Baru saja, aku melihatmu termenung menatap langit. Bola matamu kosong tanpa ekspresi. Senyummu hilang, lesung pipimu bersembunyi. Satu teka-teki terbit di otakku. Tentang apa yang sedang kau pikirkan, yang membuatmu gelisah.
Kucoba untuk menerka, mereka-reka, tapi anganku hampa. Dari dulu, yang kutahu hanya senyummu, sikapmu, sifatmu. Aku tak tahu apa saja yang kau alami hari ini, hari kemarin, atau kemarinnya lagi. Kita hanya bicara lewat mata. Padahal terkadang, mata tak sanggup menceritakan segalanya. Karena itu aku sama sekali tak sanggup berkhayal tentang masalah yang sedang kau hadapi.
Bicara, ngobrol, diskusi. Tadinya kupikir itu tak perlu. Tadinya kupikir, cukuplah bila aku mencintaimu. Tapi perkiraanku salah. Cinta tidak bisa berjalan satu arah. Cinta adalah hubungan timbal balik. Saling memberi, saling menerima. Cinta adalah dimana kita saling berbagi. Sedih, duka, tangis atau tawa.
Aku ingin melangkah menghampirimu, tanyakan alasanmu merenung, lalu berusaha untuk menghibur. Membuatmu kembali tersenyum, bahkan tertawa. Tapi aku tak bisa. Ada banyak hal yang memaksaku untuk tetap mematung, membisu, mengunci mulut rapat-rapat.
Ah, sudahlah. Biar saja cinta ini terselimut kabut. Aku tak takut pada misteri, biar kupecahkan sendiri teka-teki ini. Sedangkan kau, tetaplah merenung. Adukan keluh-kesahmu pada biru langit. Berpikir akan membuatmu bertambah dewasa. Masalah rumit bisa mempermatang kemampuan kita.
***
“Mas..”
“Yup, ada apa..?” Narto membuyarkan lamunanku. Dari seluruh kuli renovasi mushalla, dialah yang paling sering membuatku tak bisa sepenuhnya menikmati sepi.
“Harpleknya sudah selesai di cat. Semuanya, tanpa sisa”
“Yah, baguslah” Jawabku. Di susunan kepanitiaan sebenarnya aku adalah sekretaris. Di kampus, aku mahasiswa teknik. Tapi disini, aku malah ditempatkan menjadi mandor. Mengawasi tiga remaja error yang biarpun rajin tapi ya itu tadi, sering error.
“Catnya masih sisa kan..? Mo tak pake buat mempertebal cat yang kemaren. Coz warnanya gak rata”
“Masih mas, tapi sudah tak habisin buat ngecat pohon jambu”
Tuh, apa kubilang. Error kan..?
“Lho, bukannya kemaren udah tak ultimatum agar catnya diirit-irit..? Bukannya dah tak kasih instruksi bahwa harpleknya harus di cat lagi..? Kok catnya malah dihabisin..?”
“Ah, gampanglah mas. Nanti beli lagi”
“Beli..? Pake apa..? Duit darimana..? Minta moyang kamu..?”
“Iya kali”
GGRRHHH…!!! Andai seorang mandor diijinkan mengiris kuping anak buahnya.
Rumah kosong
Saat mengecat harplek untuk atap mushalla
Mas ceritamu mending diikutin di www.kemudian.com aja.........ato sampean wis melu ?
BalasHapushehehehhe Togie Togie...mlamun terus...ntar rambah kurus loh Gie!
BalasHapuswekekek
hahahaha...
BalasHapusBelum bang, makasih link nya. Situsnya bagus
BalasHapusAnu, pinginnya sih tulisannya diterbitin jadi buku aja. Nanti hasilnya disumbangkan buat renovasi mushalla. Ternyata dananya masih kurang banyak je, 20 juta lebih.
Kabar gembira :
BalasHapusBerat badan daku naik satu kilo mbak...
Pokoknya rencananya mau tak naikin terus sampai mendekati angka enam puluh
*Sekarang masih 47
^_^
BalasHapus