Selasa, 01 April 2008

Mawar - Waktu yang melindas kisah kita

 

Angin bertiup kencang tatkala aku melangkah menuju warung. Debu-debu coklat beterbangan mengotori udara, rimbun bambu meliuk-liuk sambil menggugurkan daun keatas tanah. Mentari sore mulai berangkat ke peraduan. Memancarkan sinar merah yang menerangi jalan. Suasana terasa indah, teramat indah. Membuatku ingin bersenandung lagu cinta. Dubidam didada syalalala.

 

"Ma.. asss.., t.. t.. tttoo.. longg.."

 

Tiba-tiba sebuah suara menghentikan senandungku. Menahan langkahku. Membuatku memalingkan muka. Menujukan mata pada sesosok wanita yang duduk dibawah tiang listrik. Bajunya kumal, rambut acak-acakan, tubuh kurus kering, wajahnya dikotori debu.

 

"Mass.., sa.. kitt.."

 

Wanita itu menangis. Kutatap dia. Kulihat tetes-tetes air turun dari sudut matanya. Mengalir kebawah, membasahi tepi hidung, menyapu lapisan debu yang menempel di wajah, bergelantungan sebentar di dagu, sebelum akhirnya menitik jatuh. Tampaknya dia sudah tak sanggup menahan sakit. Bibirnya meringis pedih, kepalanya menunduk, matanya separuh terpejam. Baru kusadari bahwa dari tadi kedua tangannya menekan perut dengan erat. Tunggu, bukan perut. Tapi lebih tepatnya, rahim.

 

Pembantu yang diperkosa majikan atau gelandangan yang ingin menipu. Akibat terlalu banyak menonton sinetron, kestabilan otakku jadi terganggu. Entah setan mana yang berhasil membisikkan kata-kata itu ke telingaku. Dan kata-kata itu aku percayai. Aku tak ingin melibatkan diri dalam masalah. Kampus teknik, para jomblo penghuni warung, renovasi mushalla, serta Tarmo yang selalu mengacaukan segalanya sudah cukup membuatku bingung. Aku tak mau menambahnya dengan satu kebingungan lagi. Karena itu kuputuskan untuk melanjutkan langkah, meninggalkan wanita itu.

 

PLUK..!!

 

Dia pingsan. Ternyata dia benar-benar butuh bantuan. Sialan. Aku menyesal telah mempercayai bisikan setan. Kemarin aku baru menasehati Narto, Tarso dan Koneng (remaja yang jadi kuli di mushalla) bahwa sebagai muslim kita harus saling membantu. Lalu mengkritik Tarmo yang lebih suka melakukan hibernasi daripada ikut jadi kuli di mushalla. Aku harus konsisten pada nasehat yang telah kuucapkan. Aku tak mau Tarmo balik mengkritikku. Aku harus menolong wanita itu. Tapi aku tidak tahu cara menghadapi orang pingsan. Untung kulihat dua sosok manusia sedang duduk di teras warung.

 

"Gus.., Bo.., ada yang pingsan."

 

Bagus (adikku) dan Kebo (pemilik warung) tidak mendengar kata-kataku dengan jelas. Mereka menghampiriku dengan malas. Tapi melonjak penuh panik saat melihat tubuh kumal tergeletak dibawah tiang listrik. Mereka saling tatap sambil garuk-garuk kepala. Tampaknya ikut bingung juga. Kusuruh mereka mengangkat wanita itu ke teras warung sedangkan aku kembali ke rumah.

 

"Gie, mau kemana..?" Bagus bertanya

"Manggil bapak." Dia mendapat jawabannya.

 

***

 

Saat aku dan bapak tiba, warung sudah dijejali oleh lusinan manusia. Pria, wanita, anak kecil, orang dewasa, tukang becak, guru, tukang ojek, dan entah apalagi. Bapak menyibak kerumunan. Menyuruh mereka memberi ruang agar wanita itu bisa menghirup udara segar. Beliau terbiasa menghadapi orang pingsan. Tahu apa yang harus dilakukan.

 

“Namanya mawar”

Seorang ibu memberitahuku.

 

“Sejak ibunya kembali dari Jakarta, dia selalu diomeli. Sering ditampar atau dipukul. Dengar-dengar dia kena kanker rahim. Penyakit itu membuat tubuhnya bertambah kurus. Kata si Kebo yang tadi mengangatnya kesini, berat badan mawar mungkin sekitar tigapuluh kilo atau kurang. Gara-gara depresi dia jadi sering minggat.”

 

“Oo, pantes.” Gumamku mendengar penjelasan si ibu, sambil menatap wanita pingsan di hadapanku.

 

Tapi tunggu, Mawar..? Kok rasanya, ditelingaku, nama itu terdengar familiar..?

 

“Aaahh…!!”

 

Tiba-tiba segerombol angan muncul memukuli otakku. Aku kenal dia. Mawar adalah teman masakecilku. Dulu.., duluuu sekali (sebelum mengenal Tarmo), aku, mawar, dan belasan anak lain sering mandi bareng dikali. Manjat pohon rambutan, nyolong mangga, mengejar anjing nyasar, nyari ikan, atau ngaji di mesjid gede. Tapi dulu mawar bertubuh gemuk, kulitnya bersih. Tidak sekucel ini.

 

“Saa.. Kiitt..”

“Sing sabar nduuk.., sing sabaarr..”

 

Mawar siuman. Beberapa ibu mencoba menenangkan hatinya. Aku mengenang yang telah terjadi belasan tahun lalu. Saat kuputuskan untuk memisahkan diri dari mawar dan teman-temannya lalu memilih bermain dengan anak-anak dari hutan bambu.

 

Dulu mawar takhluk pada modernisasi. Dia mengganti kaos kumalnya (yang menjadi identitas kami sebagai anak kampung) dengan baju-baju seksi. Logat bicaranya berubah dari enyong-kowe menjadi elu-guwe. Dia lebih suka bergaul dengan anak-anak kota yang sok gaya. Tapi aku suka jadi anak kampung. Aku tak ingin meniru orang kota. Itulah sebabnya aku mengikatkan diri pada Tarmo dan balatentaranya. Yang seratus persen ngampung, tak punya duit buat sok gaya.

 

“Andai suaminya tidak pergi, mungkin dia tidak jadi seperti ini. Kasihan ya Gie..”

 

Suami..? Ibu itu bilang suami..? Ah, aku ingat. Setelah lulus SMA, aku menerima undangan dari dia. Dan seperti yang telah aku duga, dia menikah dengan orang kota. Aku tak datang. Tapi kudengar pernikahan itu tak bertahan lama. Tanpa alasan yang jelas, suaminya minggat entah kemana.

 

“Aku gak mau pulaaangg.., sakiitt.., hiks..”

“Wis. Mulai siki, kowe nginep neng umahku bae.”

 

Seorang ibu menawari untuk menginap di rumahnya, mawar mengangguk pelan.

 

Ternyata, waktu bisa menorehkan bekas mendalam di hati kita. Waktu bisa menggilas segalanya.

 

 

*Mawar – bukan nama sebenarnya

5 komentar:

  1. gue ndiri...banyak hal khususnya dari tmen-tmin gue yang gue gag sangka dalam waktu yang gag sbrapa lama, mereka bener-bener brubah 360^, padahal gue kenal mereka waktu sekolah di solo bertahun-tahun.., but gue ambil pelajaran n' gertiin jugak b'syukur, aniwei gue yakin banyak orang yang lagi berjuang kaya' gue..hidup ada pilihan dan gue lebih memilih bergembira berjuang mati-matian sambil menunggu ktemu Allah SWT n' rasul-Nya. tfs ya gie ^_^

    BalasHapus
  2. dan banyak mawar-mawar lain dalam hidup ini...:(

    BalasHapus
  3. @mbak ratna

    Yah, sama mbak
    Daku juga sudah konsisten dalam memilih
    Hidup sebagai orang kampung

    BalasHapus
  4. @sendu

    Comment yang sendu.., ndu..

    *pengucapannya aneh ya..?

    BalasHapus