Tuhan telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna. Berbekal kesempurnaan itulah maka manusia diangkat sebagai khalifah di muka bumi. Sebab mereka bisa mengatur dan menguasai alam raya ini. Dengan hati, mereka bisa bertindak sesuai dengan apa yang Dia perintahkan. Dengan otak, mereka bisa menembus sampai dasar bumi, menyelami kedalaman laut, serta menjelajah angkasa raya. Sayang, tak semua manusia mampu (atau sedikitnya, berusaha agar mampu) memegang amanah yang super-berat itu. Dua orang diantaranya adalah saya dan pipin.
Telah dikatakan bahwa manusia sanggup menjelajahi seisi bumi atau terbang melintasi cakrawala. Namun jangankan melakukan semua itu, untuk mengetahui seluk-beluk jalanan kota jogja pun kami tak mampu. Seperti bukan khalifah, kami dihinggapi oleh kebingungan, melintasi berbagai kenyasaran, hingga secara terus-menerus tanpa henti dilanda ketersesatan.
Memang, kami tak menemui masalah saat berangkat dari Purwokerto menuju Jogja. Bahkan kami enjoy-enjoy saja saat mencari palang penunjuk arah menuju keraton. Agar dari situ kami tak mengalami kesulitan untuk pergi ke krapyak, rumah pakde saya. Namun, pagi harinya, saat kami harus pergi mencari komponen elektronik, belanja buku, main ke kost temannya pipin, serta ke warung kebab (buat ketemu sama mbak mona), barulah kami dilanda sindrom "mbingunginus nyasarensis" (penyakit bingung berakibat nyasar).
Ceritanya begini, Kami berangkat jam sepuluh menuju Jalan Mangkubumi (dekat malioboro) untuk membeli IC dan LCD-nya pipin, tapi nyasar dan baru sampai jam sebelas. Dari situ kami berangkat menuju Kota Gede (ke kost temennya pipin), nyasar lagi, tiba jam setengah satu. Pukul dua siang kami ke shopping (untuk beli buku), nyasar sebentar, tiba jam setengah tiga. Kemudian cabut ke warung kebab di perempatan kentungan (ringroad utara), nyasar selama hampir dua jam. Sebab yang kami cari adalah perempatan yang ditengahnya ada tulisan “INI KENTUNGAN”, betapa tololnya. Dan sepulangnya, lagi-lagi kami tersesat hingga baru tiba di kraprak pukul lima sore.
Sialnya, biarpun kami sudah puas tersesat, dikenyangkan oleh bingung, namun saat malamnya kembali menuju perempatan kentungan untuk makan kebab dan ketemuan sama mbak mona, lagi-lagi kami nyasar. Untung saja nyasarnya tidak lama, sebab sebentar kemudian kami sudah tiba disana. Berdiri, duduk menunggu, lalu makan kebab bersama.
Lalu, kalau memang nyasar, kenapa tidak bertanya pada orang lain..?
Lho, siapa bilang kami tidak nanya..? Tapi sebelumnya, alangkah baiknya saya bercerita tentang kejadian bertahun lalu, saat kami juga tersesat di jogja.
Dulu saat nyasar, kami pernah bertanya ke berbagai orang, dengan bermacam pekerjaannya masing-masing. Namun sebagian besar diantara mereka hanya membuat kami bertambah bingung. Ada pria kaya berpakaian necis yang walaupun belum sempat kami tanya namun sudah langsung ngeloyor pergi. Ada mahasiswa bertampang pintar yang merasa terganggu oleh ke-tersesat-an kami. Ada mbak-mbak cantik yang, walaupun memberitahu arah dengan tersenyum manis, namun ada rasa terpaksa dibalik senyumnya itu. Ada orang yang seenaknya menunjukkan arah hingga membuat kami tambah tersesat. Bahkan ada pengendara sepeda motor di perempatan kota-gede yang berlagak tahu jalan lalu berpikir dan ikut bingung hingga lampu merah berganti hijau, berganti merah, berganti hijau lagi, lalu masih tetap berpikir sampai akhirnya dia kami tinggal pergi. Saat itu hanya ada satu yang menjawab dengan memuaskan, yaitu para tukang becak.
Oleh sebab itu, kali ini, kami lebih suka bertanya pada abang tukang becak. Sebab mereka berbeda. Sebagai tukang becak yang bertugas mengantar penumpang, biasanya mereka lebih tahu jalan. Dan sebagai orang kecil dimana orang kecil biasanya ramah, mereka memberi tahu arah dengan ramah pula. Ibarat pelita dalam gelapnya malam, merekalah sang penunjuk jalan tatkala kami tersesat di ruwetnya jogja. Dengan jelas, tegas, dan lugas, mereka memberitahu arah mana yang harus kami tempuh untuk sampai ke tujuan. Dengan ramah dan penuh perhatian, mereka menatap mata kami, mengamati wajah bingung kami, dan terus memberi penjelasan sampai wajah kami tidak bingung lagi. Dengan itu, kami hampir tidak perlu takut tersesat lagi. Sebab bagi kami yang hobinya tersesat ini, nyasar kapanpun, atau dimanapun, selama masih ada tukang becak di muka bumi, kami masih punya harapan. Masih bisa bertanya pada abang tukang becak-sang penunjuk jalan.
Bentar Gie, kalau bisa bertanya pada abang tukang becak yang ramah dan tahu arah, kok masih tetep nyasar..?
Oo, itu ada sebabnya. Mereka adalah harapan terakhir kami. Ibarat senjata pamungkas yang hanya digunakan saat tidak ada lagi yang bisa digunakan. Oleh sebab itu, walaupun kami nyasar entah dimana sehingga seolah-olah tak ada bedanya kami berada di yogya, eropa, cina, afrika atau amerika sebab bagi kami, sama-sama sama-sama membingungkannya, namun selama belum patah harapan, kami belum akan bertanya pada abang tukang becak. Jadi wajar kalau akhirnya kami tetap nyasar, wajar pula kalau nyasarnya pun lama.
Kalau ke jln K.S Tubun jangan tanya ke tukang becak pk mesin motor gie ntar kya kmrn?
BalasHapusok!
oooo...sebab tukang becak bisa nyampe ke kebab :D
BalasHapusGie... maaf ya.... daku waktu malam itu gak bisa ketemuan ma togie..
BalasHapushabis bekam,. bro... disuruh istirahat... maaf ya...
Iya, ampe ilang duit 5000 perak
BalasHapusTapi gak papa lah pin
Diikhlasin ajah
Anggep sebagai Amal
Biar dapet pahala
Yup, betuuull...
BalasHapusWalaupun tentu saja, sebab utamanya tetep karena Allah mengijinkan kami agar bisa sampai kesana
*Tapi pulangnya gak nyasar2 amat loh mbak. Sebab jam 9 sudah sampai di alun-alun selatan keraton
Gak papa mbak..
BalasHapusMoga-moga cepet sembuh ya..
Amiin
hobby kok sama... "nyasar"
BalasHapusHahaha...
BalasHapusUdah di jakarta..?