Senin, 21 April 2008

Benda-benda Mati Itu..

 

Pria kurus itu terkapar diatas kasur. Matanya menatap langit-langit kamar berwarna putih. Dia menarik nafas panjang, menghirup udara malam yang bertiup masuk lewat lubang jendela.

Sepi..,

Di dinding kamar, tertempel jam warna merah yang didapat saat arisan keluarga. Jam itu mati kehabisan baterai.

Kesunyian terus berlanjut. Kali ini matanya menatap selembar sterofoam biru tua. Tepat dibawah jam dinding. Disana tertempel foto wisudanya jutek, foto anak-anak teknik, kartu ucapan ulang tahun, karcis bioskop, sticker Warung Ndeso, sesobek kertas berisi hadits nabi, serta dua lembar surat penuh kata-kata cinta. Kertas-kertas mati itu seolah mengajak si pria berdialog. Dengan mereka, dengan diri sendiri.

"Kenapa kau tempel kami disini..?"

Benda-benda mati itu bersuara

"Sebab kalian tidak bisa kutempel di hatiku."

Pria itu menanggapi perkataan mereka

"Pada tubuh kalian, aku bisa melihat kilasan peristiwa yang pernah kulalui dalam hidup. Aku ingin mengabadikan peristiwa itu."

"Kau.., foto wisudanya Jutek. Dulu aku mengambil gambarmu pada saat kau membunuh statusmu sebagai mahasiswi. Kau adalah pertanda bahwa terkadang nasib tidak bisa ditebak. Bahwa orang yang saat kuliah pernah berdoa agar setelah lulus tidak bekerja menjadi guru, sekarang malah dibelelenggu kewajiban untuk mengajar di sebuah SMP swasta."

"Kau tiket bioskop. Kamu mengajariku tentang arti penting perjuangan. Sejak bumi ini diciptakan, tak seorang pria pun bisa mengajak si Jutek nonton film di bioskop. Tapi aku.., sekali lagi, aku.., berhasil mengajaknya. Walau untuk itu aku harus bekerja keras mengumpulkan uang sebab dia ingin aku membeli tiket dengan uang yang kudapat sendiri, dari tetes keringat sendiri, bukan minta orang tua. Sama seperti dirinya yang bekerja membanting tulang mencari nafkah. Dan lihat, aku berhasil mengumpulkannya. Kaulah bukti kerja-kerasku saat itu."

Kartu ulang tahun yang kubuat sendiri. Kau membuatku melupakan cita-citaku menjadi pelukis. Kau adalah bukti nyata bahwa aku seorang perusak dunia seni rupa. Akulah sang manusia buta warna, buta keindahan, buta rasa estetika. Kau kartu ulang tahun yang gagal produksi. Kau kutempel disana sebab terlalu jelek untuk diberikan kepada mahluk manapun.”

"Foto anak-anak teknik. Kau simbol dari rasa persahabatan kami. Mereka pernah menginap di villa untuk merayakan ulang tahunku. Hingga kami (yang terdiri dari 11 orang ini) bisa menghabiskan malam bersama, penuh rasa kebersamaan. Bahkan saking bersamanya, saat pergi ke lokawisata Baturaden, tiket masuknya dibeli secara patungan."

"Lalu Sticker Warung Ndeso. Kau menandakan bahwa orang miskin pun bisa bersenang-senang di tempat mewah. Aku pernah mengajak teman-teman merayakan ulang tahun. Aku mengajak mereka makan di Warung Ndeso yang terkenal itu. Padahal duitku tak seberapa. Haha, tak aneh bila akhirnya, saat membayar, teman-teman rela menombok kekurangannya. Duaratus ribu lebih."

"Dan surat cinta..? Sebenarnya aku tak tahu harus menamaimu apa. Tapi kata si penulis, berhubung aku memberinya tulisanku tentang vespa (yang kusebut sebagai surat cinta), dia pun membalas tulisanku. Dia namai sebagai balasan surat cinta. Aneh, tapi isinya bagus. Kau kutempel disini sebab dalam dirimu terkandung makna tentang cinta. Sebab vespa adalah cinta"

"Terakhir, hadits nabi. Allah mengangkat orang berilmu lebih tinggi satu derajat. Aku jadi teringat pada tulisan-tulisanku. Hampir tak ada ilmu di dalamnya."

"Itulah sebabnya kenapa aku menempel tubuh kalian. Sebagai bentuk penghargaan atas budi baik teman-temanku. Sebagai ungkapan rasa terimakasihku kepada mereka. Agar aku selalu ingat pada mereka, mendoakan mereka, membalas segala kebaikan mereka."



Pria itu masih memandangi sobekan kertas yang tertempel di sterofoam. Entah tuk berapa lama

Sepotong Surat Cinta

 

Dik, apa kabar..? Dari seorang informan yang tidak jelas asal-usulnya, kudengar keadaanmu baik-baik saja. Dia bilang, sekarang kau sudah lulus kuliah dan bekerja diluar kota. Alhamdulillah. Aku harap informasi tersebut benar adanya. Amiin.

Dik, saat rasa lapar membuat perutku menderita, aku kok jadi ingin bertanya : “Masih ingatkah kau pada peristiwa bertahun lalu..? Saat udara dingin menusuk kulit kita sampai ke tulang..? Saat kita berkemah dan duduk berkumpul mengelilingi api unggun..?”. Aku tak tahu bagaimana denganmu tapi aku masih ingat dik. Itulah saat pertama kita bertemu. Pertama kali kau tersenyum kepadaku. Membuatku cengar-cengir terhadapmu. Hingga sampai saat ini semua kenangan itu masih tersimpan kuat di sel-sel otakku. Tak luput satu keping pun.

Dik, aku selalu heran pada peristiwa itu. Tak ada cerpen ataupun novel  pernah bercerita tentang seorang gadis yang minta diantar ke kamar kecil pada seorang pria tak dikenal. Dimana pria tersebut berusaha tampil berani dengan berjalan menembus rimbun dan gelap pepohonan sejauh belasan meter demi mengantar si gadis ke toilet. Dimana sesampainya disana dia menunggu diluar pintu dengan tubuh gemetar karena takut dimakan hantu. Asal tahu saja dik. Sebenarnya, saat itu, aku jauh lebih takut darimu. Aku sendiripun sudah puluhan menit menahan pipis. Kau tahu alasannya..? Karena aku takut hantu. Takut pada sosok menyeramkan yang senantiasa bersembunyi di balik malam.

Sayang ketakutanku terus berlanjut. Sejak saat itu aku selalu takut mengungkapkan rasa dihatiku. Rasa yang selanjutnya terus menyiksaku dalam penyesalan.

Sejak dulu aku ingin berkata, sekali saja, bahwa kau meninggalkan torehan indah dalam hidupku. Kenangan bersamamu selalu datang dalam mimpi-mimpiku. Tak bisa kuhapus bayangmu dari sel-sel otakku. Tapi kata-kata itu tak pernah meluncur dari mulutku. Tak tahu kenapa aku selalu bisu didepanmu. Aku berubah menjadi seorang pengecut. Yang takut terhadapmu, pada rasa ini, pada diri sendiri.

Maaf dik, mungkin kau merasa terganggu dengan tulisanku. Menganggapku sok berani di multiply. Menganggapku masih sepengecut dulu. Tapi ketahuilah dik : “SEKARANG AKU SUDAH BERBEDA”.

Demi menghapus bayangmu, aku telah melakukan berbagai hal gila. Mungkin tak terpikir di otakmu bahwa aku yang lugu ini dengan nekatnya berkata cinta pada gadis yang entah siapa namanya. Tak pernah mengira aku nekat berpacaran. Tak menyangka bahwa dengan ngawurnya aku menggombali tiga mahasiswi STAIN. Dimana ketiganya kuliah di kampus yang sama, jurusan yang sama, kelas yang sama, kost ditempat yang sama, dan kamarnya berdempetan. Serta entah berapa banyak lagi kengawuran serupa. Kau tak berkhayal sampai kesitu sebab kau tak pernah tahu betapa inginnya kuhapus lukisan wajahmu dari kanvas hatiku. Agar orang lain dapat menggantikanmu. Aku ingin sekali dik.

Sayang keinginanku sia-sia. Tak satupun dari mereka yang bisa menggantikanmu. Walaupun sedang bersama, walau seharusnya bahagia dan penuh warna-warni bunga, tapi aku tetap merasa hampa.

Sunyi...,

Kesunyian yang menuntunku pada sebuah keputusan sulit. Bahwa kalau toh tak bisa kuusir kau dari hati ini, maka biarlah aku terus hidup sendiri. Entah sampai kapan. Aku takkan pernah mengawur-ngawuri orang lagi. Takkan pernah nekat lagi. Takkan error lagi. Biarlah aku menunggu. Sampai tuhan mengirim seseorang yang bisa menggantikanmu. Syukur-syukur Tuhan sudi menuntunmu datang kembali kepadaku, atau membawaku kepadamu. Amiin.

Dik, aku pamit. Silahkan kau lalui hari-harimu seperti biasa dan kulalui hariku dengan biasa pula. Yah, walaupun mungkin tidak biasa-biasa amat sih. Setelah bersusah payah selama bertahun-tahun sehingga bisa kuperoleh nomor HP mu, kau amat jarang membalas SMS dariku. Itu membuat hidupku tambah berbeda dik. Aku jadi kehilangan minat untuk cengar-cengir sambil garuk-garuk kepala. Sekarang aku lebih sering termenung sambil menundukkan muka. Ck, suatu hal yang amat sangat tidak biasa.

Cukup sekian dulu. Aku tak tahu harus menulis apa lagi. Sebenarnya aku ingin menambahkan beberapa potong kisah yang terjadi belakangan ini tapi aku tak bisa. Yaah, kisahnya saja tak ada jadi apa yang musti ditambahkan..?

Semoga kau tetap dalam keadaan baik. Dan terus bertambah baik. Amiin.


NB : Sekarang aku sudah punya motor vespa. Warna biru tua.

Selasa, 08 April 2008

Zona Sunyi



Baru saja, aku melihatmu termenung menatap langit. Bola matamu kosong tanpa ekspresi. Senyummu hilang, lesung pipimu bersembunyi. Satu teka-teki terbit di otakku. Tentang apa yang sedang kau pikirkan, yang membuatmu gelisah.

Kucoba untuk menerka, mereka-reka, tapi anganku hampa. Dari dulu, yang kutahu hanya senyummu, sikapmu, sifatmu. Aku tak tahu apa saja yang kau alami hari ini, hari kemarin, atau kemarinnya lagi. Kita hanya bicara lewat mata. Padahal terkadang, mata tak sanggup menceritakan segalanya. Karena itu aku sama sekali tak sanggup berkhayal tentang masalah yang sedang kau hadapi.

Bicara, ngobrol, diskusi. Tadinya kupikir itu tak perlu. Tadinya kupikir, cukuplah bila aku mencintaimu. Tapi perkiraanku salah. Cinta tidak bisa berjalan satu arah. Cinta adalah hubungan timbal balik. Saling memberi, saling menerima. Cinta adalah dimana kita saling berbagi. Sedih, duka, tangis atau tawa.

Aku ingin melangkah menghampirimu, tanyakan alasanmu merenung, lalu berusaha untuk menghibur. Membuatmu kembali tersenyum, bahkan tertawa. Tapi aku tak bisa. Ada banyak hal yang memaksaku untuk tetap mematung, membisu, mengunci mulut rapat-rapat.

Ah, sudahlah. Biar saja cinta ini terselimut kabut. Aku tak takut pada misteri, biar kupecahkan sendiri teka-teki ini. Sedangkan kau, tetaplah merenung. Adukan keluh-kesahmu pada biru langit. Berpikir akan membuatmu bertambah dewasa. Masalah rumit bisa mempermatang kemampuan kita.


***


“Mas..”

“Yup, ada apa..?” Narto membuyarkan lamunanku. Dari seluruh kuli renovasi mushalla, dialah yang paling sering membuatku tak bisa sepenuhnya menikmati sepi.

“Harpleknya sudah selesai di cat. Semuanya, tanpa sisa”

“Yah, baguslah” Jawabku. Di susunan kepanitiaan sebenarnya aku adalah sekretaris. Di kampus, aku mahasiswa teknik. Tapi disini, aku malah ditempatkan menjadi mandor. Mengawasi tiga remaja error yang biarpun rajin tapi ya itu tadi, sering error.

“Catnya masih sisa kan..? Mo tak pake buat mempertebal cat yang kemaren. Coz warnanya gak rata”

“Masih mas, tapi sudah tak habisin buat ngecat pohon jambu”

Tuh, apa kubilang. Error kan..?

“Lho, bukannya kemaren udah tak ultimatum agar catnya diirit-irit..? Bukannya dah tak kasih instruksi bahwa harpleknya harus di cat lagi..? Kok catnya malah dihabisin..?”

“Ah, gampanglah mas. Nanti beli lagi”


“Beli..? Pake apa..? Duit darimana..? Minta moyang kamu..?”

“Iya kali”



GGRRHHH…!!! Andai seorang mandor diijinkan mengiris kuping anak buahnya.


Rumah kosong
Saat mengecat harplek untuk atap mushalla


Jomblozone - Manusia Kambing



Tumben. Malam minggu, warung sebelah yang biasanya dijejali berlusin jomblo tidak laku kali ini kedatangan tamu penting - seorang pria mesum yang baru saja mendapatkan pacar. Saya tidak tahu dia nemu pacar dimana tapi menurut analisa saya, mungkin dia menemukannya di dalam kandang. Sedang memakan rumput dan menyundul-nyundulkan tanduknya pada tiang kayu sambil mengembik : “Mbeeekk…!!!”

Kalau sebelumnya warung ini biasa diisi adegan mengenaskan (contoh : Upacara penyematan medali kehormatan kepada seorang jomblo yang berhasil mencapai prestasi tertinggi - ditolak cintanya untuk kesekian ribu kali maka saat tamu tersebut datang, adegan yang terjadi mirip seperti sandiwara Babad Tanah Leluhur. Penuh dengan petuah tiada nyambung yang bisa membuat kita geleng-geleng kepala.

“Hai.., dengar..!!” Dia memulai petuahnya

“Kalian ini laki-laki. Sudah dewasa, sudah waktunya berpacaran. Tapi kenapa kalian malah berkumpul di warung..? Kenapa gak ngapel ke rumah pacar masing-masing..? Apa kalian sebegitu tidak lakunya sehingga tak juga berhasil mendapat pacar..? Benar-benar tidak laku biarpun sudah diobral..?”

“Contohlah saya. Sempat ngapel dulu sebelum mampir kesini. Saya sudah berkali-kali berpacaran, berkali-kali putus. Tapi saya puas. Sebab mereka, mantan pacar saya itu, sudah pada tak renggut kehormatannya. Sebagai laki-laki, saya bangga karena bisa merenggut kehormatan banyak wanita”


“Hm, ternyata ada Togie juga toh..?” Akhirnya dia menyadari kehadiranku

“Kapan kamu punya pacar Gie..? Kapan mau mencari..? Jangan menyia-nyiakan barang berharga yang bergelantungan dibalik celana kamu. Dia pingin hiburan, pingin kesenangan. Percuma kamu disunat kalau yang disunat itu tidak pernah dipake. Mubazir”

“Ok.., ok..!! Gara-gara kamu saya harus berkata jujur. Sebenarnya saya hanya pernah merenggut kegadisan orang sebanyak satu kali. Sisanya sudah tidak gadis lagi. Sebab mereka adalah penghuni gang sadar sana, cuma tak jadikan pacar sementara, cuma beberapa menit. Tapi tak apa. Yang penting saya sudah pernah mereguk surganya dunia. Tak seperti kamu”

“Haha, Togiee.., Togie..!! Betapa mengenaskan nasib yang kau alami. Jadi, biar semangat, sini tak kasih tau”


Dia mendekatkan mulutnya ke telingaku. Membisikkan kata-kata yang membuatku mual :

“Kalau begituan pertamanya emang pegel. Tapi pegel-pegel enak. Nah, saat keluar rasanya rada linu, tapi juga enak. Jadi, biar enaknya maksimal, kamu harus bla.. bla.. bla… (sensored)”

Hh, begitulah ucap si mesum. Dia bukan tokoh di bulshitt of love, dia orang lain, jadi berani keterlaluan. Mungkin gara-gara dia belum kenal Tarmo. Mungkin gara-gara dia tinggal di kampung yang tidak ada Tarmonya. Tapi tak apa. Aku tak boleh terus bergantung pada Tarmo. Aku harus berani. Aku tak mau para jomblo menuruti kata-katanya.

Samar-samar bisa kuendus aroma alkohol dari mulutnya. Mungkin dia mabok. Orang mabok tak mempan dinasehati. Harus dihina, dicaci-maki, dikasar-kasari.

“Gini bung..!!” Ujarku sambil mencari tempat strategis biar mudah kalau nanti harus kabur

“Daku bukannya tidak bisa, tapi belum kepingin. Daku ini manusia. Dibatasi oleh aturan, etika dan tatakrama. Daku bukan hewan yang bisa bertindak semaunya, yang bisa membuang sperma dimana saja. Terus terang, daku gak begitu mengenal kamu. Gak tau apakah kamu benar-benar manusia atau kambing yang sedang memakai baju.”

“Daku gak mencari pacar, tapi calon istri. Yang namanya istri harus bisa diajak hidup bersama, melewati suka dan duka, tangis serta tawa. Daku belum menemukan wanita yang memenuhi syarat untuk itu. Dan kalau belum nemu, daku tidak perlu bingung. Yang jelas, lebih baik waktuku digunakan untuk hal yang lebih terhormat dibanding membuang-buang sperma.”

“Kalau memang daku pingin begituan, sebenernya gampang saja. Daku cukup pergi ke “gang sadar” lalu menikmati pelacur paling cantik disana. Soal biaya..? Tak usah kuatir. Asal berhenti merokok, daku bisa mengumpulkan banyak duit. Uang saku daku selama seminggu jauh lebih besar dibanding gaji kamu dalam sebulan. Jadi kalo dibanding-bandingkan, andai duit daku cukup buat menyewa pelacur berwajah jelita, mungkin duit kamu cuma cukup untuk nyewa kambing berjenis kelamin betina.”

“Sadarlah bung, jangan membuat daku geleng-geleng kepala. Jangan ada manusia yang sedemikian gobloknya memamerkan sesuatu yang kualitasnya jauh dibawah daku. Lagipula, kalo pamer harusnya ya mikir dulu. Apa hal itu patut dipamerkan..? apa merusak anak gadis orang lain bisa disebut sebagai sebuah prestasi..?”

“Jika seseorang merasa takjub ketika berhasil memperoleh sesuatu yang sedikit, itu berarti dia sama sekali belum pernah mendapatkan sesuatu yang lebih besar. Dengan kata lain, sebenarnya kamu patut dikasihani. Sebab menurut daku, mungkin prestasi tertinggi yang berhasil kamu capai hanyalah merusak kegadisan orang. Tidak lebih.”

“Entahlah. Bila sedang berkaca didepan cermin, daku bisa melihat kharisma kedewasaan dibalik usia muda. Sedangkan bila melihat kamu..? Ah, mirip kambing bermuka manusia.”

Seketika, muncul setumpuk amarah di wajah pemuda kambing. Aku berpikir bahwa sekarang sudah saatnya untuk kabur, melarikan diri, masuk kedalam rumah lalu mengunci pintu. Tapi tampaknya itu tak perlu. Dia hanya marah tanpa berani melampiaskan kemarahannya. Dia hanya menatapku, ragu untuk berbuat macam-macam kepadaku.

Bukan, aku salah. Ternyata dia sedang menatap para jomblo yang sedang berdiri di belakangku. Mereka terlihat jauh lebih marah dibanding si pemuda. Aku tahu alasan dibalik rasa marah tersebut. Yaitu karena kredibilitas dan harga diri mereka sebagai seorang jomblo telah direndahkan dan dihina sehina-hinanya.

Yah, si kambing yang salah. Sejak dulu aku tak pernah memprotes kejombloan mereka. Aku selalu mendukung mereka, membuat mereka bisa menikmati hidup dalam kesendirian. Sembari menunggu waktu dimana Tuhan mempertemukan mereka dengan belahan jiwa masing-masing. Bukan malah menghina mereka, membuat mereka putus asa saat digelayuti pertanyaan : “Apakah kami memang sebegitu tidak lakunya..?”

Mungkin itulah sebabnya mereka berada di pihakku, membuatku berani biarpun tanpa kehadiran Tarmo. Ah, Tarmo. Dia sedang asyik menjajah negeri atas kasur, jarang keluar rumah.

Selasa, 01 April 2008

Mawar - Waktu yang melindas kisah kita

 

Angin bertiup kencang tatkala aku melangkah menuju warung. Debu-debu coklat beterbangan mengotori udara, rimbun bambu meliuk-liuk sambil menggugurkan daun keatas tanah. Mentari sore mulai berangkat ke peraduan. Memancarkan sinar merah yang menerangi jalan. Suasana terasa indah, teramat indah. Membuatku ingin bersenandung lagu cinta. Dubidam didada syalalala.

 

"Ma.. asss.., t.. t.. tttoo.. longg.."

 

Tiba-tiba sebuah suara menghentikan senandungku. Menahan langkahku. Membuatku memalingkan muka. Menujukan mata pada sesosok wanita yang duduk dibawah tiang listrik. Bajunya kumal, rambut acak-acakan, tubuh kurus kering, wajahnya dikotori debu.

 

"Mass.., sa.. kitt.."

 

Wanita itu menangis. Kutatap dia. Kulihat tetes-tetes air turun dari sudut matanya. Mengalir kebawah, membasahi tepi hidung, menyapu lapisan debu yang menempel di wajah, bergelantungan sebentar di dagu, sebelum akhirnya menitik jatuh. Tampaknya dia sudah tak sanggup menahan sakit. Bibirnya meringis pedih, kepalanya menunduk, matanya separuh terpejam. Baru kusadari bahwa dari tadi kedua tangannya menekan perut dengan erat. Tunggu, bukan perut. Tapi lebih tepatnya, rahim.

 

Pembantu yang diperkosa majikan atau gelandangan yang ingin menipu. Akibat terlalu banyak menonton sinetron, kestabilan otakku jadi terganggu. Entah setan mana yang berhasil membisikkan kata-kata itu ke telingaku. Dan kata-kata itu aku percayai. Aku tak ingin melibatkan diri dalam masalah. Kampus teknik, para jomblo penghuni warung, renovasi mushalla, serta Tarmo yang selalu mengacaukan segalanya sudah cukup membuatku bingung. Aku tak mau menambahnya dengan satu kebingungan lagi. Karena itu kuputuskan untuk melanjutkan langkah, meninggalkan wanita itu.

 

PLUK..!!

 

Dia pingsan. Ternyata dia benar-benar butuh bantuan. Sialan. Aku menyesal telah mempercayai bisikan setan. Kemarin aku baru menasehati Narto, Tarso dan Koneng (remaja yang jadi kuli di mushalla) bahwa sebagai muslim kita harus saling membantu. Lalu mengkritik Tarmo yang lebih suka melakukan hibernasi daripada ikut jadi kuli di mushalla. Aku harus konsisten pada nasehat yang telah kuucapkan. Aku tak mau Tarmo balik mengkritikku. Aku harus menolong wanita itu. Tapi aku tidak tahu cara menghadapi orang pingsan. Untung kulihat dua sosok manusia sedang duduk di teras warung.

 

"Gus.., Bo.., ada yang pingsan."

 

Bagus (adikku) dan Kebo (pemilik warung) tidak mendengar kata-kataku dengan jelas. Mereka menghampiriku dengan malas. Tapi melonjak penuh panik saat melihat tubuh kumal tergeletak dibawah tiang listrik. Mereka saling tatap sambil garuk-garuk kepala. Tampaknya ikut bingung juga. Kusuruh mereka mengangkat wanita itu ke teras warung sedangkan aku kembali ke rumah.

 

"Gie, mau kemana..?" Bagus bertanya

"Manggil bapak." Dia mendapat jawabannya.

 

***

 

Saat aku dan bapak tiba, warung sudah dijejali oleh lusinan manusia. Pria, wanita, anak kecil, orang dewasa, tukang becak, guru, tukang ojek, dan entah apalagi. Bapak menyibak kerumunan. Menyuruh mereka memberi ruang agar wanita itu bisa menghirup udara segar. Beliau terbiasa menghadapi orang pingsan. Tahu apa yang harus dilakukan.

 

“Namanya mawar”

Seorang ibu memberitahuku.

 

“Sejak ibunya kembali dari Jakarta, dia selalu diomeli. Sering ditampar atau dipukul. Dengar-dengar dia kena kanker rahim. Penyakit itu membuat tubuhnya bertambah kurus. Kata si Kebo yang tadi mengangatnya kesini, berat badan mawar mungkin sekitar tigapuluh kilo atau kurang. Gara-gara depresi dia jadi sering minggat.”

 

“Oo, pantes.” Gumamku mendengar penjelasan si ibu, sambil menatap wanita pingsan di hadapanku.

 

Tapi tunggu, Mawar..? Kok rasanya, ditelingaku, nama itu terdengar familiar..?

 

“Aaahh…!!”

 

Tiba-tiba segerombol angan muncul memukuli otakku. Aku kenal dia. Mawar adalah teman masakecilku. Dulu.., duluuu sekali (sebelum mengenal Tarmo), aku, mawar, dan belasan anak lain sering mandi bareng dikali. Manjat pohon rambutan, nyolong mangga, mengejar anjing nyasar, nyari ikan, atau ngaji di mesjid gede. Tapi dulu mawar bertubuh gemuk, kulitnya bersih. Tidak sekucel ini.

 

“Saa.. Kiitt..”

“Sing sabar nduuk.., sing sabaarr..”

 

Mawar siuman. Beberapa ibu mencoba menenangkan hatinya. Aku mengenang yang telah terjadi belasan tahun lalu. Saat kuputuskan untuk memisahkan diri dari mawar dan teman-temannya lalu memilih bermain dengan anak-anak dari hutan bambu.

 

Dulu mawar takhluk pada modernisasi. Dia mengganti kaos kumalnya (yang menjadi identitas kami sebagai anak kampung) dengan baju-baju seksi. Logat bicaranya berubah dari enyong-kowe menjadi elu-guwe. Dia lebih suka bergaul dengan anak-anak kota yang sok gaya. Tapi aku suka jadi anak kampung. Aku tak ingin meniru orang kota. Itulah sebabnya aku mengikatkan diri pada Tarmo dan balatentaranya. Yang seratus persen ngampung, tak punya duit buat sok gaya.

 

“Andai suaminya tidak pergi, mungkin dia tidak jadi seperti ini. Kasihan ya Gie..”

 

Suami..? Ibu itu bilang suami..? Ah, aku ingat. Setelah lulus SMA, aku menerima undangan dari dia. Dan seperti yang telah aku duga, dia menikah dengan orang kota. Aku tak datang. Tapi kudengar pernikahan itu tak bertahan lama. Tanpa alasan yang jelas, suaminya minggat entah kemana.

 

“Aku gak mau pulaaangg.., sakiitt.., hiks..”

“Wis. Mulai siki, kowe nginep neng umahku bae.”

 

Seorang ibu menawari untuk menginap di rumahnya, mawar mengangguk pelan.

 

Ternyata, waktu bisa menorehkan bekas mendalam di hati kita. Waktu bisa menggilas segalanya.

 

 

*Mawar – bukan nama sebenarnya

Orang gila, orang sakti, dan motor vespa

 

 

Semalam, pertigaan di samping rumah penuh sesak oleh bermacam orang. Pria, wanita, tua, muda, jomblo, maupun yang sudah menikah. Hanya sedikit yang bisa membuat mereka berkumpul di satu tempat dalam waktu yang sama. Dan seringnya, hal tersebut amat tidak biasa. Entah gara-gara ada yang berkelahi, ditinggal minggat oleh suami, tabrakan sepeda motor, atau orang mati. Itulah sebabnya seorang mahasiswa kurus ikut mengeluarkan tubuhnya dan menggabungkan diri. Dia ingin tahu apa yang telah terjadi

 

"Tadi ada orang naik motor"

 

Seorang jomblo memberi laporan

 

"Tapi motornya gak nyala."

 

Dia melanjutkan laporannya.

 

"Orangnya stess Gie, belum lama keluar dari rumah sakit jiwa. Dulu dia orang sakti. Jadi gila gara-gara kebanyakan ilmu. Dia pernah memakan gelas dan gelas tersebut, walau tadinya sudah dipecah-pecah, tapi bisa dikeluarkan lagi dalam bentuk utuh. Gak ada bekas pecahnya. Seolah-olah didalam perutnya ada lem. Artinya, biarpun gila, dia tetap sakti."

 

"Seharusnya orang seperti itu dirawat di rumah sakit jiwa. Tapi disana dia cuma disetrum, gak diobati. Dia pernah ngamuk dan menggoncang-goncangkan teralis besi, teralisnya sampai bengkok. Para perawat menyetrum teralis itu. Dia mental. Jatuh terkapar. Lalu diikat agar tidak menggoncang-goncangkan teralis lagi. Ternyata orang sakti pun masih kalah oleh setrum. Buktinya, akibat terlalu sering disetrum, sekarang rambutnya jadi botak. Untung dah tumbuh lagi, ada beberapa helai."

 

"Pernah pula dipanggilkan orang pintar sampai tiga kali. Orang pintarnya diajak adu sakti. Orang pintarnya kalah. Katanya, hanya satu orang yang berani menghadapi dia. Tapi orang itu gak bisa mengobati. Makanya dia gak sembuh-sembuh."

 

"Kemaren dia juga kambuh. Sepuluh orang berusaha menenangkan amukannya, semua dimentalkan dengan mudah. Jari telunjuk ibunya digigit sampai putus, pundak istrinya digigit sampai krowak. Untung di hari biasa gilanya gak kebangetan. Paling-paling ngambek sehabis makan. Gelas, piring dan sendok yang selesai digunakan selalu dibanting dan diinjak-injak. Dianggap barang najis yang harus dilenyapkan dari muka bumi. Tapi terkadang kambuhnya bikin rugi. Gara-gara sudah tidak bisa mengguncang-guncangkan teralis besi rumah sakit, dia jadi hobi mengguncang-guncang kulkas. Sekarang kulkasnya rusak, mati, gak mau nyala. Dia terlalu kuat Gie. Makanya kalau lewat sini lagi, lebih baik kita langsung sembunyi, mbok dia marah lalu mengamuk."

 

“Ck, kasihan. Padahal dulu dia alim. Rajin shalat dan puasa, pintar mengaji.”

 

Si Jomblo menceritakan semuanya sambil menatap kosong pada ujung jalan yang dipenuhi gelap. Mahasiswa kurus mengikuti arah tatap mata Si Jomblo.

 

"Pssstt"

 

Tiba-tiba dia menaruh telunjuknya di ujung hidung, telunjuk satunya terarah pada sesosok manusia yang sedang menuntun motor

 

"Itu orangnya Gie. Kita ngumpet yuk..!!"

 

Si Jomblo bergegas menuju warung, orang-orang menyingkir menyembunyikan diri. Ibu-ibu masuk kedalam rumah lalu mengintip dari balik jendela. Seorang suami bergegas pulang untuk memperingatkan istrinya. Para jomblo berpencar. Ada yang ngumpet di balik pohon, dibalik pagar, dimana saja. Tiga orang bapak masih duduk tenang. Mengalihkan pandangannya, tidak berani menatap si orang gila. Hanya sang mahasiswa yang konsisten menempatkan tubuh ringkihnya di pinggir jalan, menatap sesosok manusia yang menuntun motor sambil menundukkan kepala. Bukannya meremehkan, menganggap rendah atau menghina. Mahasiswa itu cuma ingin tahu wajah si orang gila. Agar di kemudian hari, saat bertemu orang tersebut, dia bisa menempatkan diri dengan baik. Tidak berbuat sesuatu yang bisa membuat orang sakti itu tersinggung. Bisa bahaya.

 

"Gie.."

 

Si Jomblo menganggap sang mahasiswa sok berani, padahal pada kenyataannya tidak seperti itu. Sang mahasiswa memang betul-betul berani, tidak sok. Kalau toh nanti orang gila itu mengamuk, sang mahasiswa tinggal menggunakan ilmu tertinggi yang berhasil dia capai saat belajar bela diri, yaitu Ilmu Kabur. Belasan tahun berteman dengan Tarmo berarti belasan tahun pula dia berlatih untuk kabur. Dia berlatih kabur dari segalanya. Terutama kabur dari masalah, dari kewajiban dan tanggung-jawab. Dia sukses besar dalam latihannya. Karena itu dia yakin bahwa kali ini dia bisa kabur juga. Sebab lari dari tanggung jawab jauh lebih sulit daripada kabur dari amukan orang gila, yang sakti sekalipun.

 

Orang gila itu melewati kerumunan, mengacuhkan segalanya. Dia tetap menuntun motor sambil menundukkan kepala. Dia berjalan pelan. Amat pelan. Hingga lama-lama jauh meninggalkan kerumunan.

 

“Bro, dia orang mana..?”

 

Sang mahasiswa bertanya pada si jomblo yang sudah keluar dari tempat persembunyiannya.

 

“Kampung sini juga. Tapi rumahnya jauh di pedalaman sana. Dilihat dari interval waktu, berarti dia telah menuntun motor sampai sebelahnya kampung sebelah. Entah berapa belas kilometer. Memang kenapa Gie..?”

 

“Gak papa”. Jawab sang mahasiswa. Padahal ketika itu ada selubung gelap melapisi hatinya. Dia teringat pada kejadian beberapa malam sebelumnya. Ketika nyaris pingsan setelah menuntun motor vespa dari terminal Purwokerto sampai rumah. Saat seluruh keluarga menyarankan untuk menjual vespa kesayangannya. Saat dia harus memohon penuh adegan dramatis agar vespa itu tidak jadi dijual. Hingga akhirnya, sebagai penutup cerita ini, sang mahasiswa bergumam :

 

“Ah, andai yang dituntun adalah motor vespa, tentu dia takkan bisa melangkah jauh sampai kemari. Tentu dia sudah pingsan duluan saat melintasi tanjakan. Bukankah bagi orang sakti, menuntun vespa tetap merupakan siksaan..?”

 

 

Purwokerto, maret 08

Setelah hampir pingsan kecapekan gara-gara menuntun vespa