Senin, 03 September 2007

cerpen merdeka dilarang perang di kebon pisang bersama gadis yang kusayang lalu digigit belalang, ah togie yang malang

 
 

Suatu hari, di pojok sebuah puisi. Seorang tua bersorban terlihat berjalan tergesa. Tangannya mengejang, menggenggam parang. Wajahnya memerah, penuh amarah. Darahnya panas. Tatap matanya tajam. Seringainya begitu buas. Membuat seluruh mahluk bernyawa disekitarnya langsung menghentikan aktifitas. Takut membuat pak tua bersorban murka, lalu harus menanggung resiko kehilangan nyawa.

Namun sedetik kemudian, tiba-tiba langkah pak tua terhenti. Dia terdiam. Menatap langit, menatap pucuk-pucuk pohon, menatap dedaunan. Secara perlahan, rahangnya mulai mengatup, giginya berderik, tubuhnya bergetar hebat. Dia mengacungkan parangnya ke arah langit. Menatap biru, serta putihnya awan. Dengan tiba-tiba pula dia berteriak : "AKAN KUBUNUH MEREKA..!!"

Angin berdesir kencang. Daun-daun berguguran, berputar, melayang jatuh menyentuh tanah

Dari ufuk barat, terbitlah sesosok pemuda. Memakai jas, berkemeja, bercelana panjang, serta berdasi. Dia melaju mengendarai laptop terbang, melayang di awang-awang. Seiring hembusan angin, dia memacu laptopnya mendekati pak tua. Semakin dekat, semakin dekat, hingga akhirnya :"SSSHHHIIIITTTTT..!!!". Laptop di rem mendadak tepat dihadapan pak tua. Memuncratkan oli impor dari lubang knalpot. Sang pemuda melompat turun. Bruk.., sepatu NIKE nya mendarat di tanah, menginjak daun-daun kering. Dia tersenyum ramah pada pak tua, lalu dengan sopan berkata :

“Tunggu sebentar pak.., sabar dulu” Ucapnya
“Tunda langkah kaki anda”
“Mari kita ngobrol, berbagi informasi, saling berdiskusi”
“Agar tercapailah kebenaran hakiki”
“Tapi saya mohon, tunggu sebentar ya pak”
“Saya harus mencari referensi dari laptop dulu”
“Please, sit down. Relax. Wait for me”

Angin berdesir kencang. Daun-daun berguguran, berputar, melayang jatuh menyentuh tanah

Kata-kata sang pemuda mulai mengalir, terbawa angin, masuk melalui lubang telinga pak tua. Kata-kata itu bukanlah kata-kata biasa. Ada berbagai mutiara, emas, dan intan permata terkandung disana. Wajar sajalah, sebab apa yang diucapkan sama persis seperti yang tertulis di layar monitor. Mulai dari spasi, tanda seru, tanda tanya, bahkan sampai titik komanya segala. Tapi walau begitu, tampaknya pak tua harus bersusah-susah dulu agar bisa mencerna ucapan sang pemuda. Maklum, pak tua hanya orang desa. Sedangkan bahasa yang digunakan sang pemuda penuh dengan istilah asing, susah dimengerti. Tapi tak apa, pak tua bisa memaklumi. Termasuk ketika sang pemuda berbicara dengan terlalu bersemangat hingga airliurnya nyemprot diatas tanah, membentuk pola bergambar dollar. Juga saat dengan tegasnya sang pemuda berkata :

JANGAN MEMBUNUH ATAS NAMA AGAMA..!!
ISLAM ADALAH AGAMA DAMAI
ISLAM RAHMAT BAGI SEMESTA ALAM
ISLAM TIDAK MEMBENARKAN PEMBUNUHAN
JANGAN JADI PENGANUT ISLAM FUNDAMENTAL YANG HANYA TAHU BACOK
JADILAH MUSLIM PENUH KASIH
MENYAYANGI SELURUH UMAT BERAGAMA
RAHMAT BAGI ALAM SEMESTA

Angin berdesir kencang. Daun-daun berguguran, berputar, melayang jatuh menyentuh tanah

Pak tua diam, dia termenung. Sebenarnya dia ingin membantah kata-kata sang pemuda. Dia ingin berkata bahwa islam adalah agama dua sisi. Kadang mengasihi, kadang tegas. Kadang memaafkan, kadang menyuruh melawan. Semua tergantung situasi dan kondisi, tidak saklek. Namun dia memutuskan untuk diam saja. Membiarkan sang pemuda yang dengan mulut berbusa memberi pencerahan pada dirinya. Tentang AlQuran yang multitafsir, bahaya islam fundamentalis, jangan jadi muslim teroris. Bahkan tentang : “Jangan terlalu serius ber-islam, yang liberal sajalah”

Angin berdesir kencang. Daun-daun berguguran, berputar, melayang jatuh menyentuh tanah

Pak tua makin terdiam, termenung, jari telunjuknya nempel di dahi. Dia teringat kata-kata ustadz di kampungnya. Tentang kewajiban berjihad, membela agama Allah : Mengorbankan harta, pikiran, tenaga bahkan nyawa. Namun kalau saat ini dia menjelaskan kata-kata sang ustadz pada mahasiswa di depannya, tentu kata-kata pak tua akan dibantah dengan kerasnya. Yah, maklum lah. Namanya juga darah muda. Apalagi dia kembali teringat pada tujuannya semula, saat tadi mengacung-acungkan parang ke langit, saat dia sedang berusaha menguatkan hati agar tega membunuh, mengesampingkan pikiran bahwa dengan membunuh satu orang musuh, berarti akan membuat seorang ibu kehilangan anak, dan istri kehilangan suami. Dia harus melanjutkan perjalanan yang tertunda ini, sambil berlatih membangkitkan emosi lagi.

Akhirnya, beliau pun berpikir : Kalau islam menghalangi kita berperang, melarang kita untuk melawan, menyuruh kita terbaring diam lalu menunggu tubuh dilindas tank, berarti hanya tinggal satu alasan tersisa agar beliau bisa ikut berjuang :

MAS, BELANDA SUDAH SAMPAI DI YOGYA, KINI MEREKA MENYERANG SURABAYA
DISANA, RIBUAN PEMUDA SUDAH BERKUMPUL UNTUK MELAKUKAN PERLAWANAN
BAIK DARI UMAT ISLAM, KRISTEN, HINDU, BUDHA, BAHKAN YANG TAK BERAGAMA
JADI KALAU SAYA TIDAK BOLEH BERPERANG WALAUPUN ISLAM MENYURUH KITA MELINDUNGI TANAH INI
GIMANA KALAU BERPERANGNYA ATAS NAMA NASIONALISME SAJA
ATAS NAMA NUSA DAN BANGSA

Angin berdesir kencang. Daun-daun berguguran, berputar, melayang jatuh menyentuh tanah

Sang pemuda terdiam. Dia tidak menyangka kalau pak tua akan berkata seperti ini. Sosok bersorban, berbaju koko serta berpeci seperti beliau seharusnya berwatak fundamental, membela prinsipnya untuk berjihad. Dia mengira bahwa pak tua akan memaparkan berbagai dalil tentang jihad, yang diambil dari AlQuran atau hadis nabi. Karena itulah dia sudah menyiapkan berbagai argumen untuk membantah dalil tersebut. Tapi tampaknya, persiapan sang pemuda sia-sia saja. Kenapa..? Tentu karena pak tua berbicara sok nasionalis, bukan agamis.

Namun sang pemuda tak kehilangan akal. Dia tetap harus mencegah pak tua agar tidak berangkat perang. Karena itulah, dia kembali menyalakan laptop. Mencari referensi tentang boleh tidaknya berperang, padahal senjata kita hanyalah parang. Bukankah melawan penjajah tapi berbekal senjata seadanya berarti sama saja dengan bunuh diri..?

Namun sebelum dia mengakses google lalu mencari referensi tentang etis tidaknya bunuh diri, Pak tua keburu berkata :

TENANG SAJA MAS. SEKARANG SAYA MEMANG CUMA BAWA PARANG. TAPI NANTI SAYA BISA NGAMBIL BEDILNYA PEJUANG YANG GUGUR

Sang pemuda terdiam. Dia memelototi laptop. Mencari referensi tentang halal-tidaknya berperang dengan barang curian

SAYA KAN BERPERANGNYA BUKAN ATAS NAMA AGAMA MAS. JADI GAK PAKE HALAL-HARAM SEGALA. KAN MAS SENDIRI YANG BILANG JANGAN MEMBUNUH DENGAN MENGATASNAMAKAN AGAMA..?

Sang pemuda terdiam. Matanya fokus pada laptop. Mencari re...

MAS. NGOBROLNYA UDAHAN YUK..? KITA BERANGKAT KE SURABAYA YUK..?

Sang pemuda terdiam. Matanya fokus pada laptop. Mencari referensi tentang boleh tidaknya suatu negara merebut kemerdekaan dengan cara berperang padahal perang itu dilarang. Menyalahkan mereka yang gugur saat membela tanah air karena perintah agama, lalu tiba-tiba bingung saat berpikir : "Kalau bukan atas nama agama sih patut disalahkan tidak ya..?"

MAS. UDAHLAH, JANGAN BINGUNG-BINGUNG. JANGAN NURUTIN TULISAN INI. LHA WONG PENULISNYA LAGI ERROR KOK. MAS LIHAT SAJALAH. SAYA BAWA GOLOK DIBILANGNYA PARANG. LAGI TERSENYUM DISANGKA LAGI MARAH. BAHKAN DI JAMAN SEBELUM KEMERDEKAAN INI, SEBELUM TAHUN 1945 INI, KOK DITULIS KALO MAS BISA BAWA-BAWA LAPTOP..? EMANG JAMAN SEGITU UDAH ADA LAPTOP..? MAKANYA MAS, UDAHLAH. KITA BERANGKAT PERANG YUK..?

Sang pemuda terdiam. Masih menghadap laptop. Berperang itu salah. Membunuh itu dilarang, biar musuh sekalipun. Pak tua berangkat berperang, pak tua berniat membunuh. Berarti menurut islam, beliau salah. Beliau berdosa. Membunuh seorang manusia sama saja dengan membunuh semua orang di bumi. Menurut islam, beliau telah berdosa besar. Tapi sayangnya, kenapa beliau melandaskan alasannya pada nasionalisme, bukan pada agama..? Bah..!! Kalau begini, percuma dia datang jauh-jauh dari barat. Percuma dia bawa laptop. Percuma dia menjelaskan tentang fundamentalis, liberalis, teroris, bronchitis, meningitis, ekonimis kritis, romantis kronis, bahkan gejala autis. 

Angin berdesir kencang. Daun-daun berguguran, berputar, melayang jatuh menyentuh tanah..

Tahun demi tahun berlalu. Indonesia telah merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang keenam puluh dua. Namun sang pemuda masih menatap laptop. Dia ingin menyalahkan pak tua yang gugur karena kepalanya tertembak peluru musuh, terkena lemparan granat, lalu serpihan tubuhnya dilindas tank. Sang mahasiswa tak ikut berjuang. Prinsip yang dia junjung tinggi telah melarangnya untuk berjuang. Memang sang pemuda bisa hidup di masa kemerdekaan atas jasa para pahlawan seperti pak tua. Tapi biarpun begitu, pak tua tetaplah salah. Beliau nekat berperang, beliau berniat membunuh. Dosa.

Hingga kemudian, secara tiba-tiba sang pemuda bersorak kegirangan, tersenyum pisang, lalu pamerkan berderet tawa. Tidak apa-apalah kalau sekarang dia tidak bisa menyalahkan Pak Tua, gara-gara sok nasionalis, bukan agamis. Toh dia masih bisa menyalahkan rakyat palestina. Bukankah sebagian dari mereka ingin merdeka karena mengacu pada perintah agama..? Hahaha...

 

 

 

Angin masih berdesir kencang. Daun-daun berguguran, berputar, melayang jatuh menyentuh tanah..

 

4 komentar:

  1. SUDAHLAH MAS, JANGAN KEBANYAKAN MENGHAYAL
    BELANDA SUDAH SAMPAI SURABAYA
    :D

    BalasHapus
  2. laptop terbang Gie??? seumur2 aku kok blm pernah liat ya ??? apa saking kupernya diriku ini ???
    btw itu fotonya sapa Gie??? pemuda terbit???

    BalasHapus
  3. @sendu

    Daku lagi liburan ndu, kerja praktek dah selesai. gak ada kerjaan
    jadi lagi banyak berkhayal, melamun selamun-lamunnya
    harap maklum ndu

    btw, kapan nikah? :P

    BalasHapus
  4. @mbak fee

    hihi, harap dimaklumi mbak. soalnya kalo daku tulis donat terbang
    pasti nanti langsung habis dimakan pak tua
    soalnya biar ada tenaga buat perang

    itu foto adik daku yg lagi berantem2an ma temennya
    maklum lah, anak SMA kadang suka aneh-aneh

    BalasHapus