Rabu, 14 Februari 2007

Kisah Seorang Nenek

 


 


 


“Pak Batagor, tunggu...!!! Nek, Caca beli batagor ya..”


 


“Boleh cu.., beli saja. Nenek masih punya sedikit uang, sisa jual ayam kemarin.”


 


Nek Darsih, janda tua berusia delapan puluh tahun. Beliau hidup seorang diri. Caca, yang dianggapnya sebagai cucu, sebenarnya anak tetangga samping rumah. Sifatnya yang lugu, wajahnya yang riang dan senyumnya yang manis selalu mengingatkan Nek Darsih pada.....


 


Ah, sudahlah.


 


“Neekk, caca sudah beli batagor tiga bungkus. Gak papa ya nek...”


 


“Iya cu.., tidak apa-apa”


 


Nek Darsih tersenyum saat melihat Caca berlalu sambil tertawa riang, lalu menggigit sepotong batagor dan berlari sembari memainkan rambutnya yang dikepang dua. Anak kecil itu terlihat bahagia. Ah, mungkin hanya usia saja yang bisa mengingatkan kita akan indahnya masa kecil yang pernah dilewati. Lagi-lagi nek Darsih tersenyum.


 


Perlahan beliau merogoh lipatan selendang yang menutupi jarit kumalnya, akan tetapi..


 


Tunggu.., uang itu.., kenapa baru teringat sekarang..?Bukankah kemarin Yu Kaijem datang untuk meminjam uang, sebagai tambahan untuk mencukupi biaya sunatan anaknya. Dan Nek Darsih ingat betul bahwa uang yang beliau punya dipinjamkan semuanya..? Duh gusti.., kenapa kok bisa lupa..?


 


Detik berganti, waktu terus berlalu. Bapak penjual batagor tampak tidak sabar. Tapi tampaknya dia merasa segan untuk menagih Sang Nenek, kasihan. Nek Darsih pun bingung.


 


Cara.., cara.., bagaimana caranya...?


Ah, iya. Rutinitas itu.., rutinitas yang sering dilakoninya jika sedang tidak punya uang.


 


“Tunggu sebentar ya pak.., saya ambil uang dulu”


 


Beliaupun minta ijin untuk pergi sebentar lalu menuju ke warung sebelah, ke tempat ibu Sukemi, ibu Caca.


 


“Bu tadi  Caca beli batagor tiga bungkus, harganya seribu lima ratus dan belum dibayar. Itu penjualnya sudah menunggu.”


 


“Beli batagor..? Kok yang nagih nenek, bukan si penjual?”


 


“Inggih Bu. Sebenarnya tadi Caca bilang pada saya, minta dibelikan batagor dan saya sanggupi. Tapi nuwunsewu bu, ternyata saya lupa bahwa semua uang saya dipinjam Yu Kaijem.”


 


“Lho, yang beli batagor kan Caca, yang mau mbayarin kan nenek, kenapa yang ngeluarin uang harus saya..? Kenapa bukan Yu Kaijem..? Bukankah uang nenek dipinjam sama dia..? Lagipula, kenapa neneak langsung mengijinkan...? Bukankah seharusnya Nenek atau Caca minta ijin dulu sama saya..? Gimana sih..? Lagian gini ya Nek, Cari duit dari buka warung itu untungnya sedikit, tidak seberapa. Kalau sebentar-sebentar harus keluar duit buat jajan anak, kapan kami bisa menabung..? Memangnya cari duit itu gampang apa...?”


 


Ah, benar juga, sekarang cari uang memang susah. Buktinya, sang nenek pun dari hari ke hari terus saja berhutang.


 


“Ya sudah. Kalau begitu saya pinjam uang lima ribu lagi bu, sama beras setengah kilo. Beras di rumah hampir habis.”


 


“Ooh, boleh nek. Maaf kalau omongan saya menyinggung hati nenek. Tapi Nek Darsih pasti tahu kan bahwa sangat sulit untuk bertahan hidup di jaman seperti ini. Saya harap nenek maklum. Oh iya, nanti tagihannya dicatat di buku kredit ya. Dibayarnya kapan-kapan saja. Gak papa kok..”


 


“Inggih bu, matur nuwun..”


 


Nek Darsih pun melangkah pergi, menghampiri penjual batagor. Setelah membayar beliau pulang ke rumah, mungkin mau menanak nasi, mandi, atau apalah. Tak seorangpun tahu.


 


Matahari memerah jingga, burung kuntul hinggap di pucuk bambu, angin sore berhembus, menebarkan bau tanah dan sebait nyanyian kupu-kupu. Di sebuah desa yang sepi, seorang nenek sedang merenung, matanya menatap kosong pada sebingkai foto usang. Seuntai senyum mengembang di bibirnya, lalu berubah menjadi muramnya duka cita. Sore itu dia berbaring di kamarnya, merenung sambil mendekap foto anak dan cucunya. Ya, anak yang baik dan berbakti serta cucu yang lugu, dengan wajah yang riang dan senyum yang manis, seperti... Caca. Ya, mereka mati tenggelam di laut, belasan tahun lalu.


 


Dan airmatapun tumpah, membasahi pipi, menetes ke kasur, meresap, dan jatuh ditelan bumi.


------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


Di Purwokerto, di lantai dua sebuah rumah, seorang mahasiswa teknik elektro malah asik-asikan mengarang kisah ini. Sayangnya di akhir cerita dia baru berpikir :


 


“Lho, kok neneknya berhutang..? Apa nanti dia sanggup membayar..? Bukankah dia sudah tua..? Tidak bisa bekerja..?”


 


“Yup, memang. Tapi walaupun begitu dia sudah berwasiat pada Pak RT agar kelak jika meninggal nanti, tanah yang sempit dan rumah yang cukup sederhana dijual untuk membayar hutang. Sisanya diinfakkan.”


 


“Loh, kamu tahu darimana..?”


 


“Ya ngarang sajalah. Wong kisahnya saja juga karangan kok.”


 


 


 


 


 


Hikmah :




  • Kalau ruang tengah sedang dipakai untuk senam sore oleh ibu-ibu dari satu RT lebih baik segera keluar kamar, agar nanti tidak terkurung seperti saya.


  • Wah meminjamkan uang pada orang lain untuk membayar jajan anak-anak kita..? Hm, kalau dikembangkan bisa jadi bisnis bagus tuh

 


 


 


Togie de lonelie


Dibuat di purwokerto, diketik di lemahjaya, di edit di atas sofa

24 komentar:

  1. horeeee togie ganti hedsot !!!!!!!!!!!!!!!!!

    BalasHapus

  2. hahaha
    imajinasi tentang koperasi simpan pinjam di lemahjaya
    menarik juga mas!

    ayoo...wujudkan
    -tapi jangan jadi renternir ya-

    BalasHapus
  3. togie..nih
    bikin cerita sedih amat..kasihan kan nenek itu

    BalasHapus
  4. pada ganti hedsot nih ya (togie and sendu)
    ....
    nenek yang malang...kalo milih peran.. saya mo jadi caca aja deh...
    enak bisa makan batagor.

    BalasHapus
  5. Kok malah senang ndah.., harusnya dikau sedih..
    Headshot daku dulu yang manis itu
    Yang ganteng itu
    Yang tampan itu

    Dan sendu berdiri dengan gagah, diatas pintu gerbang benteng
    Bendera kemenangan berkibar disebelahnya
    Para prajurit Bersorak gembira
    Namun ada seorang ksatria yang terkapar, bangkit perlahan, lalu berjalan terseok-seok
    Sambil menyeret pedangnya yang retak dan hampir patah
    Baju zirah yang terkoyak
    Dan luka yang setengah menganga

    BalasHapus
  6. Kok malah senang ndah.., harusnya dikau sedih..
    Headshot daku dulu yang manis itu
    Yang ganteng itu
    Yang tampan itu
    Hiks...


    ***************************************************************************
    Dan sendu berdiri dengan gagah, diatas pintu gerbang benteng
    Bendera kemenangan berkibar disebelahnya
    Para prajurit Bersorak gembira
    Namun ada seorang ksatria yang terkapar, bangkit perlahan, lalu berjalan terseok-seok
    Sambil menyeret pedangnya yang retak dan hampir patah
    Baju zirah yang terkoyak
    Dan luka yang setengah menganga

    BalasHapus
  7. Itu sudah ada mas
    tapi kemaren waktu ngajuin proposal permohonan dana ke kantor pusat dan kantor cabang
    Ditolak dua-duanya

    *sedih

    BalasHapus
  8. Yaa.., kan cuma cerita ndu..
    Lagipula daku pernah nemuin pengalaman yang mirip dengan cerita ini kok
    Tapi si neneknya masih punya keluarga
    Jadi biar bagus daku dramatisir saja
    Dan masuk kategori cerita fiksi
    Bukan kisah nyata

    BalasHapus
  9. aku turut berduka cita gie...
    kalau disana ada seorang lelaki yang...
    Mengaku2 sebagai ksatria, sudah KALAH

    BalasHapus
  10. Kalau ditinjau dari segi untung rugi, saya lebih memilih ibu pemilik warung
    Btw, mbak lys headshotnya juga sudah sedikit diutak-atik kan..?
    Jadi rada hijau

    BalasHapus
  11. Koreksi ndu
    Dalam ilmu perang, mundur tidak sama dengan kalah
    Keduanya berbeda
    Toyotomi Hideyoshi saja, bisa menang setelah kehilangan sekian banyak pasukan
    Karena dia mundur sejenak
    Untuk mempersiapkan kekuatan baru

    BalasHapus
  12. Koreksi ndu
    Dalam ilmu perang, mundur tidak sama dengan kalah
    Keduanya berbeda
    Toyotomi Hideyoshi saja, bisa menang setelah kehilangan sekian banyak pasukan
    Karena dia mundur sejenak
    Untuk mempersiapkan kekuatan baru

    BalasHapus
  13. tapi Togie bukan Toyotomi Hideyoshi...
    jadi kalah..ya kalah...
    pin (absen32)...............kita menang...
    :))

    BalasHapus
  14. menang atau kalah, yang menilai adalah dewan keamanan PBB
    Bukan dikau
    Bukan pipin
    Bukan kita

    BalasHapus
  15. ?????????????????
    Efek dari kekalahan, STRESS

    BalasHapus
  16. Efek dari kesulitan???????
    Membuat kita beberapa tingkat lebih dewasa
    Dan lebih lihai menghadapi rintangan

    Mau diapain aja, nanti tetep togie pemenangnya

    BalasHapus
  17. huuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu
    kayaknya yang diatas dah bilang kalah deh
    :P
    Togie....togie..... kasihan sekali...

    BalasHapus
  18. Ndu, bukankah mudur berbeda dengan kalah..?
    Itu ada di ilmu tentang perang gerilya

    BalasHapus
  19. emang kamu pernah perang gerilya ???
    kamu tuh hidup di zaman apa sih???

    BalasHapus
  20. Tentang gerilya bisa dibaca di buku kesaksian sandera GAM (yang diculik bersama ferry siregar dll (wartawan RCTI). sayang judulnya lupa. Disitu bisa dilihat bahwa yang namanya gerilya itu penuh dengan taktik mundur dan bersembunyi

    BalasHapus
  21. dasar. emang kamu kira aku tuh penjajah...
    pakai dihadapi dengan perang gerilya..
    manusia yang aneh...
    tak kusangka efek dari kekalahan bisa separah ini
    :P

    BalasHapus
  22. TNI bukan penjajah kok ndu..
    GAM juga bukan penjajah
    So..?

    BalasHapus
  23. aku juga bukan TNI
    juga bukan GAM
    so ...???

    Gie... mending kamu jadi manusia tuh yang nrimo...
    jadi kan gak separah ini akibatnya

    BalasHapus
  24. kalo nrimo, indonesia gak akan pernah merdeka dari penjajahan belanda
    kalau nrimo, rakyat akan terus kelaparan dibawah naungan slogan gemah ripah loh jinawi toto tentrem karta raharja
    kalau nrimo, timur tengah hanya bisa pasrah sambil telanjang dada saat dijatuhi ribuan ton bom oleh amerika

    BalasHapus