Kamis, 26 Juni 2008

PuisiMati


I
Hidup sebenarnya adalah
Perjalanan menuju mati
Atau bisa pula disebut sebagai
Syarat mutlak agar bisa mati
Sebab untuk mati maka mau tidak mau
Kita harus hidup terlebih dahulu


II
Tak perlu bunuh diri
Toh nanti kita mati sendiri
Entah karena sakit, dibunuh, ditabrak kereta
Ck, macam-macam lah sebabnya
Terserah maunya Tuhan


III
Bila nanti mati
Aku akan transit sebentar ke alam kubur
Entah disana aku digebuki malaikat
Atau disodori bayangan surga
Aku tak tahu


Minggu, 15 Juni 2008

Nasehat, ngebut dan mutilasi

Sebagai manusia, kita butuh dinasehati. Untuk mengingatkan kita, meluruskan kita agar tetap melangkah pada jalur yang seharusnya. Namun terkadang, nasehat itu bisa diberikan bukan dengan cara yang biasa. Bukan dengan kata-kata atau tingkah laku manis yang diatur sedemikian rupa agar terkesan penuh dengan nuansa hikmah.

 

Contohnya Tarmo. Pernah, dia memboncengkan tubuh saya diatas motor supra 125.cc nya. Dia melaju dengan begitu kencang, melebihi 100 km/jam. Dia bukanlah Valentino Rossi atau siapapun itu. Dia hanya seorang Tarmo. Dia tidak mengkonsentrasikan diri pada situasi jalan. Dia selalu menengokkan kepala sambil terus mengajak berbicara. Mengacuhkan apapun yang ada didepan kami. Bahkan, tiap kali ada gadis manis yang sedang berjalan kaki, dia tetap tidak berkonsentrasi. Dia malah mengangkat sebelah tangannya, nyengir kuda sambil berucap "dadaaaahh", tanpa mengurangi kecepatan sedikitpun.

 

Seperti kota-kota lain, kota kami juga punya banyak lampu lalu-lintas. Tapi bagi Tarmo, lampu merah, kuning ataupun hijau tak ada bedanya. Sebab apapun warna lampunya, motor yang dia kendarai tetap melaju melebihi 100 km/jam, itupun terus dipercepat lagi. Memang, di jalan yang kami lalui ada berlusin motor, mobil, truk, juga polisi. Tapi mereka seolah tak ada. Seolah di dunia ini, hanya Tarmo yang sedang menggunakan jalan itu. Tak ada yang lain.

 

Dzikir. Sungguh, manusia seerror saya pun saat itu tiba-tiba berdzikir sambil berpegang erat pada jok sepeda motor. Menyebut "Astaghfirullah", "Subhanallah", dan "Allahuakbar". Membonceng Tarmo membuat saya merasa sebentar lagi mati. Tak perlu kecerobohan besar untuk mencelakai diri jika melaju secepat itu. Kesalahan kecilpun, sekecil apapun, bisa membuat kami mati. Sudah berkali-kali saya teriak : "Mo.., stoop Moo, Stoopp..!!!" tapi dia tidak peduli. Saya tak mau mati. Saya belum menikah. Jadi, apalagi yang bisa saya lakukan selain berdzikir dan berdoa agar bisa selamat sampai tujuan..? Kalau toh harus mati, semoga saya bisa masuk surga. Sedangkan nasib Tarmo.., ah.., peduli amat.

 

Sesampainya dirumah, Tarmo memamerkan kebolehannya dalam mengendarai sepeda motor. Para jomblo mendengarkan dengan takjub, kagum, heran, geleng-geleng kepala. Saya pun menggelengkan kepala juga. Geleng-geleng sambil berucap : "Gila..!!".

 

Ok, sekarang anda tahu salah satu peristiwa yang tak patut dicontoh oleh manusia manapun di muka bumi. Tapi, mari kita mencoba mengambil hikmah. Bahwa sengawur apapun peristiwa itu, tetap ada sisi positif yang terkandung didalamnya. Peristiwa itu telah membuat saya kembali berdzikir, setelah sedemikian lamanya melupakan keberadaan Tuhan. Membuat saya merasa belum punya bekal yang cukup untuk mati. Merasa bahwa, betapa banyak manusia yang ingat kepada Tuhannya hanya saat menjelang mati. Dan satu sisi positif lagi ialah, tak perlu seorang ustadz, da'i, atau kyai untuk menanamkan semua itu dihati kita. Tarmo pun bisa.

 

Peristiwa lain, berkebalikan dengan hal diatas.

 

Suatu hari, dua teman mengalami kecelakaan lalu lintas. Mereka mengebut dimalam hari, melewati jalan gelap nan sepi, dengan lampu motor yang mati. Mereka tak tahu betapa banyak polisi tidur yang berbaring di sepanjang jalan itu. Mereka tak menyangka akan terguling, jatuh membentur aspal, lalu bangkit dengan muka lecet dan penuh memar.

 

Lagi-lagi Tarmo. Di lain waktu dia melajukan motor dengan kecepatan (yang tumben-tumbennya) teramat pelan. Mirip siput. Dia berkata betapa teman kami tak menghargai tubuh dan nyawa yang telah dititipkan Tuhan. Tak berpikir bahwa tindakan ngebutnya bisa membahayakan diri. Tarmo menggelengkan kepala. Dia menasehati saya. Dia bilang : "Kita jangan mencontoh mereka".

 

Yah, memang, itu nasehat yang baik. Andai selanjutnya dia tidak melanjutkan perkataannya :

 

"Contohlah aku. Tak pernah kulajukan sepeda motor melebihi 40km/jam. Maksimalnya ya 60an lah. Aku heran, apa sih asyiknya kebut-kebutan..? Kalau toh asyik, apa kita bisa tetap merasa asyik kalau sudah nabrak, terguling, luka-luka, cacat, atau bahkan mati..? Kita dianugerahi otak untuk berpikir. Untuk menimbang mana yang baik dan mana yang tidak baik. Yang namanya otak, seharusnya ya digunakan. Jangan cuma jadi barang pajangan. Sungguh Gie, aku heran sama teman kita itu. Betul-betul heran. Ck.." Dan dia kembali menggelengkan kepala.

 

Jujur, andai saat itu saya sedang menggenggam sebilah pisau, golok, pedang, atau gergaji, tentu sudah saya gorok leher Tarmo. Saya bunuh dia. Saya ludahi mayatnya, mutilasi tubuhnya, kumpulkan kedalam karung, bawa ke kolam ikan, lalu saya umpankan pada lele dumbo. Biar dagingnya digerogoti sampai habis. Dan saya tak perlu merasa berdosa.

 

Ah, betapa sebuah nasehat, sebijak apapun nasehat itu, terasa hampa bila meluncur dari orang yang tidak tepat.

Jangan Tidur

 

Jangan tidur

Tahan kantukmu

Malam ini, beribu malaikat sedang turun ke bumi

Melihat siapa saja yang masih terjaga

Dan berdzikir sambil menyebut nama-Nya

 

Jangan tidur

Tinggalkan bantal dan kasur itu

Cepat pergi, ambil air wudhu

Sucikan hati dan tubuhmu

Lalu sentuhkan dahi ke tempat sujud

 

Dasar bodoh

Bangunlah

Siapa yang menjamin bahwa besok malam,

Kamu masih bisa menjalani hidup..?

 


Togie

Misteri Pisau Lipat dan Mati Bunuh Diri

 

Malam ini, kulihat pisau lipat tergeletak diatas meja kamar. Pisau putih perak, gagangnya berwarna kuning. Hatiku bertanya : “Kenapa ada pisau disini..?”. Tapi aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tak pernah punya pisau lipat. Tak punya duit untuk membelinya.

 

Tanganku merayap menelusuri permukaan meja

Bergerak perlahan mendekati pisau itu lalu menyentuhnya.

Dingin.

Pisau macam ini selalu terasa dingin.

Sedingin mayat.

Mati.

Aku jadi teringat mati.

 

Pisau sudah berada dalam genggaman tanganku. Begitu erat, begitu lekat. Mungkinkah pisau ini bisa digunakan untuk membunuh..? Mungkin perlu dicoba.

 

Lusinan jomblo yang sedang menungguku diluar sana teramat mudah untuk dibunuh. Bisa saja pisau ini kusembunyikan dibalik jaket lalu mendekati mereka. Menyapa mereka, mengobrol, lalu tertawa bersama-sama. Takkan ada yang curiga. Mereka tak pernah merasa curiga. Bahkan, tentang kenapa sampai sekarang mereka masih tetap menjomblo pun, tak ada yang mencari tahu alasannya. Padahal menurutku, sudah seharusnya mereka curiga bahwa mungkin saja mereka telah kena kutuk.

 

Aku bisa bersikap seperti biasa, seolah seperti tak sedang merencanakan kejahatan apa-apa. Saat mereka lengah, aku cukup berpura-pura mengambil rokok di saku jaket dan langsung menusuk. Di leher, tenggorokan, urat nadi, ulu hati, pokoknya, ditempat manapun yang bisa bikin mati. Tapi apa gunanya..? Dunia takkan berubah walau mereka dibunuh. Amerika masih tetap mencabuli Irak dan Afghanistan. Israel memperkosa palestina. Sebagian tikus BLBI bebas menghambur-hamburkan harta. Aku pun tetap saja menjadi jomblo.

 

Selanjutnya aku berpikir, apa lebih baik aku bunuh diri saja..? Agar tak lagi berpikir macam-macam dan tak bertambah gila..?

 

Kuakui, jika ada pisau, kapanpun aku bisa bunuh diri. Kalian lihat tenggorokanku..? Cukup "Jleb...!!", dan matilah aku. Atau menggorok urat leher hingga berbunyi "Cress..!!" lalu rohku langsung meluncur ke alam sana..? Tapi, tidak jadi ding. Aku tak mau bunuh diri. Aku tak ingin menyesal. Tak mau depresi, menggedor-gedor dinding kubur sambil berteriak : "Woooiii, aku belum sempat menikaaahh....!!!"

 

Ternyata, bunuh diri itu mudah. Tak perlu usaha keras. Andai tak ada pisaupun, masih ada banyak cara untuk mati. Gantung diri, tidur di rel kereta, minum racun, mensuit-suit istri tetangga, banyaklah alternatifnya. Kita tinggal pilih. Sebab seperti sudah kubilang, tak butuh usaha keras. Bahkan, kita tak perlu jadi manusia kalau hanya ingin bunuh diri. Hewanpun bisa melakukannya.

 

Ah, sudahlah. Berhentilah berpikir. Yang pasti, sudah dari tadi aku bertanya-tanya : "Pisau ini sih datang darimana ya..?"

 

 

Sabtu dinihari, saat nemu pisau lipat

de lonelie, togie

Pengemis Itu

Pengemis itu duduk diteras masjid
Kakinya buntung sebelah
Sambil melihat dua pria berdebat
Tentang sunnah, bid'ah
Liberalisme, fundamentalisme, entah apalagi
Beradu argumen, saling menyalahkan, menjatuhkan
Tak berhenti sebelum satu pihak mengaku salah

"Kamu sesat" Yang satu berkata
"Dasar fanatik" Satunya lagi membalasnya
"Budak Amerika"
"Islam bukan Arabia"
"Kembali pada Alquran"
"Itu cuma produk budaya"
"Junjung tinggi hadits"
"Kenapa tidak ijtihad saja..?"

Seorang pengemis, tetap duduk di teras masjid
Kakinya buntung sebelah
Tak ada yang mempedulikannya
Apalagi memberi sedekah

Kamis, 12 Juni 2008

puitipic 1




Dibuat untuk menghormati mereka yang sedang patah hati

Pengecut

Tanpa disadari, sejak kecil, kita telah dididik menjadi seorang pengecut. Atas nama islam, kita disuruh untuk selalu memaafkan orang lain. Tak peduli bahwa bukan kita yang salah. Tak peduli separah apa kita didzolimi.

Dulu, ketika masih sering mengaji di mushalla, Pak ustadz melarang kami berkelahi. Biarpun berkali-kali dinakali, dijahili, dijahati, kami selalu saja mengalah. Mengikhlaskan diri. Meniru sikap rasulullah yang selalu bersabar menghadapi penindasan di Makkah, melupakan perlawanan beliau saat sudah hijrah ke Madinah. Secara tidak langsung, kami diajari bahwa muslim yang baik adalah mereka yang tidak pernah melawan dan membela diri. Padahal terkadang, kita harus melawan demi mempertahankan prinsip.

Pernah seorang teman dipukul dan ditendang-tendang dengan sebegitu meriahnya. Walau dia tak bersalah, namun dia tidak punya keberanian untuk melawan. Dia hanya berdiam diri saat menerima semua perlakuan itu. Sinar matanya memohon agar ditolong tapi dia tak mau menolong dirinya sendiri. Tak berpikir bahwa bila ada yang menolong pun, si penolong mungkin ikut dihajar juga. Karena itulah, tak satupun yang berminat untuk membelanya. Sebab dia adalah mahluk manja. Dia tidak pelu dilindungi sebab perlindungan yang kita berikan hanya akan membuatnya bertambah manja.

Untunglah, ada yang masih punya sifat pemberani. Pernah seorang teman terdampar diantara sekumpulan orang mabok. Berbeda dengan daku dimana tak satupun penghuni hutan bambu berani menawari minum sebab hal itu sama saja dengan membuat Tarmo murka, teman daku tak punya apapun yang bisa diandalkan. Dia ditawari minum. Saat tidak mau, dia diancam. Ketika tetap tidak mau, kerah bajunya dicengkeram dan hampir dipukuli. Tapi hal itu tak sedikitpun menyurutkan semangatnya untuk terus berkata TIDAK. Sebab dia lebih memilih babak belur atau kehilangan teman dibanding ikut meminum khamr.

Daku salut kepadanya. Daku bertanya darimana asal keberanian itu. Tapi dia juga tak tahu. Dia cuma bilang begini : “Awalnya kita memang merasa takut. Namun setelah mengucapkan kata TIDAK, rasa takut itu sirna. Hati kita jadi diliputi keberanian yang entah datang darimana. Yang membuat kita mampu untuk terus berkata TIDAK apapun resikonya. Sebab memang itu yang harus kita lakukan.”

Keberanian. Itulah sebabnya daku jatuh hati kepada Rasulullah, Abubakar, Umar, Utsman, Ali,  Abu Dujanah, Abu Dzar Al Ghifari, Salman Al Farisi, dan lainnya. Sebab mereka berani berkata TIDAK ketika harus berkata TIDAK.

Daku harap, manusia seperti merekalah yang kelak memimpin bangsa dan agama ini. Sudah terlalu banyak pengecut yang menjadi pemimpin. Mengajarkan ideologi kepengecutan pada pengikutnya. Melegalkan penindasan. Menghambakan diri pada pihak yang secara ekonomi dan militer lebih kuat.

 

Kesimpulan : Ayo bermain layang-layang

Cinta, cinta, cinta (bingung)


Sebagai seorang jomblo yang dikagumi banyak orang (kagum atas nasibnya yang entah kenapa terus saja menjomblo) tentu saya sering ditanya, diajak berdiskusi, bahkan diinterogasi banyak orang. Tema yang dibahas tidak jauh-jauh amat. Selalu berkutat diantara cinta dan pacar.

Mereka bertanya tentang cinta. Tentang apa yang sebenarnya disebut sebagai cinta dan yang harus dilakukan terhadap orang yang kita cinta.

Jujur saja, sebagai seorang jomblo (lebih sepesifik lagi, manusia yang dikutuk agar terus menjomblo), saya gak mudeng babar blas soal cinta. Jadi untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya mengacu bukuTaman Orang-Orang Jatuh Cinta Dan Memendam Rindu” karangan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Kenapa harus mengacu kepada buku..? Sebab selain agar tidak ngawur saat berbicara tentang hal yang amat tidak saya pahami, mencontek perkataan buku juga bisa membuat diri saya terlihat lebih pintar. Satu hal yang konon didambakan oleh kaum hawa.

Begini. Ibnu Qayyim Al Jauzziyah mendefinisikan cinta sebagai… (berhubung definisinya dibagi menjadi limapuluh jenis lebih, mohon anda baca sendiri di buku beliau. Sebab kalau harus menuliskan semuanya, entah kenapa kok jadi malas).

Setelah mengetahui definisi cinta (atau anggap saja sudah tahu), maka selanjutnya kita harus memikirkan tentang apa yang sebaiknya dilakukan terhadap orang yang kita cinta.

Syaikh Ibnu Taimiyyah pernah berkata bahwa cinta terdiri dari tiga jenjang : Taraf permulaan, pertengahan, dan puncaknya.

Pada jenjang permulaan, ia harus menyembunyikan perasaan cintanya dan tidak perlu memberitahukannya pada orang lain. Jika cintanya semakin bertambah membara, tidak ada salahnya dia menyatakan perasaannya pada orang yang dia cinta. Jika cintanya semakin membara lagi dan keluar dari batasan yang ada, berarti dia termasuk orang gila dan terbujuk rayuan setan.1

Setelah mendengar hal ini, mungkin ada orang yang berkata :

"Tidak mungkin Allah menyiksa kami di neraka hanya karena berpegangan tangan, berpelukan, berciuman dan raba-rabaan. Dia tidak sekejam itu. Allah Maha Pengampun. Maha Pengasih. Maha Penyayang. ".

Dimana argumen tersebut bisa kita sanggah dengan :

"Surga dan neraka adalah urusan Allah. Yang pasti, kita hanya bisa menuruti apa yang diperintahkan serta menjauhi yang dilarang. Bila suatu perbuatan bisa menimbulkan dampak buruk pada hati kita, dan bila terus dilakoni bisa menambah buruk jiwa kita, maka sudah seyogyanya kita menjauhi perbuatan tersebut."

Nah, setelah itu, mungkin mereka masih memaparkan berbagai argumen yang bertujuan untuk membantah. Namun, biar bagaimanapun, sebenarnya argument-argumen itu hanya dilandasi oleh satu hal. Agar perbuatan mereka tetap dianggap benar. Tak peduli sesuai dengan ajaran islam atau tidak.

Belajar dari beberapa teman yang telah sukses melakukan perbuatan zina menggunakan bahan baku berupa sperma dan ovum yang diberi zat bio-kimia tubuh sehingga setelah dirakit berkali-kali didalam rahim akhirnya menghasilkan produk jadi yang diberi nama “Bayi”, saya dapat menyadari alasan kenapa Allah melarang kita mendekati perbuatan zina.

Intinya adalah sikap permisif.

Secara psikologis, jiwa kita mudah beradaptasi dengan berbagai macam kondisi. Baik positif maupun negatif. Saat pertama kali berpegangan tangan dengan yang bukan mahram (apalagi bila kita mencintainya), mungkin akan timbul desir-desir hebat di hati kita. Namun perlahan-lahan kita akan beradaptasi, terbiasa, tidak berdesir-desir lagi. Proses tersebut terus berulang ketika kita berbuat lebih jauh. Entah berpelukan, berciuman, atau saling raba. Saat itu, otak kita akan berpikir bahwa : “Selama tidak melakukan perbuatan zina kan tidak apa-apa..!!”

Lalu kita menghadapi dua pilihan. Terus bertahan sebatas raba-rabaan atau berani berbuat lebih jauh. Dimana andaipun kita nekat menjebloskan diri untuk berzina ria, maka perasaan bersalah yang tadinya melanda lambat laun akan menghilang. Tidak peduli lagi bahwa zina itu dilarang. Sebab kita berpikir bahwa zina masih lebih baik daripada merampok, membunuh atau memperkosa.  

Terakhir, anda lebih tahu tentang mana yang lebih baik. Bagi diri anda, maupun bagi orang yang anda cinta. Selanjutnya terserah. Mau sama-sama menghindarkan diri dari keburukan, atau terjun bareng kedalam lembah kehinaan.

 

 

1Ibnu Qayyim Al Jauziyyah : Taman orang-orang jatuh cinta dan memendam rindu. Hal 95. Penerbit : Darul Falah. Jakarta.

Sabtu, 07 Juni 2008

Maaf, dia bukan almarhum

 

Beberapa bulan kemarin, seorang teman dipanggil menghadap sang pencipta. Meninggalkan riuh dan busuknya alam nyata, pergi ke alam kubur yang dipenuhi sepi. Dimakan ulat, dikerubuti cacing, membusuk dan menjadi pupuk bumi.

Mungkin kita menganggap bahwa dia telah mati, tapi sebenarnya bukan. Di alam kubur sana, dia masih hidup. Ditanya oleh malaikat lalu selanjutnya entah diapakan. Jangan-jangan gara-gara tidak bisa menjawab pertanyaan akhirnya dia mengalami siksa kubur..? Ataukah dia bisa menjawab lalu disuguhi indahnya bayangan sorga..? Tak seorangpun tahu. Tabir antara alam nyata dan alam barzakh terlalu tebal untuk ditembus. Dia sudah tak bisa lagi berkomunikasi dengan kita, bercanda, tertawa, ataupun sekedar berbagi kabar. Dia terkurung di zona yang tak terjangkau oleh sinyal HP maupun wireless. Itulah sebabnya kenapa daku (juga yang lain) hanya bisa berdoa. Semoga keluarga yang ditinggalkan bisa bersabar. Ikhlas melepaskan kepergiannya. Semoga kesedihan mereka berangsur mereda. Agar bisa kembali menjalani hidup sebagaimana hari biasa. Amiin.

Sayang, ada beberapa orang yang hatinya dipenuhi rasa tega. Entah karena mencari sensasi atau apa, mereka menyebarkan isu bahwa almarhum bisa kabur dari alam kubur lalu bergentayangan menjadi hantu. Meneror dan menakut-nakuti para penduduk lalu ingin menuntut balas atas ketidak-adilan yang dialami. Daku tak tahu apa yang dimaksud dengan tidak-adil itu, yang jelas, bagi daku, kabar-kabur yang tersiar mirip dengan film-film horror indonesia yang jalan ceritanya sering membuat akal sehat kita menangis, saking amburadulnya.

Daku tak habis pikir, apa hati mereka tidak bergetar saat melihat bapak almarhum menangis dan meneteskan air mata..? Ketika ibu dan nenek almarhum menjerit lalu pingsan..? Ketika adik almarhum kehilangan seorang kakak yang menjadi tempat curhat..? Apa mereka tidak bisa membayangkan betapa sedih hati keluarga almarhum jika mendengar isu bahwa dia telah berubah menjadi sesosok hantu yang ditakuti..?

Entahlah. Selama masih hidup, almarhum selalu bersikap baik pada warga. Dia sering membelikan kami rokok, mewakili kampung kami dalam pertandingan badminton, rajin ikut serta dalam kerja bakti, murah senyum, suka menolong, dan lain sebagainya. Sungguh tidak logis kalau hanya gara-gara mati lalu dia berubah sifat, jadi hobi menakut-nakuti warga sambil berteriak "akan kubunuh kaliaaaannn.., ha.. ha.. ha..!!"

Aneh. Padahal daku dan para jomblo selalu standby di rumah almarhum semenjak dia sakit hingga seminggu setelah dia dikuburkan. Menemani keluarganya, tidur diemperan rumahnya, berjaga-jaga kalau-kalau ibu almarhum kumat lagi histerisnya lalu berteriak dan akhirnya pingsan. Sungguh, selama itu, kami tak mengalami gangguan apa-apa. Paling-paling hanyalah beberapa lusin nyamuk yang selalu bernguing-nguing diatas kepala, atau beberapa jomblo yang tiba-tiba terbangun lalu bertanya : "Mas, besok kuliah jam berapa..?".

Ya, hanya itu. Makanya sungguh aneh kalau warga yang entah siapa dan rumahnya entah dimana kok tiba-tiba mengaku dihantui oleh almarhum.


Namun, cerita belumlah berakhir.


Almarhum bersahabat karib dengan sepasang bapak-ibu yang menjadi tetangganya. Dia sering menginap disana, makan disana, curhat pada mereka, bermain dengan anak-anak mereka. Beberapa hari sebelum meninggal, almarhum tidur di rumah mereka, di kamar depan. Dia bilang ingin tidur sampai sore, istirahat total. Itulah saat terakhir dia menginap.

Alkisah, di hari ke seratus setelah dia meninggal, dia menampakkan diri di kamar depan, menemui suami istri tersebut. Dia mengenakan pakaian yang sama seperti yang dikenakan saat meninggal. Beberapa tetes darah masih mengalir dari mulutnya. Luka bekas operasi masih menyisa di batok kepalanya. Dia datang dengan raut muka sedih. Dia bilang, di alam sana, dia belum nemu tempat tinggal. Dia minta dibuatkan rumah. Dia juga mengeluhkan berbagai hal yang tidak bisa daku ceritakan disini. Suami istri tersebut hanya manggut-manggut dengan diselimuti rasa takut. Lalu besok paginya, lari menemui orangtua almarhum dan menceritakan semuanya.

Nah, disinilah masalahnya. Setelah itu, mereka juga menemui daku. Mereka bilang begini :"Gie, kemaren almarhum datang. Dia minta dibuatkan papan panggonan"

Lha, bukankah kamu cukup diam saja Gie..?

Pinginnya sih. Tapi coba tebak, siapa yang dia minta untuk membuat papan panggonan itu..?


Daku...!!!


GUBRAK..!!


Yah, tapi dihadapi sajalah. Akhirnya daku bilang bahwa roh orang mati itu sudah dikirim ke alam barzakh, tak bisa lagi nongol di dunia fana. Kalau toh ada penongolan, berarti itu mahluk lain, bukan almarhum. Dan mahluk yang bisa nongol-nongol sesukanya adalah jin. Jadi kesimpulannya, daku gak harus berbuat apa-apa. Toh bagi daku, mending membuatkan papan panggonan buat manusia saja, yang ada bayarannya. Bukan buat mahluk semacam jin. Lagipula, semasa masih hidup, almarhum juga sudah tahu bahwa daku gak mudeng masalah klenik. Jadi tidak mungkin dia minta tolong kepada daku.

Pertamanya sih, saat mendengar tanggapan seperti ini, mereka terlihat marah. Tapi mau gimana lagi. Lha wong menurut daku, yang benar ya seperti ini. Lagipula, kalau toh mau mbikinin rumah, mo dibikin pake apa..? Semen..? Kayu..? Pasir..? Batu..? Darimana daku punya duit buat mbeli semua itu..?

Rabu, 04 Juni 2008

Untuk Seorang Sahabat



Persahabatan
Seringnya, sulit dimengerti
Dipahami
Dipelajari

Persahabatan
Adalah masalah hati
Keterkaitan rasa
Serta emosi

Persahabatan
Tak harus baik atau terpuji
Keburukan pun bisa
Diaransemen menjadi simphoni indah
Yang mengiringi jalinan nasib kita
Bersama sahabat

 

*Hari H

"Mo.."

Dibawah sinar bohlam, seorang pria kurus menyapa sohibnya yang sedang duduk sambil menyalakan rokok. Angin malam berhembus menembus tebalnya jaket, kerlip bintang tertutup kelamnya mendung, hujan rintik-rintik mulai turun membasahi tanah.

"Kenapa tak kau balas..?" Lanjutnya.

Si kurus menatap jari tangan Tarmo yang bergetar hebat layaknya sedang menggigil. Bukan.., bukan karena udara dingin. Tarmo terlalu tangguh untuk ditakhlukkan oleh panasnya gurun maupun dinginnya badai salju.

"Tak seharusnya dia berbuat seperti itu..!!"

Persahabatan kedua orang itu sudah terdengar sampai ke pelosok hutan bambu. Mereka selalu bersama, tak terpisahkan. Saling mengisi, saling melengkapi. Bila sedang duduk mengobrol dengan mata menatap langit, tak satu warga pun yang berani mengganggu. Sebab saat itu mereka sedang menjalin komunikasi dengan alam semesta. Merenungi hidup dan kehidupan, menghayati, memikirkan, lalu menuangkan pemikiran tersebut menjadi untaian kata.

"Keterlaluan..!!"

Namun seorang pemuda berani mengganggu. Bukan hanya mengganggu, dia sudah kurang ajar. Tanpa memberi aba-aba, dia mendekati dua sahabat yang sedang merenung, membekap Tarmo dari belakang, menyeretnya ke jalan aspal, lalu membantingnya. Dia memelintir tangan Tarmo hingga terluka dan meringis kesakitan. Membuat sendi pinggangnya seakan lepas, membuat tulang rusuknya terasa patah. Bukannya menyesal atau merasa bersalah, dia malah tertawa terbahak-bahak lalu pergi meninggalkan Tarmo yang masih termangu ditengah jalan. Berdiri dengan muka tertunduk. Berusaha menetralkan rasa marah yang menggelegak didalam dada. Usaha yang amat sulit dan butuh waktu lama. Sebab ketika mendudukkan tubuhnya kembali disamping si kurus, rasa marah itu masih bersisa.

"Dia harus diberi peringatan Mo, biar insyaf. Lampiaskan kemarahanmu. Beritahu dia makna dari rasa takut"

Benar. Ketakutan, tirani, intimidasi, terkadang bisa menjadi membuat orang lain menurut pada kita. Kekerasan adalah obat mujarab untuk mengatasi kekerasan serupa. Apalagi bila yang menjadi tokoh utamanya adalah seorang Tarmo.

"Nggak" Tapi Tarmo menggelengkan kepalanya.
"Biar Gie, diamkan saja." Tarmo melanjutkan kata-katanya

"Apa..? Didiamkan..?" Semoga dia salah bicara.
Tapi sayang, selanjutnya, dengan jari tangan yang masih bergetar Tarmo menjawab : "Ya..!!"

Seketika, gerimis berubah menjadi hujan lebat. Kilatan petir menghantui langit. Suara gemuruh menerpa telinga. Kedua sahabat itu saling berpandangan, berjuta kisah yang telah belasan tahun terekam dalam memori mereka tumpah dalam sekejap.


The Memories

Si kurus, yang sekarang bertubuh kurus, dari dulupun sebenarnya sudah kurus. Berbekal kekurusan itu dia mengikhlaskan diri untuk dijahili oleh teman sekelas maupun sesekolahan. Entah oleh siswa-preman paling ditakuti maupun siswa bukan preman yang karena tubuhnya lebih besar maka tetap harus ditakuti. Tapi apa dinyana, dia tak perlu repot-repot mengikhlaskan diri sebab ternyata, Tarmo lebih ditakuti oleh siswa paling preman sekalipun.

Tunggu, jangan salah paham. Tarmo bukan siswa badung, bengal, atau semacamnya. Dia hanya siswa biasa yang sayangnya, sedikit gila. Dia tidak punya rasa takut. Omelan guru dianggapnya nasehat, hukuman dianggap sebagai sebentuk kasih sayang, bahkan penolakan para gadis diartikan bahwa dia lebih cocok berperan sebagai sahabat serta pelindung kaum hawa dibanding sebagai pacar. Itulah Tarmo. Dia tidak suka cari ribut apalagi sampai berkelahi. Dia hanya terobsesi untuk menggilakan diri. Dan kegilaan itu membuat siswa lain tak berani membuat masalah dengannya.

Sedangkan si kurus..? Dia hanya sesosok manusia yang kisah hidupnya tak mungkin tertuang dalam buku sejarah. Dia tokoh tidak penting yang pantas untuk diacuhkan. Tapi entah kenapa Tarmo begitu melindunginya. Walau Tarmo lebih suka mengejar-ngejar para siswi dan membuat mereka berlari ketakutan daripada menolong siswa lain yang sedang dipalak, tapi bila yang dipalak adalah si kurus niscaya dia langsung menghentikan kejarannya dan ganti mengejar-ngejar si pemalak.

Bukan hanya itu. Biarpun Tarmo (maaf) miskin dan jarang diberi uang saku namun dia hobi mentraktir si kurus tanpa pernah mau balas ditraktir. Dia sering membeli makanan untuk si kurus walau dia sendiri sedang kelaparan. Bahkan saat membeli es serut tapi hanya punya duit seratus perak, dia lebih suka membeli es separoh harga lalu membaginya dengan si kurus daripada mengajak patungan.

Dia selalu melakukan apapun untuk si kurus. Bila hujan turun, dia meminjamkan mantelnya sedangkan dia rela hujan-hujanan. Bila si kurus dinakali, dialah yang babak belur akibat berkelahi sedangkan si kurus disuruh lari. Bila si kurus main sampai sore dan diomeli ibunya, dia menawarkan diri untuk menjadi pihak yang patut disalahkan. Saat nyolong tebu dan dikejar-kejar pak mandor, dia lari ke arah yang berbeda dengan si kurus agar dialah yang dikejar. Dan itu semua dilakukan tanpa mengharap balasan. Satu-satunya permohonan yang pernah dia ucapkan adalah ketika minta diajari pelajaran matematika di hari-hari terakhir menjelang ebtanas. Itupun percuma sebab gara-gara terlalu sering membolos maka sepulang sekolah dia selalu dihukum untuk belajar sendiri di ruang guru.

Alur yang sama terus berlanjut sampai mereka dewasa dan berumur duapuluh tahun lebih. Tak ada yang berani mengganggu si kurus karena itu berarti juga mengganggu Tarmo. Bahkan ketika kembali dari pekerjaannya sebagai TKI dan duit yang dikumpulkan dengan susah payah sudah habis, dia tetap tidak mau ditraktir. Dia malah mendaftar jadi TKI lagi agar bisa membeli ginseng biar si kurus jadi sehat dan tidak kurus lagi. Membelikan laptop agar si kurus bisa melek IT. Mengumpulkan modal untuk me...


Ah.., cukup..!!


Tarmo sudah melakukan segalanya untuk si kurus. Sekarang saatnya dia melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri

"Mo, kau tahu..?"

Si kurus mengeluarkan jurus terakhir. Tarmo harus diberitahu detail kedzaliman yang selama ini terjadi. Tentang penderitaan para korban.

"Kemarin ada gadis dari RT sebelah yang main kesini. Dia memakai rok dan rok itu, dengan semena-mena ditarik keatas hingga celana dalamnya kelihatan. Tak cukup sampai disitu, bahkan (maaf) pantatnya pun ditendang dari belakang. Hal itu dilakukan berulangkali hingga kemudian, sejak beberapa hari ini, gadis itu tidak pernah kesini lagi."

"Lalu si X yang bertubuh kecil. Dia diangkat tinggi-tinggi lalu tulang ekornya dihantamkan ke tegel"

"Juga si Y yang perutnya dipukul sampai hampir muntah, si Z yang ditindih hingga sesak nafas, bahkan pacarnya sendiri juga sering ditampar. Dan semua itu dia anggap sebagai bahan bercanda yang menyenangkan..? Sadarlah Mo. Dimana rasa kesetiakawananmu..?Asal tahu saja. Mereka marah, mereka ingin melawan tapi tidak berani. Mereka kalah bodi. Seharusnya kamu mewakili aspirasi mereka. Mengungkapkan suara hati mereka. Jangan hanya diam."

Mendengar hal itu, tangan Tarmo yang tadinya berangsur tenang kini menggigil kembali. Bahkan lebih hebat. Dia menyelipkan rokok ke sela bibirnya, menghisap lalu menghembuskannya. Asap putih mengepul acak dari sela bibir yang bergetar. Emosinya campur aduk. Hal itu berlangsung lama hingga getaran tangannya berhenti.

"Diam..?" Akhirnya Tarmo kembali bersuara.

"Jujur kuakui. Dibekap dan dibanting-banting seperti tadi, rasanya memang sakit. Namun sesakit apapun tubuh ini, hatiku terasa jauh lebih sakit lagi. Aku jadi ingin membalas."

"Lalu ke…"

Si kurus tak bisa melanjutkan kata-katanya. Mulutnya terasa terkunci ketika melihat Tarmo menghisap rokoknya tuk terakhir kali, menghirupnya dalam-dalam, meracuni paru-paru, lalu menghembuskan asapnya dalam hitam malam. Sinar matanya sudah kembali seperti semula. Seperti masa kecil dulu. Dengan mata itu dia balas menatap si kurus. Dengan mata seperti itu pula kemudian dia berucap :

"Tapi tak apa bila aku diam. Tak apa bila aku harus menahan marah. Asal yang diperlakukan seperti itu bukan kamu.., Gie..!!"

Selanjutnya hanya ada bisu. Hujan sudah mereda. Bulan menyembul dari balik awan. Segerombol kampret kembali beterbangan. Beberapa bintang tampak seperti jerawat di wajah langit. Si kurus melihat punggung tegap Tarmo dari belakang ketika Tarmo kembali ke rumahnya di pedalaman hutan bambu. Selama ini manusia aneh itu telah melakukan banyak hal untuk si kurus. Dan sekaranglah saat untuk membalasnya.

 

*Dua minggu setelah hari H

  • Mata pencaharian si pemuda hampir bangkrut karena si kurus mengajak teman-teman (yang pernah menjadi korban) untuk melakukan aksi boikot
  • Si pemuda hampir putus dengan pacar gara-gara ada pihak ketiga dimana pihak ketiga tersebut didukung habis-habisan
  • Si pemuda dijauhi oleh warga karena si kurus mengajak mereka bersikap tegas dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah
  • Oleh penduduk hutan bambu, pemuda itu dianggap sebagai manusia durhaka
  • Akibat membuat resah warga, si pemuda dibenci oleh keluarganya sendiri
  • Ditambah dengan berbagai masalah lain, sekarang si pemuda menjadi perokok berat dengan muka depresi. Yang sering mondar-mandir sendirian keliling kampung walau jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga dinihari. Yang entah kenapa, sering tiba-tiba berteriak "HUWAAAA..!!!", lalu tiba-tiba pula tertawa : "HAHAHAHA…!!!"

Tapi itu belum cukup. Si kurus takkan berhenti sebelum pemuda itu merasakan apa yang Tarmo rasa. Sebelum melihat jari tanggannya bergetar hebat seperti yang Tarmo alami. Sebelum meminta maaf pada semua orang yang pernah dianiaya terutama pada beberapa gadis yang sering disingkap rok-nya. Sebelum putus dengan pacarnya agar pacar tersebut bisa berpacaran dengan pria lain yang tidak suka menempeleng. Sebelum merubah sifat dan sikapnya. Sebelum si kurus merasa bahwa dia telah melakukan sesuatu untuk Tarmo.