Jumat, 30 November 2007

Antara cinta dan jambu biji


 

 

Disini, di atas risban ini, kami duduk melepas lelah. Menyeruput kopi panas dan melahap ubi goreng buah karya si gadis manis dari RT sebelah. Saat itu pula, sebenarnya, mata kami sama-sama sedang tertuju pada sebatang pohon jambu biji yang berdiri anggun di depan kami. Lima meter di belakang rumah si gadis manis, tiga meter bila diukur dari tiang jemuran, lima belas senti di samping kolam ikan. Pohon jambu dengan puluhan cabang, ratusan helai daun, dan belasan jambu kecil mungil yang bergelantungan layaknya manik-manik.

 

Diantara belasan jambu itu, ada satu yang menarik perhatian kami. Bila jambu-jambu lain berukuran kecil dan letaknya bergerombol di pojok dahan tertutup daun, jambu yang satu ini dengan pede-nya menempatkan diri di area terluar pohon. Mempertontonkan dirinya kepada kami, menyita perhatian kami. Layaknya bidadari berbusana sutra, bercincin merah delima, berkalung mutiara, bermahkota permata, yang berbaur dengan segerombolan kera. Dia membuat kami mau tidak mau merasa tertarik, melihat, mengamati, bahkan ingin memiliki.

 

Maka anda jangan heran jika secara tiba-tiba seorang mahasiswa teknik elektro berinisiatif untuk mengintimidasi si koneng (remaja belasan tahun) yang duduk disebelahnya : "Jambu itu milikku". Si Koneng pun terdiam karena bila dilihat dari kacamata senioritas, dia berada di bawah peringkat sang mahasiswa. Begitu pula Tarso yang lebih muda, dia memilih untuk melengos pergi menuju dapur. Sedangkan si Narto, yang paling muda, menurut bagan alur penindasan versi kuli renovasi mushalla hanya bisa memegang peranan sebagai rakyat kecil yang rela di dzalimi, melawan berarti mati.

 

Namun sebelum si mahasiswa sempat tersenyum puas, Mas Nardan (yang berumur lebih tua) terlihat sedang menatap sang buah jambu dengan penuh hasrat. Pertanda bahwa dia pun berminat untuk memilikinya. Terasa belum cukup, ternyata pak ustadz pun terlihat mengagumi buah idaman itu dengan khusyu'nya. Kesimpulannya, pada bagan alur penindasan versi kuli mushalla, pak ustadz menduduki peringkat teratas. Berada di posisi puncak. Bila ada diantara kami yang layak memainkan peran sebagai diktator bertangan besi, maka beliaulah orangnya. Untung beliau berjiwa bijaksana, tidak suka main ancam seperti saya. Tapi sayang, teori ini tak berlaku bagi Tarmo. Dia tak peduli dengan tatap mata pak ustadz. Bagi dia jambu adalah jambu, tak ada hubungannya dengan senioritas.

 

Begitulah. Hari-hari selanjutnya berlalu dengan rutinitas yang hampir sama. Kerja bakti, beristirahat, menikmati kopi panas dan ubi goreng buah tangan si gadis manis dari RT sebelah, lalu memusatkan pandangan mata pada sebutir jambu yang tergantung dengan anggun. Perlahan, berbagai fantasi muncul di benak kami. berkembang, lalu beranak pinak memenuhi alam khayal. Membayangkan bilamana jambu itu masak. Saat nanti salah satu diantara kami bangkit dari risban, berjalan pelan menghampiri si jambu idaman, menyempatkan diri untuk tersenyum manis, menyentuhkan jari tangan pada si jambu lalu TESS : Puncak ekstase tercapai saat jambu itu dipetik.

 

Terbayang pula bilamana buah itu kami belah dengan pisau. Bijinya yang merah, yang dikelilingi daging buah berwarna putih kekuningan pasti terlihat indah. Ingin rasanya hati ini menempatkannya dalam sebuah kotak kaca, memberinya pita kuning, lalu memajangnya di tengah risban. Jambu itu akan tampak elok, seelok intan permata yang dipamerkan di museum kota.

 

Sayang, tak seorangpun dari kami pernah menduga bahwa di suatu siang yang terik, jambu biji bak mutiara itu sirna dari pohonnya. Tak seorang pun menyangka bahwa tanpa bisa dicegah, seorang bapak yang lewat tiba-tiba berhenti tepat dibawah pohon jambu lalu dengan semena-mena memetik jambu idaman kami. TESS..!! Lirih suara yang timbul saat itu sama persis seperti suara patahnya hati kami. Rasanya seperti kehilangan seorang kekasih hati. Selayak ikan yang tak bisa lagi melihat air, layaknya motor kehabisan bensin, mirip goerge bush JR tanpa perang. Dan si bapak itu, tanpa menengok ke arah kami, tanpa mempedulikan penderitaan kami, dengan seenaknya melengos pergi. Lalu menghilang dibalik pagar mushalla.

 

Terlepas dari kasus jambu biji, cinta pun punya jalan cerita yang hampir sama. Ketika jatuh cinta pada seseorang, hati kita akan tertambat ke orang tersebut. Tak peduli dihadapan kita terbentang ratusan ekor kera, jutaan motor vespa, milyaran itik betina, plus bertrilyun manusia, konsentrasi kita hanya akan tertuju ke satu titik – “DIA.., DIA.., DIA..”

 

Namun seperti tunduk pada hukum alam. Semakin elok sang pujaan hati kita, semakin banyaklah orang yang menginginkannya. Saat itu, kita harus berjuang sekuat tenaga untuk memenangkan persaingan. Sayangnya, seperti dalam kasus senioritas versi jambu biji, kita sering kalah mental sebelum berjuang. Minder terhadap lawan yang lebih kaya, lebih ganteng, lebih pintar, dan lebih-lebih lainnya. Padahal dalam cinta, yang jadi tujuan utama adalah : “Bisa mendapatkan hati pujaan kita”. Dan untuk itu, terkadang kekayaan, kegantengan dan kepintaran kurang begitu berguna. Semua tergantung teknik, kejelian memanfaatkan peluang, dan sedikit keberuntungan. Intinya, anutlah prinsip yang dipegang teguh oleh Tarmo. Nekat, cuek, masa bodoh dengan lawan. Yang penting adalah jambu biji, yang penting ngedapetin hati si doi. Itu saja, titik.

 

Dan layaknya orang jatuh cinta, sebelum sempat menakhlukkan hati pujaan kita, terkadang otak kita secara lancang berani pesiar kealam khayal. Membayangkan indahnya jika bisa bersama, duduk bercengkerama, berdua menikmati indahnya mentari sore, lalu menuliskannya menjadi puisi cinta. Terkadang indahnya alam khayal itu membuat kita lupa untuk berjuang. Kita terlanjur terhanyut. Lepas dari realita. Berpikir bahwa apa yang kita lakukan sudah cukup. Merasa bahwa kita sudah bahagia. Padahal sebahagia apapun hati kita saat itu, kita bisa saja langsung terjun bebas ke dasar jurang penderitaan. Bila dia keburu direbut orang lain. Ingat bung, jangan merasa cukup dengan sesuatu yang sedikit, jangan berhenti berusaha sebelum tiba pada tujuan anda. Patah hati itu pedih bung.., pedih..!!!

 

Terakhir, jika anda sedang jatuh cinta, maka selain memupuk rasa bahagia, anda juga harus bersikap waspada. Jangan sampai disaat anda terlena tiba-tiba sang pujaan anda direbut oleh orang yang sama sekali tidak diduga. Seperti jambu idaman kami yang keburu dipetik bapak-bapak di kompleks mushalla. Untuk yang satu ini, sudilah kiranya membaca tips yang terinspirasi oleh tragedi jambu biji :

 

  1. Saat anda jatuh cinta, berarti orang yang memikat hati anda memiliki sesuatu yang menarik. Dan kemungkinan besar, sesuatu tersebut juga menarik hati orang lain. Dengan kata lain, anda memiliki saingan.
  2. Dalam bersaing, tentukanlah standar baku persaingan. Menyangkut banyaknya harta, gantengnya wajah, atau cerdasnya otak. Kalau toh anda kalah dalam segala-galanya, tetaplah berusaha, jangan putus asa. Kerja keras anda juga bisa dianggap sebagai suatu kelebihan. Atau kalau sedang beruntung, siapa tahu si doi malah tertarik pada orang yang tidak punya kelebihan apapun.
  3. Bila toh suatu saat anda berhasil bertahan di awal peperangan, anda jangan terlalu larut dalam suasana. Siapa tahu saat itu pula muncul saingan lain yang lebih kuat dari anda. Dan kalau toh saingan tersebut terlalu kuat (seperti pak ustadz dalam kasus jambu biji), maka bersikaplah seperti Tarmo.
  4. Ingat, waspadalah terhadap hal-hal tak terduga. Boleh saja anda sudah merasa berhasil mendapatkan hati si doi, boleh saja semua saingan anda tergeletak tak berdaya, boleh saja anda merasa bahwa dunia hanya milik berdua, tapi jangan sekalipun terlepas dari sikap waspada. Jangan sampai secara tiba-tiba muncul bapak-bapak tak terduga yang dengan seenaknya memetik jambu biji yang seelok intan permata.
  5. Intinya, saat jatuh cinta, bersikap fokuslah. Berusaha, berjuang. Pastikan pasangan anda tetap dalam keadaan baik. Seelok apapun jambu biji saat masih muda, dia akan cela ketika diserang hama. Busuk, bolong-bolong dan tak menarik lagi. Pastikan dia tetap indah sampai tiba saatnya dipetik. Jangan perbolehkan siapapun memetik sebelum waktunya (seperti bapak-bapak tak terduga). Dan lagi-lagi berusahalah, berjuanglah. Agar jika tiba waktunya, andalah yang nanti memetik jambu biji tersebut.
  6. Jangan lupa berdoa. Kemungkinan besar, saat itu, kami-kami ini, para kuli dadakan ini terlalu larut dalam keinginan dan tenggelam dalam khayal sehingga lupa berdoa. Jadi wajar kalau  bapak-bapak itu….., ah…, (*Speechless)

Keterangan : Jemuran, kopi panas, mas nardan, makaaaaannn....

10 komentar:

  1. ikhhhh dalemnyaaa....
    wakkaka jambuu trus nyambung ama cinta!
    apa sih yang engga disambung2in ma kamu gie?!?! hebat!
    wakakkakaka

    tapi setelah dapat jambu itu loh gie?! bingung..
    mau dirujak, apa dimakan bgitu aja, ato dicocol pake garem buah, apa dijus...
    susah gie...

    BalasHapus
  2. wah..ini gw banget gie...merasa si DOi udah "takluk" padahal banyak saingannya...bahkan seringnya si DOI udah "udah yang punya"...
    gw banget nihh..soalnya bru disenyumin dikit sama DOI..eh..malemnya ngimpi si DOI..besoknya jadi beberapa puisi..padahal itu cuma ilusi..sekaligus mungkin Pelarian dari kegaglan mendapatkan DOi seutuhnya..la wong baru senyum aja udah tepar ..apalagi DOI semuanya...ck..ck...Tapi ini pengalaman gw Waktu Kuliah..

    sekarang si DOI yang lain lagi..udah jadi milik gw...seutuhnya..selamanya..amiin

    BalasHapus
  3. wew.. wew.. iya.. cinta itu seperti jambu biji.. hehehe...
    mending dibuat es jus saja deh..
    apalagi jambu biji yang merah.. uiih.. sedeep... eh, nikmaat..

    BalasHapus
  4. Gelas kopi motif kembang itu loh...
    Sama kayak punya ane dirumah....
    hahahha....
    satu pabrik apa ya?

    BalasHapus
  5. hahahaha............kesiaaan deh, jadi pada melongo gitu. Cerita kamu rata2 bagus, ada humornya.

    BalasHapus
  6. Jangaaan mbaak...
    Mending dibelah biar perpaduan antara hijaunya kulit, kuningnya daging buah dan merahnya biji jadi terlihat indah
    Lalu nanti diawetkan, ditaroh di kotak kaca
    Dikasih pita lalu dipajang ditengah risban
    Biar bisa kami nikmati bersama
    Yaa, dijadiin semacam monumen mini lah
    Monumen renovasi mushalla

    BalasHapus
  7. Amiin...

    Sama bang.., tulisan ini juga terinspirasi dari pengalaman daku pas SMA
    Yang kemudian nekat daku ungkapkan gara2 tragedi jambu biji
    Ternyata.., kita pernah punya cerita cinta yang serupa
    Bedanya, kalo abang udah..
    udah..
    hiks

    BalasHapus
  8. Asal gak dipetik bapak-bapak itu...
    Harusnya emang enak mbak
    Ck, cinta.., oh cinta..
    Beginikah jalan ceritanya..?

    *gaknyambung.com

    BalasHapus
  9. Sepertinya sih iya..
    Kalaupun bukan, anggep aja iya
    Biar kita berdua merasa saling bersaudara
    Karena gelasnya bermotif sama
    Dan satu pabrik pula

    *Bang Naaaddziiiiirrrrrr........

    BalasHapus
  10. Sebenere ini bukan cerita humor lho mbak
    Tapi cerita sedih
    Cerita cinta
    Kehilangan
    Yang penuh dengan deraian airmata
    Dan isak tangis yang bergema hingga ke angkasa raya

    *Hiks..
    *Tuuh kaaan.., sedih kaan..

    BalasHapus