Senin, 17 September 2007

hikayat sang mahasiswa tampan dan pohon keramat

 

Satu hal yang seharusnya membedakan mahasiswa teknik dengan mahasiswa lain adalah pada pola pikir. Di teknik, kita harus terbiasa untuk berpikir aplikatif. Teori serumit, secerdas dan seindah apapun, harus bisa kita aplikasikan. Amat disayangkan kalau ada mahasiswa yang mengaku belajar di fakultas teknik kok cuma berkutat di teori. Berdasarkan hal itu, maka saya, mahasiswa yang konon ngendon di teknik tapi bercita-cita jadi petani ini, pun ikut terbawa pola pikir yang aplikatif juga.

Begini, alkisah, di kampung saya yang dipenuhi hutan bambu itu, berdiri kokoh sebatang pohon kelapa sawit yang konon usianya sudah tua, dan konon ada jin penunggunya pula. Dengan modal konon itulah maka pohon tersebut bermasa depan sejahtera. Hampir setiap bulan puasa, ada saja manusia yang datang mempersembahkan sesajian. Mulai dari kemenyan, kembang, jajanan, serta buah-buahan. Konon katanya, dengan meminta tolong pada si pohon, maka hajat kita bisa terpenuhi. Walau konon pula, ada yang beralasan bahwa mereka melakukan hal itu hanya demi mendoakan dan menghormati sang ulama yang kebetulan sudah mati dan dikubur disamping pohon.

Konon, dahulu kala, ada seorang penyebar agama islam yang berdakwah di kampung saya. Konon katanya dia seorang ulama, bahkan ada yang menyebutnya sebagai wali. Dengan status seperti itu, maka wajar saja jika konon beliau memiliki karomah yang tetap ada walaupun jasadnya sudah mati. Dan karomah itulah yang dimanfaatkan oleh para manusia untuk dimintai tolong. Konon katanya cuma sekedar dijadikan perantara, minta tolongnya sih tetep pada Sang Pencipta.

Sayangnya, biarpun begitu, kok pada kenyataannya beredar desas-desus yang bikin miris kepala. Dulu, sering pohon tersebut mengganggu manusia. Ada orang yang melihat kuntilanak, tuyul, gondoruwo, wewe gombel, bahkan kampret seukuran raksasa. Minimalnya, mereka diresahkan oleh suara tangisan bayi atau rintihan wanita muda. Walau sebenarnya tak ada yang tahu pasti apakah suara rintihan tersebut berasal dari wanita yang bener-bener masih muda, remaja, sudah tua, atau cuma setengah baya.

Dan yang lebih disayangkan lagi, ada yang menganggap bahwa si pohon bisa mencelakakan manusia. Dulu ada yang nekat mencongkel bonggol pohon tua yang konon katanya teman karibnya si pohon keramat. Si pencongkel, yang tadinya bertubuh gemuk, subur, penuh gizi, akhirnya jadi sakit-sakitan lalu mati (Inna Lillahi wa inna illahi roji'un). Sialnya, masyarakat kampung saya kemudian menganggap bahwa orang tersebut mati karena kena kutuk.

Jadi, tak aneh kalau masyarakat akhirnya terlalu mengkultuskan sang pohon. Lebih kultus dari presiden George W Bush sekalipun. Termasuk para jomblo kurang kerjaan yang sering ngumpul menghabiskan waktu di warung samping rumah. Jomblo penakut yang sifat tidak jantannya sering bikin gerah. Dan karena saya ini, mahasiswa teknik pemalas ini, gak tahan dengan sifat penakut mereka, akhirnya saya pun ngomong panjang lebar, berbusa-busa, menjelaskan berbagai dalil dan argumen yang intinya adalah kita tak perlu takut pada sang pohon. Toh kalau memang disana ada kuburan wali, wali tersebut cuma boleh kita hormati, bukan ditakuti atau dikeramatkan. Dan toh kalau sebenarnya si pohon ditunggu jin, itu lebih tidak boleh ditakuti lagi. Buat apa takut kepada jin..?

Namun sayangnya, sifat penakut mereka sudah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan. Omongan saya cuma dianggap sebagai bualan. Dan berhubung saya ini orangnya gampang emosi, jadi biar tidak tambah marah akhirnya saya putuskan untuk langsung kasih bukti. Saat itu, ditemani adik saya dan temannya, saya mengajak dua orang jomblo penakut untuk adu nyali di sekitar pohon. Pukul sebelas malam, kami bergerak menuju ke rimbun hutan bambu, lalu nongkrong selama berjam-jam menunggu agar diganggu sang penguasa pohon. Bermodalkan sebungkus rokok hasil ngutang di warung sebelah, kami duduk diam disana. Tapi mulut kami tidak ikut diam. Berkali-kali kami menghina sang penguasa pohon. "Kalau benani, ayo nongol kesini..!!", "Cuih.., pohon kok ditakuti..?", "Kalau gak mau nongol, nanti kami kencingi..!!".

Haha, dan walhasil, beberapa saat kemudian, muncul angin besar yang anehnya hanya berputar di sekitar sang pohon, sedangkan rimbun pohon bambu yang ada disitu tetap diam. Tercium juga bau wangi kemenyan, bau kembang, bahkan bau bangkai. Seakan belum cukup, muncul pula sesosok musang yang bisa-bisanya mendekat dan memelototi kami, padahal biasanya kalau bertemu manusia si musang pasti lari. Tak aneh kalau kemudian ada seorang jomblo yang tiba-tiba mengambil ancang-ancang untuk kabur. Cuih, penakut.

"OK, silahkan kabur. Tapi ingat, sesampainya di rumah, kamu harus langsung pergi ke kamar mandi. Lepas tuh celana, ganti dengan rok, sekalian pake BH. Biar rada pantes. biar gak mirip laki-laki..!!"

Itulah kata-kata yang kemudian meloncat keluar dari mulut saya. Dan si jomblo penakut pun menunduk malu, batal meneruskan aksi kaburnya. Kami terus duduk disitu sampai jam setengah satu dinihari, dan hal-hal aneh yang tadi menghantui pun terhenti. Kami bosan, kami pun pulang.

Sayangnya, sayang selalu saja datang. Besoknya ada pria pemabuk yang mendongeng tentang kisah konyol dimana dari dongengan tersebut bisa disimpulkan bahwa mau tidak mau si pohon harus tetap dianggap keramat. Dan berhubung pria tersebut konon lumayan sakti, konon pasang susuk, konon tidak mempan dibacok, para jomblo yang saat itu berjumlah belasan pun cuma bisa mengangguk setuju, gak berani membantah. Namun saya, sang jomblo didikan teknik elektro Unsoed malah jadi gerah. Karena saat itu ada teman sesama mahasiswa unsoed, maka saya nekat mengajak teman saya dan belasan jomblo lainnya untuk uji nyali lagi ke pohon keramat. Hutan bambu yang biasanya sepi tiba-tiba ramai dipenuhi iring-iringan jomblo yang ingin langsung melihat bukti.

Dan saat itulah, sesampainya disana, teman saya menjelaskan bahwa pohon tersebut memang tidak ada sakti-saktinya. Dia juga berkata bahwa toh kalau memang disitu dikubur wali, maka wali tersebut sudah gak ada hubungannya lagi dengan alam nyata. Dia sudah mati, sudah sibuk dengan dunianya sendiri, gak bisa ikut campur urusan kita. Namun kalau ternyata yang bikin ulah adalah jin, maka lebih baik kalau jin tersebut nongol saja, agar bisa kami interogasi, lalu kalau terbukti bersalah bisa kami hajar ramai-ramai. Pasti dia kapok kalau sudah merasakan ngenesnya digebuki belasan jomblo yang hobi berkelahi. Dan para jomblo pun menunduk diam. Sebab setelah ditunggu sampai bosan pun, gak ada mahluk aneh yang berani mengganggu

Ah, lagi-lagi sayang, besoknya si pemabuk tetep berkoar-koar. Dia bercerita berbagai hal aneh tentang hantu, kutukan, kesaktian, jimat dan sebagainya. Bahkan dia bercerita bahwa saat ada penduduk hutan bambu yang meninggal, keris milik si penduduk tersebut tiba-tiba terbang perlahan ke arah sang pohon. Dan berhubung kejadian tersebut dilihat oleh para pelayat, maka bisa dibuktikan bahwa pohon tersebut memang sakti.

Tapi argumen seperti itu belum cukup untuk mematahkan kengeyelan saya. Dengan beraninya saya bilang bahwa : "Kalau pohon itu benar-benar sakti, kenapa saya masih belum kenapa-napa..? Padahal saya sudah menghina tuh pohon dengan habis-habisan. Lha wong ditantang berantem plus diancam mau dikencingi kok pohon tersebut gak marah..? gak menyakiti saya..? Lalu dimana saktinya..? Dan kalau memang ternyata pohon tersebut gak berani melawan saya karena saya berwajah ganteng, kenapa dia tidak menyakiti belasan jomblo yang lain..? Toh mereka masih kalah ganteng dengan saya..?" Dan para jomblo pun diam. Tak bisa membantah.

Terakhir, saat si pemabuk masih berkutat dengan kengeyelannya, adik saya pun berkata :

"Ck, pohon, susuk, kesaktian, itu semua gak perlu ditakuti. Kalau ada yang pasang susuk lalu mengaku sakti, gak mempan dibacok, aku malah pingin bukti. Kalau berani, ayo sini, biar tak bacok sekalian. Kita lihat, bisa berdarah atau tidak. Susuk..? Cuih. Paling-paling cuma bisa pasang susuk emas setengah gram kok bangga. Jangan-jangan khasiatnya masih kurang gede. Mending kalau susuknya emas sekilo sekalian, atau malah intan berlian. Kalau gak punya duit kan bisa dijual, lumayan."

Angin dingin berhembus masuk dari pintu warung, si pemabuk tiba-tiba diam, tak bergeming.

4 komentar:

  1. wakakka..kata2 yang terakhir lebih bisa membungkam si pemabuk hehehe

    BalasHapus
  2. Bener mas, seorang mahasiswa yang dididik kritis tidak boleh percaya hal-hal yang ngga jelas juntrungannya kayak gitu. Hari gini percaya mistisme? Apa kata dunia....hehe

    BalasHapus
  3. Tapi kan penuh resiko mbak
    Untung si pemabuk gak ngamuk

    BalasHapus
  4. yaaah, yang jadi masalah adalah gimana caranya menjelaskan hal itu pada belasan jomblo penakut yang berseliweran di warung samping rumah bang. Susah. Makanya mending langsung dibuktiin

    BalasHapus