Saat ini, mumpung tidak ada yang melihat, maka biarkan aku menangis. Bukan karena sedih, patah hati, ingin bunuh diri, atau hal remeh lainnya. Tapi karena haru. Ketika mengenang kembali apa yang pernah kita lalui, bersama.
Indah. Kata paling tepat untuk menggambarkan seluruh penderitaan kita. Bekerja dan berpikir keras dibawah bayang-bayang minimnya dana, ketidak-tahuan tentang teknik renovasi mushalla, laparnya perut dan keringnya dahaga, serta lusinan celaan, kritikan, dan sindiran dari para ulama.
Sebelum kalian datang, hanya satu hal yang membuatku bertahan menghadapi semua itu. Sebab ketika tergolek lemah diserang penyakit, aku telah bernadzar : Bahwa “Bila Allah menyembuhkanku, akan kurenovasi mushalla sampai dapat dihuni kembali. Juga mengajak para remaja untuk berlatih beladiri. Agar mereka bisa berkata : “TIDAK” ketika dimintai duit oleh para pemabuk.”
Alhamdulillah, ditengah kesulitan itu aku bertemu kalian. Para remaja putus sekolah yang sering dianggap sebagai sampah. Terus terang, awalnya akupun menganggap kalian hanya sekedar sampah. Yang hobi berseliweran sambil garuk-garuk kepala, seringnya menganggur tak mau kerja, bahkan sesekali kulihat mabok terkapar di pinggir jalan.
Memang di bulan ramadhan, kalian sering nongol di mushalla. Tapi apa pengaruhnya..? bagiku dan bagi orang lain, kalian tetaplah manusia tak berguna. Kalian datang hanya untuk sementara. Bila bulan suci tlah lewat, kalian kan kembali kabur entah kemana. Yah, walau akupun mungkin bernasib sama. Ikut kabur juga.
Panggok mushalla adalah tempat yang merubah persepsi itu. Kalian, yang tadinya sekedar bertanya kenapa aku tak mau dibayar, entah kenapa tiba-tiba mau ikut bekerja-bakti tanpa mempedulikan bayaran. Bukan hanya itu, selanjutnya kalian juga menemaniku berkeliling meminta sumbangan, begadang bareng pak ustadz membahas masalah dana, bahkan rela membelaku didepan para ulama yang tak mau membantu dan hanya bisa mencela.
Namun kalian hanya manusia biasa, sama sepertiku. Wajar bila lama-lama kalian mengeluh. Tentang renovasi yang mandeg berkali-kali, ulama yang makin lama makin menjauhi, minimnya dana, juga tentang fakta bahwa kita gak mudeng babar blas soal ilmu bangunan. Kuakui, sebenarnya akupun menyimpan keluhan yang sama. Dimana kemudian, kupaparkan beberapa hal kecil untuk mengesampingkan keluhan itu :
- Acuhkan sikap ulama yang tak mau membantu renovasi mushalla. Sebab tugas mereka hanyalah mengobral kata, menasehati, mengkritik, menyindir. Biarkan mereka melakukan tugasnya. Agar mereka membiarkan kita yang tugasnya bekerja. Mari mencontoh pak ustadz saja. Yang terkadang rela bolos demi bekerja bakti di mushalla.
-
Usah pedulikan tak tersedianya makanan. Sebab kan kuhibahkan seluruh uang sakuku untuk konsumsi kalian. Berhenti ke warnet, rehat dari ngempi, ngirit uang bensin, stop beli rokok (sebab sudah dijatah mushalla). Kalau toh duitku habis, bisa kita petik rambutan di kebun Tarmo, panjat pohon kelapa milik juragan truk, jambu biji di samping mushalla, minta snack pada pak ustadz, atau utang cimol pada si mame (dia orang baik, insya Allah diberi).
-
Masa-bodo dengan ketidak-tahuan kita. Salahpun tak apa, yang penting kerja.
Begitulah. Kalian belajar kepadaku. Menganggapku lebih pintar, lebih tahu, lebih bersemangat, dan lebih dalam segalanya. Tapi itu salah. Pada kenyataannya: “Aku yang harus belajar pada kalian”.
Sering kalian berkumpul menungguku diluar rumah demi berangkat bersama menuju mushalla padahal rumah kalian lebih dekat. Rela datang menjemputku ketika mengecat kayu dan harplek. Membangunkanku kala bangun kesiangan.
Saat mengangkat batu, genteng, kapur, semen, mengaduk pasir, kalianlah yang bekerja sedangkan aku hanya bisa melihat sebab tenagaku tak kuat. Saat harus membeli material, membuat kopi, beli jajan, manjat pohon kelapa dan rambutan, metik jambu, nyuci piring, kalian jugalah yang kusuruh. Dan kalian tak pernah protes. Bahkan saat kubilang bahwa “mungkin tak ada bayaran”, kalian menjawab : “Tak apa, mas togie juga gak mau dibayar kok..!!”
Ketahuilah, aku sudah terikat nadzar. Seberat apapun rintangannya, harus kupenuhi nadzar itu. Berbeda dengan kalian. Menurutku, tak seharusnya kalian bekerja disini : yang sukarela, sering tak dapat makan, hanya dijatah sebungkus rokok murahan (itupun dibagi empat), malamnya keliling kampung meminta sumbangan, belum lagi harus memikirkan cara untuk meminimalisir pengeluaran. Tapi, dalam kondisi seperti itu, saat ditawari pekerjaan lain, kalian malah berkata : “Maaf tidak bisa, kami lagi sibuk ngurus mushalla..!!”
Sungguh, biarpun tidak pantas menjadi kuli teladan (banyak pekerjaan yang ngawur, banyak bermalas-malasan, sehabis bekerja bakti sering kompakan mensuit-suit gadis manis yang lewat di pinggir jalan) tapi tetap kuberi seluruh hormatku. Sebab biasanya, yang mengajak untuk melakukan semua kengawuran itu adalah aku.
Kini, biarpun masih mirip gudang, tapi mushalla sudah ada atapnya, sudah bisa dihuni. Dan berarti, satu nadzarku telah terpenuhi. Sekarang tinggal satu nadzar lagi. Aku ingin melunasi seluruh nadzarku mbok keburu mati. Jadi maaf bila aku harus pergi.
Aku pamit. Semoga Allah membalas ketulusan kalian.
Amiin..
Kutitipkan kata-kata ini di multiply. Untuk berbagi, untuk menghargai mereka - para kuli sukarela yang bekerja membanting tulang demi renovasi mushalla.
ikut mendoakan dari sini gie... semoga nadzar dan musholla selesai
BalasHapusamiin
BalasHapus