Senin, 19 Mei 2008

#4 Fighting Tragedy - Fall of the Jomblo's

 

“Gie, cepat pulang. Sebentar lagi, gerombolan tukang mabok mo pada kesitu..!!”

 

Sms itu masuk ke HP ku ketika sedang mengajari para jomblo. Membayar nadzar yang dulu pernah kuucapkan kala tergeletak tak berdaya diserang penyakit.

 

Di lapangan ini, mereka berbaris rapi. Memasang sikap kuda-kuda sambil mengatur nafas. Keringat membanjiri tubuh dan muka. Dada kembang-kempis tak beraturan. Bahkan ada yang sudah menyerah. Mengacungkan tangan sambil berkata : “Mas, pusing. Gak kuat..!!”

 

Lemah…

 

Padahal akupun melakukan semua yang mereka lakukan. Memberi contoh. Sama-sama berlatih. Tapi keringatku belum banyak menetes. Nafasku masih teratur.

 

Dari jauh, kulihat ada sepeda motor memasuki lapangan. Tukang mabok itu..? Ternyata bukan. Dua jomblo yang tadi ditinggal di warung datang menyusul.

 

“Gie, mereka mau kesini. Mereka marah. Katanya, mereka mau bikin kita babak belur..!!”

 

Yah, rasa setiakawanlah yang selama ini menyatukan hati kami. Bukannya menyelamatkan diri, Edi dan Kebo malah mendatangi kami, memperingatkan kami. Padahal kalau gerombolan ngaco itu muncul, mereka berdua bisa ikut kena akibatnya.

 

“Gak papa. Mending ditunggu aja.”

 

Benar. Tak ada hal yang bisa dilakukan selain menunggu. Selama ini kami terus lari. Menghindar. Bersembunyi. Mengalah. Itulah yang menyebabkan kami terus ditindas.

 

“Tenang aja. Yang ngajak kalian kesini kan daku. Jadi kalau ada apa-apa, kalian gak usah ikut campur.”

 

Banyak yang melibatkan orang lain kedalam masalah. Hal itu menyebabkan makin banyak pula orang yang terkena masalah. Itulah kenapa lebih baik segala sesuatunya diselesaikan sendiri. Dihadapi sendiri.

 

“Sekarang, ikut latihan dulu. Daripada bengong”

 

Dua orang itu tampak istimewa. Kebo “yang artinya kerbau” tubuhnya memang benar-benar mirip kerbau. Besar, hitam, penuh otot. Sedangkan Edi, walau tak begitu besar, tapi setiap harinya terbiasa mengangkat berton-ton ayam, dari pagi sampai malam. Tenaga dan ototnya telah terlatih. Kuharap mereka lebih kuat dari jomblo lain. Tapi apa mau dikata. Ternyata mereka malah lebih mengenaskan. Mereka hanya bertahan sebentar sebelum akhirnya berkata : “Hosh.., hosh.., istirahat dululah. Hosh.., hosh..!!”

 

Sial.

 

Jadilah kami beristirahat. Menatap beribu bintang di langit. Berdebat mengenai berbagai rasi bintang.

 

“Jit, itu yang namanya rasi Gemini. Rasi-nya orang romantis. Bentuknya mirip dua manusia yang sedang beradu punggung”

 

Itu kataku pada Ujit. Aku yang lahir dibawah rasi Gemini, harus dikenal sebagai orang romantis. Tak peduli bahwa sikapku sehari-hari jauh dari apa disebut romantis.

 

“Tapi mas, kok gak mirip manusia yah, malah lebih mirip layangan..?”

 

“Kalau daku bilang manusianya lagi main layang-layang, kamu mau apa..? Pokoknya itu rasi Gemini. Kalau toh bukan, anggep aja Gemini. Titik.”

 

Dan karena tidak berani membantah, mulailah mereka menciptakan berbagai rasi lain. Ada rasi belut, rasi undur-undur, rasi ikan gurameh, dan entah rasi apalagi. Yang jelas, tak satupun pernah disebut dalam ilmu astronomi.

 

Tak cukup sampai disitu. Lapangan di waktu malam, hembusan angin yang menggoyangkan pucuk-pucuk tanaman padi, suara katak yang meriuhkan telinga, peluh dan lumpur yang menempel di baju dan celana, mengingatkan kami pada memori masa kecil. Pada berbagai permainan dan kenakalan yang dulu kami lakukan. Yang sekarang, kami ingin kembali melakukannya. Ya, main pendekar-pendekaran.

 

Setelah tenaga terkumpul kembali, dimulailah apa yang bisa disebut sebagai tragedi. Sumber masalahnya adalah Edi, kuli ayam itu. Dia mendekati Narto yang sedang duduk termenung. Saat jarak mereka mencapai beberapa meter, dia mengambil ancang-ancang lalu meluncur dan menendang, tepat mengenai dada Narto hingga terjungkal ke belakang.

 

Yeeaahh…!! Begitu teriaknya. Dan Edi tertawa sambil mengacungkan dua kepalan tangannya ke udara.

 

Selanjutnya Alip yang sedang berdiri mematung (sejak patah hati dia jadi hobi mematung). Edi merangkak, mengendap-endap, menyembunyikan tubuhnya diantara rimbun rumput. Dia kembali mengambil ancang-ancang. Melompat dan menendang dagu Alip. Membuatnya jatuh terjungkal.

 

Yeeaahh…!! Dua tangan diacungkan ke udara.

 

Cimang dan kebo, yang bertubuh besar. Merekapun tak luput dari penganiayaan Edi. Kedua raksasa itu dibikin tumbang membentur permukaan bumi.

 

Yeeaahh…!! Dua tangan diacungkan ke udara.

 

Lagi-lagi alip. Saat dia sedang sparring dengan Tarso, Edi mendekati kedua orang itu. Dia merangkak bak singa betina yang sedang mengincar mangsanya. Menyembunyikan diri dengan sempurna sambil bergerak mendekat. Hingga sebelum Alip (sebagai mangsa) menyadari adanya bahaya, dua kaki yang terbang di udara sudah membentur dadanya dengan telak.

 

Yeeaahh…!!

 

Tarso tertawa. Tapi tawa itu tak berlangsung lama. Baru saja mau menutup mulutnya, Edi sudah mengejar. Tarso lari percuma sebab dalam waktu singkat ada dua kaki menghantam punggungnya. Dan seorang lagi, ambruk membentur bumi.

 

 

Hh..,

 

Penganiayaan..?

 

Kupikir, itulah yang sedang terjadi. Berbeda dengan dulu ketika bermain pendekar-pendekaran. Dimana kami berteriak : “Aku Wiro Sableng..!!”, “Aku Batman”, “Superman”, “Si buta dari Goa Hantu”, dan langsung memukul membabi buta. Saat itu kami hanya pura-pura memukul atau menendang. Bukan menendang beneran seperti sekarang.

 

Aku ingin mengirim sms pada Tarmo dan menyuruhnya kesini. Edi sudah menggila. Orang segila itu tak bisa disuruh berhenti. Para jomblo sedang berlatih agar bisa membela diri terhadap kesewenang-wenangan tukang mabok. Tapi kenapa disini mereka malah disewenang-wenangi Edi..?

 

Tarmo…

 

Orang gila hanya bisa dihentikan oleh orang yang lebih gila lagi. Dan di kampung, tak ada yang lebih gila dari Tarmo. Itulah sebabnya dia harus dipanggil untuk menghentikan kegilaan Edi. Walaupun mungkin setelah itu, dia ganti menganiaya para jomblo.

 

Tapi tunggu, ada yang aneh. Jika diperhatikan, ternyata mereka, yang menganiaya dan yang dianiaya, sama-sama tertawa. Tak tampak sedikitpun bahwa mereka marah. Bahkan terkadang, saat tubuhnya terkapar tak berdaya dan hanya bisa tergeletak menatap langit, mereka tertawa lepas. Melepaskan segala beban dan penat yang menumpuk di kepala. Meneriakkannya dari mulut yang terbuka, lalu membiarkan beban itu terbawa angin terbang entah kemana.

 

Benar. Ternyata, para jomblo tak selemah yang kukira. Mereka kuat. Mereka bisa bertahan menghadapi tendangan bak torpedo yang diluncurkan dari pantat kerbau. Memang mereka tak benar-benar bertahan. Ada yang selanjutnya berjalan dengan kaki setengah pincang. Ada yang bangkit sambil memegang perut. Ada yang tangannya keseleo. Tapi biar bagaimanapun, mereka kuat. Mereka tidak mengeluh. Mereka malah tertawa.

 

Ah, tapi peduli amat. Kalau memang harus ngawur, ya dingawurkan sajalah. Jangan tanggung-tanggung.

 

Di tengah sana, Ujit sudah terjerembab. Ditindih oleh Edi, Alip, Tarso, dan Kebo. Togie melepas kaos dan lari ketengah lapangan. Melompatkan tubuhnya, melayang di udara, lalu menindih mereka yang posisinya bak hamburger di meja restoran.

 

Huek…!!

 

Suara itu keluar dari mulut Ujit.

 

Yeeaahh…!! Dan dua tangan diacungkan ke udara.

 

 

 

14 komentar:

  1. justru karena jomblo jadinya kuaaaaaat......^_^

    BalasHapus
  2. *bingung*
    *ga nyambung*

    Lagi ngapain sih Gie?

    Rie-

    BalasHapus
  3. ooo ternyata ada jomblo yg begitu too...

    BalasHapus
  4. Hahaha...
    Kuat menahan derita dalam kesendirian

    ^_^

    BalasHapus
  5. Latihan beladiri
    Daripada menggunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat
    Daripada terus2an dipalak preman padahal duitnya nantinya bakal digunakan buat mabok dan kalo udah mabok biasanya malak lagi

    BalasHapus
  6. Ada mbak
    Ada yang ganteng
    Adapula yang biasa saja

    *Loch..?

    BalasHapus
  7. Kamu termasuk yg mana nich ? ....

    BalasHapus
  8. Hehe..

    tergantung kejernihan masing-masing individu dalam menilai

    BalasHapus
  9. yup
    untung sekarang dah selesai
    secara damai

    BalasHapus
  10. weh, weh, weh,
    fight club jg ternyata dikau, gie=)

    BalasHapus
  11. Hehehe...
    Buku dikau dah terbit rex..?
    Nyampe purwokerto..?
    Judulnya apa..?
    Penerbit mana..?
    Sampul warna apa..?
    Harganya berapa..?

    BalasHapus
  12. judulnya: sepasang mata untuk cinta yg buta"
    penerbit: lingkar pena publishing house
    harga: 28000
    penulis: Noor H. Dee
    sampul: warna ungu gitu
    tp sayangnya ga dijual di purwokerto, Gie.
    cm di Jakarta ama Bandung aja
    hiks...

    BalasHapus
  13. trs kl mo beli gmn rex..?
    di jakartanya di toko buku mana..?
    kynya besok2 adik daku mo ke jakarta

    BalasHapus