Rabu, 21 Februari 2007

Istriku, lihatlah anak kita




 

 


Istriku, lihatlah anak kita. Dia tidur dengan begitu lelap, wajahnya polos tanpa dosa. Istriku, coba kau perhatikan, betapa miripnya dia dengan kita. Bibirnya semanis bibirmu, rambutnya hitam sepertimu, tapi sayang hidungnya kok malah besar sepertiku.


 


Istriku, mari kita berkhayal sejenak. Seperti apakah anak kita kelak. Mungkin kamu berharap agar dia jadi anak yang pintar dan berwibawa. Sukses dan kaya raya. Menikah dengan wanita cantik dan terhormat. Lalu memberi kita cucu yang imut dan lucu. Jujurlah, bukankah kau berpikir seperti itu..?


 


Tapi sayang, khayalanmu berbeda denganku. Aku tak pernah berharap setinggi itu. Aku hanya ingin agar dia jadi anak yang sholeh dan berbakti, yang mencintai kita setulus hati. Aku ingin dia hidup bahagia, begitu pula kita berdua. Itu saja.


 


Ya.., aku memang ingin dia jadi anak pintar, tapi pintar seperti apa..? Bukankah pintar itu relatif. Banyak orang yang nilai sekolahnya bagus tapi saat melamar pekerjaan ditolak terus menerus. Ada pula yang pintar mengaji tapi perbuatan maksiat terus saja dilakoni. Ada lagi yang pintar mencuri sehingga tak pernah tersentuh polisi. Ah, mungkin sebaiknya dia pintar pada ilmu yang berguna saja, bukan pintar dalam segalanya.


 


Aku juga ingin agar dia sukses dan kaya raya, tapi aku tak ingin kesuksesannya tersebut hanya di manfaatkan untuk berfoya-foya. Lihatlah istriku, sudah begitu banyak orang kaya, tapi sedikit sekali yang mereka lakukan untuk menolong masyarakat miskin di sekitarnya. Aku tidak ingin anak kita seperti itu. Biarlah kekayaannya dia nafkahkan di jalan Allah, lalu dia cukupkan sisanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.


 


Bagaimana dengan rumah tangganya..? Inginkah kamu agar dia mempunyai istri cantik dan anak yang lucu..? Aku juga. Tapi tidak hanya itu. Sebenarnya aku tak peduli apakah istrinya nanti cantik bak putri raja, ataukah berwajah biasa saja. Yang penting dia harus bisa menjadi istri dan ibu yang baik, serta hormat pada mertua. Itu saja. Dan soal cucu, semoga mereka lucu-lucu. Tapi semoga mereka pun berbakti pula, seperti anak kita.


 


Entahlah, mungkin aku terlalu banyak berkhayal, tapi tak ada salahnya kan..? Cobalah kau turut berkhayal, bayangkan jika kelak berusia lanjut, dengan apa akan kita habiskan waktu..? Mungkin dengan merenung, disamping sibuk mempersiapkan bekal untuk ke akherat sana. Ketahuilah istriku, kiranya kelak saat kita berdua sudah hampir mati, anak kita pun turut hadir untuk mengucapkan perpisahan. Membimbing kita untuk mengucapkan syahadat, lalu menemani sampai kita menutup mata untuk terakhir kali. Tapi jangan salah sangka, bukannya aku ingin membuatnya sedih. Aku hanya ingin agar dia terus teringat bahwa kelak dia pun akan mati juga, hingga waktu yang ada dimanfaatkan untuk terus memperbaiki diri, menyiapkan bekal untuk menyusul kita.


 


Istriku, merupakan anugerah yang besar jika saat kita sudah terkubur dalam tanah, anak kita tetap rajin mengirimkan doa. Aku ingat bahwa salah satu amal yang tak terputus adalah doa seorang anak yang berbakti. Jujurlah, kau pun juga ingin mendapat anugerah seperti itu kan..?


 


Sayangnya, kemarin aku pernah menceritakan hal ini pada Pak RT, saat kami ngumpul di warung kopi. Coba tebak, apa tanggapan beliau..? Katanya aku ini terlalu banyak berkhayal. Wong punya istri saja belum kok sudah jauh-jauh mikirin anak..? Aneh ya..? Ha.. ha.. ha..


 


Eh, tunggu sebentar. Aku belum punya istri..? Lho..? Kok..?


 


Kalau begitu kamu ini siapa ya..? Ayolah mengaku, terus terang saja. Aku tidak sedang berkhayal kan..?


 


Purwokerto, Malam yang membingungkan


Togie de lonelie

Rabu, 14 Februari 2007

KKN yang Aneh : Saat Kami Dikibuli

 


Lemahjaya, 13 Februari 2007


 


 


 


Prolog


KKN yang tadinya ditujukan untuk memperlancar program PBA (Pemberantasan Buta Aksara) ternyata dalam pelaksanaannya mulai ricuh. DIKNAS yang tadinya menjanjikan sarana dan prasarana mengajar ternyata sampai hari ini belum mengirimkannya pada kami selaku mahasiswa, padahal kegiatan PBA harus dimulai senin depan, lima hari lagi.


 


Masalah bertambah gawat saat kami membaca berita dari TEMPO INTERAKTIF bahwa Kepala Seksi Pendidikan Luar Sekolah Jawa Tengah, Sukirno, mengatakan :


 


“Mahasiswa yang tengah KKN akan dijadikan tutor dan mendapatkan uang saku sebesar 500 ribu.”


 


Wah, senangnya...!!! Mungkin itulah yang terbersit di benak anda, tapi sayang hal tersebut bertentangan dengan realitas yang ada karena sampai sekarang uang tersebut belum sampai pada kami, satu rupiah pun.


 


Sebenarnya kami tidak begitu mempermasalahkan imbalan, toh dari pertama kali pembekalan kami sudah diberi tahu bahwa konon tugas kami untuk memberantas buta aksara tidak berunsur komersil tapi untuk pengabdian. Jadi imbalan yang kami dapatkan hanyalah nilai, bukan uang. Namun masalahnya, jika pihak DIKNAS saja sudah mengalokasikan dana sebesar itu dan dana tersebut tidak diberikan pada kami, lalu uangnya dilarikan kemana..? Apakah digunakan untuk membangun masjid..? Membangun gereja..? Memberi makan fakir miskin dan anak-anak terlantar yang dipelihara oleh negara..? Atau apa..? Tapi saya yakin bahwa uang tersebut tidak dikorupsi lho, ya walaupun tidak yakin-yakin amat sih..


 


 


 


Permasalahan


Nah, begini. Jika pihak DIKNAS tidak mengirimkan alat-alat mengajar, pihak kecamatan tidak memberi bantuan, dan satu-satunya sumber pemasukan dana hanya berasal dari para donatur, bagaimana mungkin kegiatan PBA bisa kami laksanakan dengan baik..?


 


Asal tahu saja, di Lemahjaya sini jumlah peserta PBA produktif berjumlah sekitar 90 orang dan untuk mengajar mereka kami membutuhkan dana guna membeli berbagai alat tulis, alat model, uang transport, cetak sertifikat dan lain sebagainya. Belum lagi biaya untuk mengajukan proposal dan tetek mbengek lainnya. Apalagi, ternyata masyarakat yang tidak termasuk kedalam kategori buta aksara juga menginginkan program sosial baik berupa fisik maupun non fisik seperti memperlancar proposal perbaikan jalan, pemberantasan demam berdarah dan malaria1, pencegahan flu burung, turnamen olahraga dan kegiatan lainnya.


 


So.., pertanyaan-nya adalah.., darimana kami dapat dana untuk merealisasikan program tersebut..? Apakah kami harus patungan2..? Yup, sebenarnya boleh-boleh saja. Tapi jika KKN ini diadakan sebelum uang kami habis untuk membayar registrasi akademik yang berlangsung beberapa hari sebelumnya. Uang di kantong kami hampir habis, proposal banyak yang macet, beban bertumpuk, lalu kami harus bagaimana..?


 


 


 


Epilog


Tapi Alhamdulillah, saat teman-teman dari desa lain berusaha untuk bersepakat memboikot PBA, kami tidak ikut-ikutan. Kami tetap konsisten untuk melaksanakan tugas ini. Biarlah urusan sarana dan prasarana mengajar nanti kami akal-akali. Tak perlu buku tulis, toh kami bisa memakai kertas buram saja, yang dipotong kecil-kecil, dijilid, di steples, dikasih tanda, lalu dibagikan ke peserta. Tak perlu beli whiteboard atau papan tulis, biar kami pinjam alat dan tempat milik sekolahan saja. Bahkan sertifikat pun, andai pihak DIKNAS tidak mau memberikan pengesahan, kami tetap akan membuatnya. Walaupun nanti hanya di stempel dan ditandatangani oleh bapak kepala desa.


 


Kenapa..? Karena sejak pertama kali datang kesini kami sudah mengatakan bahwa prioritas utama kami adalah program PBA, akibatnya bapak kepala desa, pak sekdes, pak kadus, pak RT, pak polisi desa, bahkan bapak-bapak yang entah siapa namanya rela mengantar kami berkeliling ke seluruh pelosok desa untuk mendata siapa saja yang masih buta aksara. Saat itu kami juga menerangkan program PBA pada mereka, menjanjikan sertifikat dan berbagai janji yang lainnya. Dan banyak yang tertarik, bersimpati dan mendukung program ini. Sekarang, andai saja PBA kami batalkan, apakah kami tidak membuat mereka kecewa..?


 


Memang, soal dana tutor dan sarana prasarana akan tetap kami perjuangkan. Bukan karena kami bersikap komersil, tapi karena kami butuh transparansi. Kenapa uang yang sudah dialokasikan tersebut kok tidak jadi dibagi..? Apa benar karena akan dikorupsi..?


 


Ya, akan kami tuntut, kami perjuangkan. Bukan untuk kepentingan kami, tapi untuk warga. Biarlah semua uang tersebut kami gunakan untuk mensukseskan program yang ada. Biarlah kami bersikap total dalam mengabdi untuk desa. Jangankan hanya PBA, pengaspalan jalan pun mungkin bisa kami laksanakan. Jika ada dana.


 


Itu janji kami, itu harapan kami, itu doa kami, semoga saja bisa terjadi.


Insya Allah


 


 


 


 


Note :


Mohon masukan dan saran dari teman-teman semua. Informasi sekecil apapun mungkin akan berguna bagi kami, dan bagi kelompok di desa lain. Semoga kali ini kami tidak lagi dikibuli. Bilangnya untuk mensukseskan PBA, tapi nyatanya untuk mensukseskan di ACC nya hutang luar negeri. Terimakasih.


 


 


 


1Lemahjaya merupakan daerah endemik malaria dan demam berdarah. Sebelumnya Lemahjaya menduduki peringkat pertama di Banjarnegara dalam hal lomba penderita terbanyak.


2Uang patungan tersebut digunakan sebagai dana cadangan andai kami benar-benar kekurangan dana saat bantuan dari DIKNAS tidak jadi turun


3Sendu.., kali ini kita damai saja ya..? Daku menyerah. Tolong ya Ndu..? Damai ya..? Daku kan lagi KKN..? Kasihan...


4. Ditulis sehabis kekenyangan dan kepusingan gara-gara kebanyakan makan durian yang harganya tujuh ribu lima ratusan.


 

Hikayat Kota Air

 


Lemahjaya, Januari 2007


 


 


 


Kota air, itulah julukan untuk Penecia. Kota indah yang mengapung di atas permukaan air, satu-satunya di bumi ini. Karena itulah banyak turis dari negara lain yang datang berkunjung untuk mengagumi keindahan kota, keunikan budayanya, maupun kenyamanan suasananya.


 


Kota air, sebagian orang berpendapat bahwa kota ini begitu ajaib, layaknya mukjizat saja. Begitu pula dengan kecerdasan dan keramahan orang-orangnya. Seperti telah diketahui bahwa kota ini berdiri diatas air, menggenangi ratusan perumahan, toko roti, supermarket, rumah sakit maupun kompleks pelacuran.


 


Kota air, dibuat dengan cara mengaspal lahan-lahan kosong, menebang seluruh pohon dan menimbuni sungai dengan sampah. Para cendekiawan telah merancang sebuah skenario agar saat hujan deras tiba, air bah akan menggenangi seluruh kota. Ya, cara yang cukup sederhana namun efektif dan ekonomis.


 


Kota air, adalah kota dimana penduduknya beramai-ramai menenggelamkan mobil, motor, televisi dan barang berharga lainnya. Mereka melakukannya dengan penuh tawa dan sukacita. Para penduduk sibuk menenggelamkan barang masing-masing tanpa mempedulikan orang di sebelahnya. Bahkan sering terjadi seseorang berteriak meminta tolong pada penduduk lainnya untuk menenggelamkan brankas baja berisi uang milyaran rupiah.


 


Yang paling mengesankan adalah saat seluruh harta sudah musnah, secara serentak mereka saling berpelukan, bernyanyi dan berpesta pora. Merayakan keberhasilannya dalam menenggelamkan kota, agar tercipta sebuah kota baru, kota air.


 


Sekarang bisa kita lihat betapa seisi kota terselimuti perasaan bahagia. Tak ada perbedaan kelas sosial, derajat, pangkat maupun harta. Para penduduk makan dari piring yang sama, minum dengan gelas yang sama, dan tidur di tenda yang sama. Anak-anak pun dengan khusyuk belajar beratapkan angkasa raya. Bahkan di waktu malam mereka secara serentak mematikan jaringan listrik agar suasana gelap gulita. Sebagai pengingat bahwa kegelapan akan mengajari kita tentang betapa berartinya cahaya.


 


Kota air, mari kita berkunjung ke kota air. Mari menikmati hari di kota air. Mari belajar dari para penduduk kota air. Belajar tentang senyum mereka, tawa mereka, canda mereka, kebahagiaan mereka, semoga pun terasa oleh kita.


 


 


 


Note :


 


Penecia --> bukan Venecia


Penecia --> bukan pula Jakarta


 

Kisah Seorang Nenek

 


 


 


“Pak Batagor, tunggu...!!! Nek, Caca beli batagor ya..”


 


“Boleh cu.., beli saja. Nenek masih punya sedikit uang, sisa jual ayam kemarin.”


 


Nek Darsih, janda tua berusia delapan puluh tahun. Beliau hidup seorang diri. Caca, yang dianggapnya sebagai cucu, sebenarnya anak tetangga samping rumah. Sifatnya yang lugu, wajahnya yang riang dan senyumnya yang manis selalu mengingatkan Nek Darsih pada.....


 


Ah, sudahlah.


 


“Neekk, caca sudah beli batagor tiga bungkus. Gak papa ya nek...”


 


“Iya cu.., tidak apa-apa”


 


Nek Darsih tersenyum saat melihat Caca berlalu sambil tertawa riang, lalu menggigit sepotong batagor dan berlari sembari memainkan rambutnya yang dikepang dua. Anak kecil itu terlihat bahagia. Ah, mungkin hanya usia saja yang bisa mengingatkan kita akan indahnya masa kecil yang pernah dilewati. Lagi-lagi nek Darsih tersenyum.


 


Perlahan beliau merogoh lipatan selendang yang menutupi jarit kumalnya, akan tetapi..


 


Tunggu.., uang itu.., kenapa baru teringat sekarang..?Bukankah kemarin Yu Kaijem datang untuk meminjam uang, sebagai tambahan untuk mencukupi biaya sunatan anaknya. Dan Nek Darsih ingat betul bahwa uang yang beliau punya dipinjamkan semuanya..? Duh gusti.., kenapa kok bisa lupa..?


 


Detik berganti, waktu terus berlalu. Bapak penjual batagor tampak tidak sabar. Tapi tampaknya dia merasa segan untuk menagih Sang Nenek, kasihan. Nek Darsih pun bingung.


 


Cara.., cara.., bagaimana caranya...?


Ah, iya. Rutinitas itu.., rutinitas yang sering dilakoninya jika sedang tidak punya uang.


 


“Tunggu sebentar ya pak.., saya ambil uang dulu”


 


Beliaupun minta ijin untuk pergi sebentar lalu menuju ke warung sebelah, ke tempat ibu Sukemi, ibu Caca.


 


“Bu tadi  Caca beli batagor tiga bungkus, harganya seribu lima ratus dan belum dibayar. Itu penjualnya sudah menunggu.”


 


“Beli batagor..? Kok yang nagih nenek, bukan si penjual?”


 


“Inggih Bu. Sebenarnya tadi Caca bilang pada saya, minta dibelikan batagor dan saya sanggupi. Tapi nuwunsewu bu, ternyata saya lupa bahwa semua uang saya dipinjam Yu Kaijem.”


 


“Lho, yang beli batagor kan Caca, yang mau mbayarin kan nenek, kenapa yang ngeluarin uang harus saya..? Kenapa bukan Yu Kaijem..? Bukankah uang nenek dipinjam sama dia..? Lagipula, kenapa neneak langsung mengijinkan...? Bukankah seharusnya Nenek atau Caca minta ijin dulu sama saya..? Gimana sih..? Lagian gini ya Nek, Cari duit dari buka warung itu untungnya sedikit, tidak seberapa. Kalau sebentar-sebentar harus keluar duit buat jajan anak, kapan kami bisa menabung..? Memangnya cari duit itu gampang apa...?”


 


Ah, benar juga, sekarang cari uang memang susah. Buktinya, sang nenek pun dari hari ke hari terus saja berhutang.


 


“Ya sudah. Kalau begitu saya pinjam uang lima ribu lagi bu, sama beras setengah kilo. Beras di rumah hampir habis.”


 


“Ooh, boleh nek. Maaf kalau omongan saya menyinggung hati nenek. Tapi Nek Darsih pasti tahu kan bahwa sangat sulit untuk bertahan hidup di jaman seperti ini. Saya harap nenek maklum. Oh iya, nanti tagihannya dicatat di buku kredit ya. Dibayarnya kapan-kapan saja. Gak papa kok..”


 


“Inggih bu, matur nuwun..”


 


Nek Darsih pun melangkah pergi, menghampiri penjual batagor. Setelah membayar beliau pulang ke rumah, mungkin mau menanak nasi, mandi, atau apalah. Tak seorangpun tahu.


 


Matahari memerah jingga, burung kuntul hinggap di pucuk bambu, angin sore berhembus, menebarkan bau tanah dan sebait nyanyian kupu-kupu. Di sebuah desa yang sepi, seorang nenek sedang merenung, matanya menatap kosong pada sebingkai foto usang. Seuntai senyum mengembang di bibirnya, lalu berubah menjadi muramnya duka cita. Sore itu dia berbaring di kamarnya, merenung sambil mendekap foto anak dan cucunya. Ya, anak yang baik dan berbakti serta cucu yang lugu, dengan wajah yang riang dan senyum yang manis, seperti... Caca. Ya, mereka mati tenggelam di laut, belasan tahun lalu.


 


Dan airmatapun tumpah, membasahi pipi, menetes ke kasur, meresap, dan jatuh ditelan bumi.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


Di Purwokerto, di lantai dua sebuah rumah, seorang mahasiswa teknik elektro malah asik-asikan mengarang kisah ini. Sayangnya di akhir cerita dia baru berpikir :


 


“Lho, kok neneknya berhutang..? Apa nanti dia sanggup membayar..? Bukankah dia sudah tua..? Tidak bisa bekerja..?”


 


“Yup, memang. Tapi walaupun begitu dia sudah berwasiat pada Pak RT agar kelak jika meninggal nanti, tanah yang sempit dan rumah yang cukup sederhana dijual untuk membayar hutang. Sisanya diinfakkan.”


 


“Loh, kamu tahu darimana..?”


 


“Ya ngarang sajalah. Wong kisahnya saja juga karangan kok.”


 


 


 


 


 


Hikmah :




  • Kalau ruang tengah sedang dipakai untuk senam sore oleh ibu-ibu dari satu RT lebih baik segera keluar kamar, agar nanti tidak terkurung seperti saya.


  • Wah meminjamkan uang pada orang lain untuk membayar jajan anak-anak kita..? Hm, kalau dikembangkan bisa jadi bisnis bagus tuh

 


 


 


Togie de lonelie


Dibuat di purwokerto, diketik di lemahjaya, di edit di atas sofa

Kamis, 08 Februari 2007

Good Bye My Love


Sayangku selamat tinggal
Aku akan pergi, mungkin sekitar tiga puluh lima hari
Untuk menunaikan tugas demi ibu pertiwi
Demi kemajuan dan kemakmuran seluruh bangsa ini

Sayangku jangan kau tangisi kepergianku
Para bayi yang kelaparan di Jakarta, para pengungsi yang terlantar di Sidoarjo
Dan bujang lapuk yang sampai sekarang ditolak terus oleh wanita
Lebih pantas untuk menerima butir-butir air matamu

Ya memang, dulu Ki Sanak Mbeling Harjo pernah pergi bertapa selama 35 hari
Katanya untuk menuntut ilmu
Namun saat dia pulang seluruh warga kampung gempar
Karena sewaktu pulang dia sudah menjadi "Wandu"

Tapi aku berbeda sayang.., aku berbeda
Ayolah.., jangan berpikir yang aneh-aneh seperti itu
Tidaklah mungkin aku berubah menjadi wanita
Karena aku sangat menikmati hidupku sebagai pria

Ok.., mungkin saja kamu mengira bahwa aku pergi untuk ngelaba
Lirik sana lirik sini mencari-cari wanita
Yang bisa diajak kencan dan jalan-jalan
Yang penting dia mau untuk selalu mentraktir makan

Tapi betapa sesat pikiranmu itu
Mengidentikkan setiap laki-laki ganteng sebagai buaya darat pengincar wanita
Seperti hukum bahwa setiap A pasti C maka Setiap C pasti A
Bah, kalau rumusnya seperti itu sih bukan silogisme lagi namanya

Ya.., ya.., baiklah. Akhirnya kukatakan juga yang sebenarnya
Kenapa aku tetap ngotot untuk pergi
Meninggalkan kau seorang diri
Hanya ditemani sesosok rindu, kangen, cinta dan sepi

Sayang, aku ingat bahwa dulu kau pernah berkata bahwa kau begitu bahagia
Saat dekat denganku, mengobrol, berdiskusi, ataupun sekedar berhahahihi
Kau bilang dirimu jadi seperti putri saja
Yang memperoleh pangeran nan tampan tiada terkira

Dan tahukah kau.., aku ingin agar mereka disana juga merasa bahagia sepertimu
Aku ingin mereka merasa sebagai orang istimewa
Yang dipilih untuk terus maju menantang bahaya
Dan mengatasi kesulitan hidup di depan mata

Ya.., aku ingin membantu, ingin berbuat sesuatu
Untuk nusa, bangsa dan negara
Karena itu aku harus berangkat KKN
Mengertilah sayang

Matahari bersinar terik, burung-burung kehausan, kerbau melenguh karena ditinggal pasangan. Di purwokerto, seorang mahasiswa kurus tengah menghadapi keluh kesah seorang wanita yang tak ingin ditinggal pergi tigapuluh lima hari lamanya. Alkisah, setelah diberi pengertian panjang lebar, akhirnya dia bisa maklum dan rela melepas kepergian sang mahasiswa.

Wanita tersebut pamit, sang mahasiswa mengantar sampai ke pintu. Ada ribuan orang yang mengantri dengan nomor urut tertentu. Dari bapak-bapak, ibu-ibu, remaja, anak-anak, balita bahkan juga boneka. Sang mahasiswa pun menarik nafas panjang lalu berkata :

"Yup selanjutnya, gadis remaja dengan nomor urut seribu empat ratus lima puluh tiga, silahkan mengucapkan salam perpisahan"

Sang tamu pun masuk. Sekali lagi sang mahasiswa melihat sekeliling. Tak ada wanita berheadshot biru, tak ada ibu dosen matematika, tak ada mbak asisten lab, bahkan tak ada mahasiswa teknik dengan nomor urut 32. Ah, mungkin saja mereka sedang sibuk, atau jangan-jangan malah sedang berangkat menuju ke purwokerto..?

Tapi.., kalau jumlah tamunya sebanyak ini, jangan-jangan sebelum berangkat KKN dia harus lembur sampai pagi. Dan di buku daftar hadir tertulis angka empat ribu lima ratus. Ya, masih tigaribuan orang lagi. Dan itu berarti dia memang harus lembur sampai pagi
 



Poligami Dilarang…? Tenang, Ada Solusinya Kok




Hari selasa, tanggal 12-Desember-2006 saya mengikuti pembekalan KKN yang dilaksanakan oleh LPM UNSOED PURWOKERTO. Sesi pertama, kedua dan ketiga diisi dengan presentasi tentang hak dan kewajiban mahasiswa, peluang, tantangan, dan hal lain yang kurang begitu menarik. Untungnya di sesi ke empat tema yang dibahas sedikit berbeda, yaitu tentang permasalahan gender. Sang pembicara menyampaikan teori gender, permasalahan yang dihadapi dan selanjutnya beliau memaparkan ketidakadilan yang menimpa perempuan, salah satunya adalah poligami.

Beliau berkata bahwa poligami merupakan salah satu contoh superioritas pria terhadap wanita yang sudah dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat, padahal superioritas tersebut terbentuk karena faktor yang ternyata sangat kondisional. Dahulu lelaki lebih superior karena merekalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Mereka yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup, menjamin adanya perlindungan terhadap istri dan anak, terjun ke medan perang, dan lain sebagainya. Tapi faktor tersebut sekarang sudah tidak relevan lagi. Contohnya dari segi prestasi kaum wanita lebih unggul, buktinya IPK rata-rata kaum wanita di universitas lebih tinggi dari pria. Soal keamanan sudah tidak perlu dipersoalkan lagi. Sekarang sudah ada polisi yang akan menindak para pelaku kejahatan, jadi “tanggung jawab” seorang suami dalam memberikan perlindungan kepada istri sudah jauh berkurang. Karena itulah jika poligami diperbolehkan dengan alasan bahwa laki-laki lebih superior dari wanita maka sudah sepantasnya jika poliandri pun tidak dilarang karena sekarang banyak wanita yang ternyata lebih superior dari laki-laki.

Beliau juga mempersoalkan tentang dalil yang terdapat dalam kitab suci. Memang Alquran memperbolehkan adanya poligami akan tetapi alasan dibolehkannya poligami juga sangat kondisional. Dahulu saat Islam baru mulai berkembang, banyak laki-laki yang pergi berperang, banyak pula yang akhirnya gugur sehingga istrinya menjadi janda. Saat itu jazirah arab hanyalah berupa padang pasir yang kering kerontang, bahan pangan hanya bisa didatangkan dari daerah lain sehingga untuk mendapatkannya kita harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Di padang pasir tersebut hanya laki-laki yang kuat untuk mencari nafkah. Sedangkan kaum wanitanya hanya bisa berdiam diri di rumah. Maka tak ayal jika wanita tersebut menjanda tak ada lagi yang bisa diharapkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka. Nah, Islam memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut yaitu dengan membolehkan adanya poligami. Tapi situasi sekarang sudah jauh berbeda. Bahan pangan tidak lagi sulit didapat, para janda sudah bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Dengan kata lain, poligami sudah tidak lagi menjadi solusi yang relevan untuk diterapkan.

Dan pada detik-detik terakhir beliau mengutarakan berbagai persoalan yang terdapat pada poligami. Tentang tidak adanya keadilan terhadap para istri, kekerasan rumah tangga, serta imbasnya pada faktor psikologis sang anak. Pada saat inilah sel-sel kelabu di otak saya mulai tergelitik, berpikir keras tentang berbagai hal yang ada hubungannya dengan poligami. Salah satunya adalah alasan klasik yang membolehkan poligami yaitu tentang para lelaki yang mempunyai libido tinggi sehingga tidak cukup jika hanya mempunyai satu istri, atau tentang laki-laki yang ingin mempunyai anak tetapi sang istri ternyata mengalami kemandulan. Jika poligami diperbolehkan hanya karena alasan yang sederhana seperti itu lalu kenapa poliandri dilarang dan dianggap tabu…? Bagaimana jika si suami yang impoten..? Apakah sang istri boleh mempunyai suami satu lagi…? Ternyata tidak. Dia harus bercerai dulu, baru boleh menikah lagi. Benar-benar tidak adil.

Hm, bicara tentang ketidakadilan, saya pun teringat pada kabar angin yang menyebutkan bahwa konon jumlah wanita ternyata tiga kali lebih banyak dari laki-laki sehingga jika setiap laki-laki mempunyai seorang istri maka akan ada dua orang wanita yang tidak mempunyai pasangan, menghabiskan hidup dengan merana sebagai perawan tua. Karena itulah poligami diperbolehkan, agar setiap wanita bisa memperoleh pasangan.

Mulanya saya tidak percaya pada kabar ini hingga akhirnya saya iseng melemparkan pandangan ke sekeliling ruang pertemuan. Sebagai seorang mahasiwa saya ingin tahu siapa saja yang ikut KKN kali ini, dan sebagai seorang laki-laki tampan yang masih single saya pun mulai “berburu” dan menerka secantik apa para mahasiswi yang nanti akan sekelompok dengan saya. Nah saat itulah saya tersadar bahwa ternyata pada KKN kali ini jumlah mahasiswi lebih banyak dari mahasiswa. Ada yang cantik, ada pula yang biasa. Lalu jika kami, para mahasiswa peserta KKN ini disuruh untuk memilih satu orang sebagai istri tentu mahasiswi berwajah cantiklah yang menempati prioritas utama dan yang berwajah biasa akan berpeluang menjadi perawan tua.

Saat itu otak ini pun berpikir lebih jauh lagi yaitu tentang emansipasi. Jika dahulu laki-laki dianggap lebih superior sehingga diberi tanggung jawab untuk mengeluarkan tenaga, memeras keringat dan bermandi darah hanya demi mendapatkan calon istri, kenapa sekarang hal itu tidak dirubah saja. Jumlah wanita lebih banyak, persaingan mereka dalam memperoleh suami tentu juga lebih ketat, lalu kenapa tidak mereka saja yang bersusah payah untuk memperebutkan laki-laki..? Bukankah sudah menjadi hak kami, para laki-laki, untuk berselonjor kaki, merokok, dan minum kopi sambil melihat para wanita saling berlomba untuk berkata “tolong jadi suamiku ya, saya tidak ingin menjadi perawan tua” Ha.. Ha.. Ha.. !!!

Lalu bagaimana dengan wanita yang sudah mengabiskan banyak tenaga dan biaya tapi tetap gagal mendapatkan pasangan..? Hm, ada solusinya kok. Mereka kan bisa menjadi istri kedua atau ketiga. Tapi…, poligami kan tidak boleh ya…? Jadi bagaimana dong…?

Tenang, semua masalah pasti diciptakan lengkap dengan solusinya. Poligami memang dilarang, tapi bukan berarti mereka tidak bisa memperoleh pasangan. Banyak jalan menuju roma, banyak cara untuk bermain akal-akalan. Ada banyak cara untuk mengatasi hal ini, tanpa perlu melakukan poligami. Diantaranya adalah:

1.Menjadi wanita simpanan
Poligami yang sah menurut hukum atau agama mungkin nanti dilarang, tapi tidak begitu dengan wanita simpanan. Jika menjadi istri kedua, maka kita akan dianggap sebagai perebut suami orang. Tapi kalau menjadi wanita simpanan, nama kita akan tetap bersih. Kenapa…? Karena wanita simpanan bisa dianggap seperti istri yang dirahasiakan, jadi hanya di ketahui oleh segelintir orang. Kalau tidak ada yang membocorkan, maka tidak akan ketahuan. Salah satu keuntungan dari status ini adalah, terkadang wanita simpanan mempunyai hak yang hampir sama dengan istri resmi. Disediakan rumah, dicukupi segala kebutuhan, bahkan jika mempunyai anak pun dia akan tetap diperhatikan. Hanya ada satu kelemahannya, wanita simpanan tidak bisa menuntut agar haknya disamakan dengan istri resmi. Hak tersebut tergantung pada kebaikan hati si laki-laki.

2.Menjadi seorang Lesbian
Saat ini kaum homoseksual (laki-laki) dan lesbian (wanita) sudah melimpah ruah. Di Amerika jumlah mereka sudah tak terhitung lagi karena homoseksual dianggap sebagai sebuah kewajaran, sebuah gaya hidup yang keren dan trendi. Dengan jumlah wanita yang lebih banyak padahal laki-lakinya banyak pula yang mengidap homoseksual, maka bisa dipastikan bahwa peluang wanita untuk bisa memperoleh pasangan akan semakin kecil. Satu-satunya jalan bagi para wanita tersisih (wanita yang kalah bersaing) untuk mengatasi hal ini adalah dengan berhubungan sesama jenis, menjadi seorang lesbian. Kenapa harus seperti itu…? Karena dengan menjadi lesbian mereka dapat memperoleh dua keuntungan sekaligus. Pertama, mereka bisa sama-sama mencari nafkah lalu hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara bersama-sama, seperti halnya sepasang suami istri. Kedua, mereka bisa memenuhi kebutuhan biologisnya dengan leluasa, tanpa takut hamil. Kalau toh ingin mempunyai anak, mereka bisa memperoleh dengan cara adopsi (yang illegal sekalipun) atau pergi ke bank sperma.

3.Berdoa, berdoa dan terus berdoa
Jika wanita tersisih ini tidak ingin menjadi wanita simpanan atau menjadi lesbian, artinya ingin menjadi seorang istri yang normal, legal, dan sah, maka ada jalan terakhir yang bisa ditempuh, yaitu dengan berdoa. Doa seperti apa…? Ya berdoa agar banyak pasangan suami istri yang bercerai agar si laki-laki menjadi duda lalu wanita tersebut mempunyai satu kesempatan lagi untuk bersaing dengan wanita tersisih lainnya (juga para janda) untuk memperebutkan sang pria.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, sang pembicara pun mengeluarkan kata-kata penutup. Para peserta yang sudah lelah dan mengantuk mulai ribut, ingin segera pulang dan istirahat. Namun ada seorang mahasiswa yang untuk beberapa saat masih terdiam dan terus berpikir tentang berbagai aspek dalam poligami. Lambat laun dia pun merasa puas akan solusi yang berhasil ditemukan. Bersama dengan mahasiswa lain dia beranjak pulang, menaiki motor merahnya lalu bergumam : “Solusi saya memang jenius, betul-betul cerdas. Seperti Newton yang menemukan teori gravitasi hanya dengan melihat apel jatuh, saya pun berhasil menemukan solusi untuk mengatasi poligami hanya dengan mengikuti pembekalan KKN. Saya memang istimewa, bukan laki-kali biasa”.

Jumat, 02 Februari 2007

Entah...





Entah..., aku tak ingin mengucapkan cinta
Saat wajahmu terbayang di kelopak mataku
Dan tawamu menggetarkan gendang telingaku

Entah..., aku pun tak ingin berkata suka
Saat kau terus datang dalam mimpiku
Lalu bermain seenaknya dalam anganku

Entah..., aku merasa belum pantas untuk mengucapkan cinta
Jika itu dapat mengotori benakku yang rapuh
Atau menghambatmu dalam menapaki hidup

Entah..., aku pun merasa belum pantas sekedar berkata suka
Jika kata itu terucap dari jiwa yang masih kekanakan
Dan sama sekali belum dewasa

Mungkin nanti, suatu saat
Dalam suasana berbeda, dengan pribadi yang berbeda pula
Aku akan berkata bahwa aku suka, aku cinta

Bahwa dari ratusan juta pria di negeri ini
Dari yang berwajah biasa, mempesona, bahkan yang tampan sekali
Hanya akulah yang benar-benar pantas untuk memilikimu

Entah...,
Aku, akan berusaha


Purwokerto, Januari 2006

Gie, katakan kau mencintaiku





 


“Gie katakan kau mencintaiku”


 


“Maaf, aku tidak bisa”


 


“Kenapa?”


 


Karena aku tidak yakin bahwa aku benar-benar mencintaimu”


 


“Jadi, kamu sama sekali tidak mencintaiku”


 


“Hm, belum tentu’


 


“Lho, kok begitu..?”


 


“Begini, sebenarnya aku memang menyukaimu. Tapi aku tidak tahu apakah itu sekedar perasaan suka, atau benar-benar cinta.”


 


“Tapi aku mencintaimu gie”


 


“Oh ya..? Tahu darimana?”


 


“Karena perasaanku kepadamu berbeda dengan perasaanku terhadap laki-laki lain”


 


“Memangnya apa yang kau rasakan..?”


 


“Entahlah”


 


“Lho..?”


 


“Aku juga tak tahu. Sudah berulang kali ku coba menuliskan rasa ini, tapi kata-kata yang kususun jadi seperti buih saja. Tak mampu mewakili perasaanku””


 


“Ya sudah, tidak apa-apa. Coba kau jelaskan padaku”


 


“Biarpun tidak mewakili seratus persen gie..?”


 


“Yup”


 


“Baiklah. Bila bertemu denganmu, hatiku serasa terbang ke angkasa, begitu ringan. Hatiku serasa pelangi, dibelai lembutnya awan.  Hatiku serasa laut, yang tenang, memercikkan ombak. Hatiku serasa gunung, anggun, kokoh, tak tergoyahkan. Hatiku serasa kanvas putih, lalu kau beri lukisan penuh warna-warni. Bersamamu aku merasa damai. Beban yang menggelayuti pikiranku terasa lepas sehingga masalah seberat apapun tak lagi menghantui. Bersamamu, rasanya aku bisa terus maju menghadapi kerasnya hidup ini.”


 


“Oh.., kalau begitu berarti aku juga mencintaimu. Sebab aku juga memiliki perasaan yang sama”


 


“Benarkah...? Lalu sekarang bagaimana..?”


 


“Maksud kamu..?”


 


“Gie.., apa kamu tak ingin punya pacar..?”


 


“Kalau punya wanita yang dicintai, aku ingin. Kalau punya istri, aku ingin. Tapi kalau pacar.., rasanya tidak”


 


“Kenapa..?”


 


“Ya.., males aja”


 


“Kok males..?”


 


“Duh, jadi wanita kok banyak nanya sih..? Begini ya. Aku ingin bebas. Untuk kuliah, bersantai, nongkrong, kerja sambilan, ngaji dikit-dikit, latihan berantem, dan lainnya. Sedangkan kalau punya pacar, rasanya keinginanku tersebut sulit untuk dinikmati. Aku harus membagi waktu untuk berdua denganmu, harus mengantar dan menjemputmu, harus main ke tempatmu, harus ini, harus itu. Lama-lama waktu yang kusediakan untukmu lebih banyak daripada yang kusediakan untukku sendiri.”


 


“Ah tidak juga.”


 


“Lho siapa bilang..? Memang secara fisik, kita jarang bertemu tapi secara psikis kita akan berjumpa rata-rata dua puluh delapan jam sehari. Kita bertemu saat sedang makan, saat kuliah, saat nonton TV, saat bekerja, saat tidur, bahkan saat sedang mandi. Ya, aku akan selalu melihatmu sedang enak-enak nongkrong di otakku. Kau takkan mau pergi dari situ. Lalu, berapa waktu yang tersisa untuk memikirkan diriku sendiri..? Sangat sedikit.”


 


“Lho, bukankah kalau punya istri kaupun akan mengalami hal yang sama..?”


 


“Nah, begini ya. Kalau sebagian besar waktuku tersita untuk mengurus keluarga sih tidak apa-apa. Aku rela-rela saja. Toh memang sudah jadi kewajiban suami untuk membahagiakan anak istrinya. Dan suami mana yang tidak tersenyum puas saat bisa melihat istrinya bahagia..? Kalau ada tolong tunjukkan padaku, biar aku interogasi dia. Dan kau tahu tidak, kalau kita bisa membina rumah tangga yang bahagia, kita dapat pahala. Kalau kita menikah, Allah berjanji untuk mencukupi rejeki kita. Nah, kita bisa dua kali untung kan..? Tapi, Dia tidak menjanjikan hal yang sama kalau kita mempunyai pacar. Berkorban pun ada hitung-hitungannya, ada untung-ruginya. Baik keuntungan materi, maupun ukhrawi. Terserah kita pilih yang mana. Dan aku tidak mau berkorban banyak hanya untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit. Huh.., maaf saja ya..”


 


“Jadi kau tak mau jadi pacarku..?”


 


“Ogah”


 


“OK Gie, kalau memang kau tak mau waktumu tersita, aku rela tidak ditemui selama belasan hari. Kalau memang kau tidak mau bayanganku terus menghantui, aku rela kau usir dari otakmu. Asal aku bisa jadi pacarmu Gie, aku ingin merasa bahwa kau benar-benar mencintaiku.”


 


“Duh gimana ya..? sebenarnya aku tidak enak untuk mengatakan ini, tapi apa boleh buat. Jujur saja, sebenarnya bukan itu yang jadi alasan utamaku. Kau tahu kan..? laki-laki berumur dua puluhan seperti aku ini sedang sehat-sehatnya, dari segi psikispun pasti sangatlah bergelora. Juga dalam segi (maaf) Nafsu. Nah, bagi kaum lelaki nafsu bisa datang begitu saja, tanpa ada sebabnya. Dan kami (laki-laki) bisa terpancing untuk berbuat yang tidak-tidak hanya dengan melihat hal seronok walaupun sekejap. Bagi mereka yang sudah berpacaran, dorongan untuk melakukan "sesuatu" mungkin lebih besar daripada mereka yang masih jomblo. Kenapa..? Karena mereka bisa berkilah "Ah, dia kan pacarku. Toh nanti kami akan menikah, jadi kalau macam-macam sedikit kan tidak apa-apa, itung-itung bayar uang muka". Nah, aku sering berpikir seperti itu. Makanya untuk menghindarinya aku memilih untuk sendiri dulu.”


 


“Lho, kamu menghinaku Gie..? Kau pikir aku ini begitu rendah sehingga mau kau apa-apakan..?”


 


“Tidak. Aku yakin kamu bisa menjaga diri. Tapi yang namanya iman ada pasang surutnya. Mungkin kalau iman kita sedang tinggi-tingginya, kita akan terbentengi dari perbuatan tidak baik. Tapi bagaimana kalau iman kita sedang turun padahal saat itu kita berdua punya kesempatan untuk berbuat macam-macam..? Apa kita bisa memastikan bahwa kita mampu menahan diri..? Apalagi si syetan, mahluk jahanam yang selalu menguntit kita itu, pasti tak akan melewatkan kesempatan yang terbentang di depan mata. Kalau momen itu bisa dia manfaatkan dengan baik, benteng yang kita bangun bisa jebol. Kita manusia biasa, bukan nabi, bukan wali. Sudah seharusnya kita meminimalkan resiko.”


 


“Jadi..?”


 


“Ya itu tadi. Maaf. Aku sudah memutuskan, aku sudah membuat komitmen. Aku tidak ingin melanggarnya. Demi kebaikanmu, demi kebaikan kita.”


 


Alarm pun berdentang, sudah pukul lima pagi. Aku terbangun, bengong, lalu garuk-garuk kepala.


 


Sialan, makin hari mimpiku kok makin aneh saja...!!!


 


 


 


Purwokerto, januari 06


Fiksi, asli deh cuma fiksi