol memayungi kami.

“Kok pohonnya gede ya..?”
Para jomblo saling berpandangan

“Kok serem ya..?”
Dan entah siapa yang mulai, tiba-tiba kami berteriak :

“Kabuurrr…!!!”

****

“Gie”
Sesampainya di rumah, adik daku dan gerombolannya, yang tadi juga mencari bukit bintang versi mereka sendiri, menceritakan pengalamannya.

“Tadi kami pergi ke Kuburan Gunung Cunil. Rencananya, kami kesana untuk melihat bintang sambil nyari tokek, ular, atau apapun yang bisa dijual - yang bisa dijadiin duit. Motor tak titipin di rumah orang, kami pergi ke kuburan dengan berjalan kaki”

“Tapi ya Gie, setibanya disana, kami langsung mendengar suara desisan ular dari dalam makam. Keras banget. Mungkin ularnya gede. Terdengar juga suara-suara menyeramkan. Mulai dari suara seraknya bapak-bapak, suara dehem, bahkan suara yang kami tidak tahu itu suara apa”

“Bukan hanya itu. Tak lama kemudian, tiba-tiba punggung kami terasa seperti dipukul gada, entah oleh siapa. Kami terjungkal. Awalnya kami ingin lari tapi tak bisa. Seolah-olah ada yang memegangi tubuh kami. Setelah itu terdengar suara langkah kaki yang berdebam-debum menjejak bumi. Kami tetap berusaha lari dan tetap tidak bisa. Akhirnya, ada yang rada kesurupan. Bicara tapi tak bisa mengontrol apa yang diucapkan. Kata-kata itu mengalir secara spontan, tanpa disadari.”

“Untunglah, setelah berjuang sekuat tenaga, kami bisa lari juga. Kami tak tahu sedang lari kemana, pokoknya beda dengan rute semula. Kami melompati sungai, menabrak semak belukar, bahkan sempat pula terperosok di kubangan berisi kotoran ayam setinggi mata kaki. Tapi tak apa Gie, yang penting kami selamat”

“Fyuuh..!! kami kapok. Gak bakal pergi kesana lagi”


****

Besoknya, di basecamp para jomblo, aku berpidato.

“Hai kalian, dengarkan kata-kataku”
Para jomblo memasang telinga

“Janganlah kalian lari sebelum diganggu hantu. Kemarin malam, kisah pelarian kita sama-sekali tidak seru. Tak ada hal heboh yang patut diceritakan. Kalah jauh dengan kisahnya adik daku. Tingkah laku kita amat memalukan. Betapa pengecutnya manusia yang lari dari hantu padahal hantunya saja belum tampak batang hidungnya”

Ya, kami memang berbeda. Adik daku dan gerombolannya itu sudah punya pacar. Karena itu mereka tidak menggabungkan diri dengan grup jomblo.

Aku pun berbeda. Aku menjomblo karena pilihan, tidak seperti para jomblo yang menjomblo karena murni keterpaksaan. Bagaimana tidak terpaksa..? Sudah ratusan kali mereka berusaha, berjuang sekuat tenaga, mengaplikasikan berbagai macam taktik yang telah dan sedang dipelajari, tapi ratusan kali pula mereka ditolak. Bahkan kupikir, biar sudah diobralpun mereka takkan laku. Tetap tak ada yang mau.

Begitulah. Aku ingin agar mereka tidak menjadi pengecut. Paling tidak, kalau adik daku bisa membanggakan diri karena punya pacar, mereka pun bisa membanggakan diri karena tidak takut hantu.

“Maaf mas”
Tapi belum banyak aku bicara, seorang jomblo sudah menyanggahku

“Semalam mas togie juga ikut lari kan..? Gak nunggu hantunya nongol dulu kan..?”

Sial. Harus berapa kali kujelaskan bahwa aku ini berbeda.

“Lha, waktu itu daku kan mbonceng, daku ya hanya bisa nurut kepada siapapun yang ada di depan. Jadi intinya, daku bukanlah lari. Tapi dilarikan”

Yap. Tak ada gunanya menyanggah satu-satunya manusia yang bisa meladeni kengeyelannya Tarmo.

Rabu, 09 Juli 2008

logis analitis vs idealis ngawuris kronis

Kerapkali, jika kita tidak bisa menemukan cara logis-analitis-matematis untuk memecahkan suatu masalah, kita harus mencari alternatif lain yang cenderung tidak masuk akal. Alternatif-alternatif tersebut, biarpun mungkin seperti dipikir menggunakan dengkul (bukan otak), tapi kerapkali malah lebih mujarab. Buktinya bisa dilihat dari beberapa kasus yang terjadi di kampung kami.

Suatu kali, kampung kami mengadakan event pengaspalan dan pelebaran jalan. Dalam proyek ini hampir terjadi tindak penyelewengan. Jalan yang seharusnya selebar empat meter ternyata hanya digarap 3,5 meter. Warga protes namun tidak digubris. Protes lagi lalu tidak digubris lagi. Untungnya, disaat warga hampir menyerah pasrah, tiba-tiba bapak saya yang jenius itu kabur ke lantai atas, masuk kedalam kamar, memungut MP5 berkamera, lalu berlari menghampiri para pekerja. Layaknya wartawan profesional, beliau berpura-pura memotret sana-sini sehingga menarik perhatian pak mandor. Dengan amat meyakinkan, beliau berkata akan mengadu ke koran nasional dilengkapi bukti berupa foto. Alhamdulillah pak mandor percaya, takut, lalu menyuruh para pekerja untuk menghentikan kengawurannya.

Oh iya, harap anda ketahui bahwa bapak saya sama sekali tidak bisa menggunakan MP5. Bahkan untuk on-off saja beliau tidak tahu tombolnya. Dan saya curiga bahwa saat itu beliau bermetamorfosa menjadi wartawan dadakan menggunakan MP5 yang masih mati, belum nyala.

Hal lain terjadi saat renovasi mushalla. Ketika itu pak ustadz, pak tukang, dan para pekerja sukarela (termasuk saya) sedang bingung menghadapi rangkaian besi di atap. Kami tidak tahu cara untuk menyambung-nyambungkan besi tersebut. Bapak saya, selaku arsitek mushalla, membuat rancangan atap yang kelihatannya hanya beliau dan Tuhan saja yang tahu teknisnya. Membuat pak tukang yang notabene sudah berpengalaman hanya bisa geleng-geleng kepala. Akibatnya, kami terpaksa menggunakan berkait-kait kawat, topangan bambu, sokongan papan, dan puluhan paku untuk mengaitkan besi. Lalu langsung memasang begisteng. Tak ayal, saat bapak menengok pekerjaan kami, beliau hanya tersenyum kecut. Entah senyum bangga atau senyum trenyuh. Kami tak tahu.

Terakhir, saat pekerjaan membuat pondasi. Ketika kami berpikir bahwa pekerjaan tersebut hampir selesai, tiba-tiba membentang kenyataan pahit di hadapan kami. Pondasi sudah hampir jadi, batu tumpuk menumpuk direkatkan semen. Namun ada satu bagian yang masih belum kami garap. Satu bagian dimana kami kehabisan semen untuk menggarapnya. Padahal duit kas cuma tersisa delapan ribu perak. Untungnya, tanpa di komando, ada dua orang yang tiba-tiba ngeloyor pergi lalu tak lama kemudian kembali membawa tiga ember semen. Ternyata, mereka berputar-putar keliling kampung untuk mencari orang yang sedang merenovasi atau membangun rumah. Mereka meminta semen pada mereka, walaupun cuma tiga ember saja. Dan dikasih. Alhamdulillah. Hari itu kami bisa merampungkan pekerjaan.

Begitulah. Intinya, andai anda menghadapi suatu kasus dimana anda tidak punya ilmu baku untuk mengatasinya, maka gunakanlah ilmu yang tidak baku. Selama bisa anda kuasai. Jangan terlalu berpatok pada teori. Berpatoklah pada kreatifitas.


Kepada yang terhormat kekasihku

Kepada yang terhormat kekasihku
Tak peduli bagaimana keadaanmu saat ini (sebab kalaupun aku tahu, apalah gunanya bagimu..?). Tapi yang pasti, semoga nanti, besok, dan seterusnya, keadaanmu membaik dan terus bertambah baik. Amiin.


Kekasihku.
Sebelum kau sempat berpikir macam-macam, ada baiknya kuingatkan kepadamu. Jangan harap bisa kau temukan kata-kata romantis dalam surat ini. Aku bukan sedang menulis sederet gombal, bujuk rayu, atau semacamnya. Aku hanya sedang mencurahkan isi hati. Biarlah isi hati ini ditulis secara apa adanya, seperti cintaku yang apa adanya pula.


Kekasihku.
Di awal surat ini sengaja kusapa kau dengan sebutan "kepada yang terhormat" dan bukan "kepada yang tercinta". Sebab tanpa kukatakan pun, kau pasti sudah tahu betapa aku mencintaimu. Cinta itu bisa kau lihat di kedua bola mataku, sikapku, peluh keringatku, pengorbananku, bahkan pada airmata yang kadang menetes menjelang subuh. Aku ingin kau tahu bahwa dibalik rasa cinta ini terselip pula rasa hormat. Yang membuat cintaku terhadapmu berbeda dengan cinta yang dimiliki oleh orang lain.


Kekasihku
Kau hapal betul betapa aku ingin menceburkan diri kedalam sumur jika melihat kisah cinta versi sinetron layar kaca. Sebegitu muaknya aku, hingga seolah-olah ingin kubenamkan tubuh ini di kubangan air, digelapnya lubang sumur, menenangkan diri dan mematikan sebentar fungsi otak agar sel-sel syarafku tidak mengalami korsleting lalu rusak permanen. Sungguh, tayangan salah kaprah itu telah membuatku merasa hampir gila. Oleh karena tak dapat lagi menahan diri untuk berteriak : "Bukan itu yang namanya cintaaa...!!!"


Kekasihku, ketahuilah
Cinta tidak pernah bertele-tele. Cinta, hanya cukup dengan aku mencintaimu dan kamu mencintaiku. Kalau toh cinta itu tak berbalas atau tak bisa bersatu, berarti kita memang bukan jodoh. Terima saja apa adanya, ayo cari siapa jodoh kita. Tapi kalau ternyata kita bisa bersama, lalu apalagi yang harus dipusingkan..? Bukankah kita hanya tinggal berjuang untuk bahu-membahu menghadapi masa depan..?


Memang, ada yang dinamakan pacar, tunangan, istri, WIL, PIL, TTM, HTS, atau apapun itu. Tapi menurutku, sekarang ini, status macam itu belum perlu dipikirkan. Nasib kuliahku yang mengenaskan terasa jauh lebih penting untuk diurus. Tak mungkin aku sanggup berpikir tentang pacar dan berbagai variannya itu bila untuk lulus kuliah saja aku belum mampu. Kau pun punya urusan sendiri, bukan..? Kita sudah sibuk oleh urusan masing-masing. Janganlah disibukkan lagi dengan urusan status. Toh apapun statusnya, kita masih tetap saling cinta. Kita menjadi sepasang kekasih karena cinta dan bukan karena status.


Kekasihku yang amat sangat kuhormati
Tak sedikitpun aku ingin menyakitimu. Aku mencintaimu. Aku ingin kau bahagia biar aku pun ikut bahagia pula. Tapi, bukankah dalam kebahagiaan itu ada batas yang tidak boleh dilanggar..? Kita bisa bahagia bila keinginan kita terpenuhi. Dan keinginan manusia itu tidak ada batasnya. Seperti keinginanku untuk menjadi sarjana teknik, petani sukses, pemain voly, juga bintang sepakbola. Tak semua keinginan tersebut harus dicapai. Mari bedakan antara keinginan dan keharusan. Mari lalui jalan yang memang harus kita lalui dan bukan yang ingin kita lalui. Cukupkan kebahagiaan kita hanya sebatas itu. Jangan lebih.


Ingat, kita berbeda. Kita adalah manusia istimewa dengan cinta yang istimewa pula. Tak pantas bila kita meniru kisah cinta orang-orang biasa. Betapa tolol sang harimau yang kehilangan kegagahannya gara-gara mengembik, onta yang berjalan dengan cara melata, atau Prabu Dasamuka yang bermain sepatu roda.


Kekasihku, segini dulu surat dariku. Tak perlu ditambah lagi. Toh dibuat sepanjang apapun, tetap tak bisa kukirimkan surat ini untukmu. Lha wong sampai sekarangpun aku tidak tahu siapa dirimu, namamu, alamatmu, rupamu, sifatmu, dan segala tetek mbengek lain tentang dirimu.


Dari, seseorang yang tak mengenalmu dan kaupun tak mengenalku.


Senin dinihari
Saat kebanyakan minum kopi
Togie

Kamis, 03 Juli 2008

Saat mereka pergi


"Kamu Kafir..!!"

Mungkin nanti, kata-kata itu diluncurkan juga. Kata-kata yang akan membuatku hilang semangat dan putus asa.

Setahun sudah kukorbankan waktu dan tenaga demi satu hal : "Menghidupkan mushalla". Mendekati dan mengajak para remaja untuk kembali mengaji, shalat berjamaah, serta mengisi waktu dengan kegiatan bermanfaat lainnya. Mereka takkan mau menuruti ajakan itu bila kusampaikan dengan cara biasa. Sudah ada beberapa ustadz yang mencoba mengajak mereka tetapi tidak dihiraukan. Kupikir, hanya tinggal satu cara tersisa agar mereka mau menurut. Yaitu dengan menjadikan mereka sebagai teman.

Usia remaja, adalah saat dimana mereka ingin hidup berkelompok dan menjalin pertemanan. Kata-kata seorang teman lebih mereka dengar daripada kata-kata saudara, orangtua, guru atau semacamnya. Mereka bukannya tidak mau diajak atau dinasehati, mereka hanya tidak mau digurui. Mereka tidak mau disalahkan. Bila kita memberi nasehat, berarti kita menganggap mereka sebagai pihak yang salah sehingga patut dinasehati. Dan kita (yang memberi nasehat) adalah pihak yang benar.

Menghadapi kondisi seperti itu, kita harus menempatkan diri di pihak yang sama, yaitu sebagai orang salah yang sedang mencoba mencari kebenaran, memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik, lalu mengajak untuk bersama-sama melakukan apa yang dianggap lebih baik. Mungkin terlalu teoritis. Tapi sungguh, cara ini terbukti efektif.

Tiga remaja berhasil diajak bekerja bakti memperbaiki mushalla, selama berbulan-bulan, itupun jarang dibayar. Para jomblo sudah berhenti berjudi. Beberapa remaja yang biasa nyolong besi, telor ayam, dan yang lainnya, sudah tak mau nyolong lagi (walau terkadang masih suka nyolong kelapa muda, rambutan atau semacamnya sih. Tapi bisa dimaklumi lah, namanya juga remaja). Rutinitas "mensuit-suit gadis manis" kala sore pun sudah jarang dilakukan (sayang, padahal menyenangkan). Lambat laun, saat diajak "Ngaji bareng di mushalla yuk..!!", dengan kompak dan penuh semangat mereka memberi jawaban "Ya..!!"

Tapi sayang, semua tak berjalan seperti yang diharapkan.

Seorang remaja, saat baru saja menongolkan diri di mushalla, tiba-tiba ditanya oleh salah seorang ustadz :

"Wah, kamu toh..!! Tumben, biasanya kan jam segini kamu lagi main judi..?"

Hari berikutnya, remaja yang lain :

"Kok gak mabok..?"

Lalu remaja yang lain lagi :

"Lho, kok disini..? Kenapa gak pacaran saja..?"

Lalu lagi :

“Kamu suka nyolong ya..?”

Hingga akhirnya, ketika mereka sakit hati lalu kapok ke mushalla dimana hanya tinggal satu remaja yang tersisa, kata-kata itupun muncul juga :

"Hei, dasar kafir, mau pergi kemana..?"

Hh, sekarang beginilah. Mushalla kembali sepi. Aku jadi malas pergi kesana. Bukan malas beribadah sih, cuma.., rasanya rada gak nyaman saja. Sebab setiap kali datang, aku selalu ditanya : "Kenapa teman-teman kamu itu gak pernah kesini lagi..?"

Sungguh, pernah kucoba menjelaskan duduk perkaranya. Tapi entah kenapa, ustadz tersebut malah menatapku dengan sinis.

Mungkin, sebentar lagi aku juga di cap sebagai kafir.