Selasa, 06 November 2007

Berpikir bebas, nikmati sensasinya

Kebebasan berpikir bukan berarti kita boleh berpikir sebebas-bebasnya. Sebab dalam berpikir terdapat kerangka yang membatasi pengembaraan kita. Kerangka tersebut berfungsi untuk menjaga agar proses berpikir kita tetap berada pada koridor yang benar, sehingga hasil pemikiran kita pun bisa benar pula. Jika kita keluar dari kerangka tersebut, kemungkinan besar hasil yang kita peroleh akan melenceng jauh dari yang seharusnya. Oleh sebab itu, dalam setiap bidang ilmu selalu ada peraturan yang harus dipatuhi.

Namun, sebagian orang cenderung salah kaprah dalam mengartikan kebebasan berpikir. Salah satunya adalah almarhum Ahmad Wahib dalam bukunya yang berjudul "Pergolakan dan pemikiran islam". Di buku ini, dia menyarankan agar kita berpikir sebebas mungkin, jangan mau dibatasi. Kemampuan otak manusia memang terbatas, tak bisa menjangkau "kebenaran" sempurna. Karena itulah kita harus memikirkan segalanya agar dapat sampai pada "batas" yang mampu dijangkau oleh otak kita. 

Dengan metode kebebasan berpikir tersebut, dia telah menghasilkan beberapa pemikiran “spektakuler”. Beberapa diantaranya adalah :

1. Dia meremehkan mereka yang mencoba berpegang teguh pada syariat islam. Menurut dia, syariat islam hanya pantas diberlakukan pada masa Rasulullah SAW, itu pun terbatas pada masyarakat arab kuno. Di masa sekarang, dimana penduduk, teknologi, serta budayanya sudah jauh berbeda, syariat islam sudah tidak pantas diberlakukan lagi.

2. Dia berkata bahwa seharusnya Allah kembali menurunkan Nabi atau Rasul yang menjelaskan pada manusia tentang islam yang "sesungguhnya", sebab Islam yang sekarang kita anut sudah berbeda jauh dengan islam di masa rasulullah. Jika Allah menurunkan Muhammad SAW untuk menggantikan Isa AS padahal budaya dan teknologi di masa keduanya belum jauh berbeda, lalu kenapa saat perbedaan tersebut demikian mencolok (bila masa sekarang dibandingkan dengan masa rasulullah), Allah tidak kembali mengutus nabi-Nya..?

3. Hadits, menurut dia, sebenarnya hanya pantas disebut sebagai "hasil budaya" arab jaman brahola saja. Sebatas kata-kata dan tindakan rasulullah yang memang layak diterapkan pada masyarakat arab pada jamannya. Tidak untuk digunakan di masa kini.

4. Dan terakhir, dia mengecam mereka yang melarang manusia untuk memikirkan "adanya" Allah. Padahal seperti yang sudah kita tahu, bahwa Allah bersifat “wujud”.

Nah, disini terlihat jelas kerancuan dalam kebebasan berpikir yang dikemukakan oleh almarhum Ahmad Wahib.

Seperti yang telah disebutkan bahwa setiap bidang ilmu punya aturannya sendiri. Dalam teknik elektro misalnya. Jika menggunakan metode kebebasan berpikir, maka kita bebas-bebas saja berpendapat bahwa resistor dapat melakukan hubungan seks sehingga bila dinikahkan dengan kambing akan menghasilkan keturunan berupa kulkas dan televisi. Kita boleh berpikir seperti itu. Tapi, apa manfaatnya..? Hampir tidak ada. Hanya menghasilkan pemikiran ngawur yang tidak pernah terlintas di benak jin sekalipun. Karena itulah, di teknik elektro ada aturan bahwa resistor berfungsi sebagai tahanan. Bila diberi tegangan V akan menghasilkan arus i, bila dilewati arus menghasilkan tegangan V, dan bila diinjak gajah niscaya remuk. Tak sedikitpun disebutkan bahwa resistor mempunyai alat kelamin agar dapat melakukan hubungan seks.

Lebih jauh lagi, mari kita bahas buah dari pohon bernama "kebebasan berpikir".

1. Tentang Syariat Islam. Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, saat menjadi pembicara pada "Islamic Book Fair" di GOR Satria Purwokerto berkata bahwa islam bukan sekedar agama, islam adalah dien. Kita harus mengetahui perbedaan antara agama dan dien. Agama hanya berkisar pada kepercayaan terhadap Tuhan. Asalkan kita percaya, walaupun tidak mematuhi aturan atau syariat-Nya, kita sudah bisa disebut sebagai umat "beragama".

Tapi islam berbeda. Rasulullah diutus bukan hanya untuk mengabarkan bahwa Allah itu ada, tapi juga untuk mengajarkan syariat-syariatNya. Baik yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, sesama manusia, maupun alam semesta. Itulah yang tertera dalam Alquran dan hadits. Namun karena Almarhum ahmad wahib menganggap hadits (terkadang juga Alquran) hanya sebagai produk budaya, maka keduanya harus disesuaikan dulu dengan kondisi dan situasi di suatu tempat.

Mungkin menurut dia, kalau di arab sana ada hukum rajam, cambuk, potong tangan, shalat dan haji, sesampainya di indonesia harus ditransformasikan menjadi pemberian trophy, peluk sayang, beasiswa, dugem dan korupsi. Agar sesuai dengan budaya yang kita miliki.

2. Tentang diutusnya kembali nabi dan rasul. Almarhum (andai sekarang masih hidup) pasti gembira terhadap fenomena Lia Eden dan Mossadeq. Tak peduli seaneh apa logika yang digunakan sebagai dalil bahwa mereka benar-benar "berpangkat" sebagai utusan Tuhan. Almarhum kiranya merasa legowo karena dapat belajar islam langsung kepada jibril (yang konon merasuk kedalam raga sang Lia Eden). Lalu dilanjutkan dengan diskusi dimana jibril dapat melaporkan hasil diskusinya kepada Tuhan sehingga nantinya Tuhan akan menetapkan syariat baru yang benar-benar sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Ah, pemikiran bebas yang aneh. Kenapa harus diturunkan nabi baru jika budaya yang berlaku di suatu bangsa dapat menyesuaikan diri dengan islam. Toh wanita jawa jaman brahola, yang konon kalau pergi kemana-mana sambil bertelanjang dada, sekarang banyak yang berkenan untuk menutup auratnya. Yah, walaupun banyak yang masih setengah-setengah sih. Masih telanjang setengah dada-setengah paha.

3. Tentang Hadits. Ada ilmu tafsir yang membahas tentang hadits. Ada cara tertentu dalam menginterpretasi suatu hadits. Jika Ahmad Wahib berpikir terlalu bebas dan tidak mematuhi kaidah yang berlaku dalam ilmu hadits, pantas saja dia menganggap bahwa hadits hanyalah produk budaya.

Tata cara shalat (yang tidak secara lengkap dijelaskan dalam Alquran) nantinya bisa dirubah semau kita. Jika hadits menjelaskan bahwa shalat harus mempergunakan bahasa arab, membaca ayat Alquran dalam bahasa arab, maka boleh-boleh saja bila shalat kita “Indonesiakan”. Bahasa arab diganti dengan bahasa indonesia. Ayat Alquran diganti dengan lagu-lagu populer.

Nantinya, shalat kita pasti lebih menyenangkan. Saat sedang jatuh cinta, kita shalat sambil bernyanyi "Pelangi di matamu" Jamrud. Saat patah hati, bolehlah diganti dengan "Menangis Semalam" milik Audy. Dan kalau sedang stress, monggo mendangdutkan diri dengan lagu "Kucing Garong". Tak  apa, toh tata cara shalat yang terkandung dalam hadits cuma dianggap sebagai produk budaya, jadi boleh dong kalau budayanya menggunakan budaya bangsa kita.

4. Lalu tentang Allah. Kalau yang dimaksud oleh almarhum adalah membolehkan kita untuk berpikir tentang "dzat" Allah, maka lebih baik kita angkat tangan saja. Bersiaplah untuk merasa heran jika nantinya ada pertanyaan yang berbunyi "Menurut Tuhan, siapakah ciptaanNya yang lebih seksi, Paris Hilton atau Pamella Anderson..?". Anda jangan protes terhadap pertanyaan seperti ini, sebab menurut asas kebebasan berpikir, pertanyaan sengawur apapun niscaya dianggap sah-sah saja. Sebab "kebebasan" telah disalah artikan sebagai "bebas sebebas-bebasnya".

 

Togie de lonelie
Saat sedang kuliah tapi malah bikin tulisan seperti ini

6 komentar:

  1. kalo bebas sebebas-bebasnya ya sama aja kyk binatang, bener g gie?

    BalasHapus
  2. Yaa, tapi kalo binatang kan gak pernah berpikir nyleneh
    Biarpun bebas tapi masih terbatas pada koridor kebinatangan

    BalasHapus
  3. Masih njlimet mbak
    Ini juga ditulis pas lagi nggak konsen kuliah
    Coz waktu itu dosennya lg nyebelin

    BalasHapus
  4. jadi sebebas apa togie berfikir dan senikmat apa sensasinya?

    BalasHapus
  5. Ya, sebebas sewaktu daku membuat tulisan ini
    Bebas dari aturan bahwa saat kuliah kita harus memperhatikan pak dosen. Bahkan daku tidak menyitir satu pun ayat Alquran atau hadits. Mencoba meniru Almarhum Ahmad Wahib.
    Dan sensasinya, lumayan nikmat. Sebab bisa sesekali mengesampingkan materi kuliah tanpa harus membolos

    BalasHapus