Minggu, 15 Juni 2008

Nasehat, ngebut dan mutilasi

Sebagai manusia, kita butuh dinasehati. Untuk mengingatkan kita, meluruskan kita agar tetap melangkah pada jalur yang seharusnya. Namun terkadang, nasehat itu bisa diberikan bukan dengan cara yang biasa. Bukan dengan kata-kata atau tingkah laku manis yang diatur sedemikian rupa agar terkesan penuh dengan nuansa hikmah.

 

Contohnya Tarmo. Pernah, dia memboncengkan tubuh saya diatas motor supra 125.cc nya. Dia melaju dengan begitu kencang, melebihi 100 km/jam. Dia bukanlah Valentino Rossi atau siapapun itu. Dia hanya seorang Tarmo. Dia tidak mengkonsentrasikan diri pada situasi jalan. Dia selalu menengokkan kepala sambil terus mengajak berbicara. Mengacuhkan apapun yang ada didepan kami. Bahkan, tiap kali ada gadis manis yang sedang berjalan kaki, dia tetap tidak berkonsentrasi. Dia malah mengangkat sebelah tangannya, nyengir kuda sambil berucap "dadaaaahh", tanpa mengurangi kecepatan sedikitpun.

 

Seperti kota-kota lain, kota kami juga punya banyak lampu lalu-lintas. Tapi bagi Tarmo, lampu merah, kuning ataupun hijau tak ada bedanya. Sebab apapun warna lampunya, motor yang dia kendarai tetap melaju melebihi 100 km/jam, itupun terus dipercepat lagi. Memang, di jalan yang kami lalui ada berlusin motor, mobil, truk, juga polisi. Tapi mereka seolah tak ada. Seolah di dunia ini, hanya Tarmo yang sedang menggunakan jalan itu. Tak ada yang lain.

 

Dzikir. Sungguh, manusia seerror saya pun saat itu tiba-tiba berdzikir sambil berpegang erat pada jok sepeda motor. Menyebut "Astaghfirullah", "Subhanallah", dan "Allahuakbar". Membonceng Tarmo membuat saya merasa sebentar lagi mati. Tak perlu kecerobohan besar untuk mencelakai diri jika melaju secepat itu. Kesalahan kecilpun, sekecil apapun, bisa membuat kami mati. Sudah berkali-kali saya teriak : "Mo.., stoop Moo, Stoopp..!!!" tapi dia tidak peduli. Saya tak mau mati. Saya belum menikah. Jadi, apalagi yang bisa saya lakukan selain berdzikir dan berdoa agar bisa selamat sampai tujuan..? Kalau toh harus mati, semoga saya bisa masuk surga. Sedangkan nasib Tarmo.., ah.., peduli amat.

 

Sesampainya dirumah, Tarmo memamerkan kebolehannya dalam mengendarai sepeda motor. Para jomblo mendengarkan dengan takjub, kagum, heran, geleng-geleng kepala. Saya pun menggelengkan kepala juga. Geleng-geleng sambil berucap : "Gila..!!".

 

Ok, sekarang anda tahu salah satu peristiwa yang tak patut dicontoh oleh manusia manapun di muka bumi. Tapi, mari kita mencoba mengambil hikmah. Bahwa sengawur apapun peristiwa itu, tetap ada sisi positif yang terkandung didalamnya. Peristiwa itu telah membuat saya kembali berdzikir, setelah sedemikian lamanya melupakan keberadaan Tuhan. Membuat saya merasa belum punya bekal yang cukup untuk mati. Merasa bahwa, betapa banyak manusia yang ingat kepada Tuhannya hanya saat menjelang mati. Dan satu sisi positif lagi ialah, tak perlu seorang ustadz, da'i, atau kyai untuk menanamkan semua itu dihati kita. Tarmo pun bisa.

 

Peristiwa lain, berkebalikan dengan hal diatas.

 

Suatu hari, dua teman mengalami kecelakaan lalu lintas. Mereka mengebut dimalam hari, melewati jalan gelap nan sepi, dengan lampu motor yang mati. Mereka tak tahu betapa banyak polisi tidur yang berbaring di sepanjang jalan itu. Mereka tak menyangka akan terguling, jatuh membentur aspal, lalu bangkit dengan muka lecet dan penuh memar.

 

Lagi-lagi Tarmo. Di lain waktu dia melajukan motor dengan kecepatan (yang tumben-tumbennya) teramat pelan. Mirip siput. Dia berkata betapa teman kami tak menghargai tubuh dan nyawa yang telah dititipkan Tuhan. Tak berpikir bahwa tindakan ngebutnya bisa membahayakan diri. Tarmo menggelengkan kepala. Dia menasehati saya. Dia bilang : "Kita jangan mencontoh mereka".

 

Yah, memang, itu nasehat yang baik. Andai selanjutnya dia tidak melanjutkan perkataannya :

 

"Contohlah aku. Tak pernah kulajukan sepeda motor melebihi 40km/jam. Maksimalnya ya 60an lah. Aku heran, apa sih asyiknya kebut-kebutan..? Kalau toh asyik, apa kita bisa tetap merasa asyik kalau sudah nabrak, terguling, luka-luka, cacat, atau bahkan mati..? Kita dianugerahi otak untuk berpikir. Untuk menimbang mana yang baik dan mana yang tidak baik. Yang namanya otak, seharusnya ya digunakan. Jangan cuma jadi barang pajangan. Sungguh Gie, aku heran sama teman kita itu. Betul-betul heran. Ck.." Dan dia kembali menggelengkan kepala.

 

Jujur, andai saat itu saya sedang menggenggam sebilah pisau, golok, pedang, atau gergaji, tentu sudah saya gorok leher Tarmo. Saya bunuh dia. Saya ludahi mayatnya, mutilasi tubuhnya, kumpulkan kedalam karung, bawa ke kolam ikan, lalu saya umpankan pada lele dumbo. Biar dagingnya digerogoti sampai habis. Dan saya tak perlu merasa berdosa.

 

Ah, betapa sebuah nasehat, sebijak apapun nasehat itu, terasa hampa bila meluncur dari orang yang tidak tepat.

8 komentar:

  1. gya ha ha ha....^_______________^
    yo wes..aku nunut salam marang Tarmo yo gie he he...mutiara biar di lumpur tetep mutiara lho..see the bright side-nya aja gie, sing dhowo ususe yooo...^^

    BalasHapus
  2. Insya Allah nanti daku sampaikan mbak
    Kalau nanti dia telpon dari korea
    Tapi entah kapan
    Katanya, disana, dia harus ngumpulin duit dulu buat beli pulsa

    BalasHapus
  3. satu teladan lebih baik dari pada 1000 nasehat, pernah baca kalimat ini tapi lupa di mana ya

    BalasHapus
  4. Daku pernah baca di blognya mbak fee

    BalasHapus
  5. ooo iya to? aku malah belum baca di sana. he he he kl gitu aku ikut2 an titip salam buat si Tarmo....:)

    BalasHapus
  6. yup
    nanti kalo dia telpon, daku sampaikan
    thanks

    BalasHapus