Kamis, 12 Juni 2008

Pengecut

Tanpa disadari, sejak kecil, kita telah dididik menjadi seorang pengecut. Atas nama islam, kita disuruh untuk selalu memaafkan orang lain. Tak peduli bahwa bukan kita yang salah. Tak peduli separah apa kita didzolimi.

Dulu, ketika masih sering mengaji di mushalla, Pak ustadz melarang kami berkelahi. Biarpun berkali-kali dinakali, dijahili, dijahati, kami selalu saja mengalah. Mengikhlaskan diri. Meniru sikap rasulullah yang selalu bersabar menghadapi penindasan di Makkah, melupakan perlawanan beliau saat sudah hijrah ke Madinah. Secara tidak langsung, kami diajari bahwa muslim yang baik adalah mereka yang tidak pernah melawan dan membela diri. Padahal terkadang, kita harus melawan demi mempertahankan prinsip.

Pernah seorang teman dipukul dan ditendang-tendang dengan sebegitu meriahnya. Walau dia tak bersalah, namun dia tidak punya keberanian untuk melawan. Dia hanya berdiam diri saat menerima semua perlakuan itu. Sinar matanya memohon agar ditolong tapi dia tak mau menolong dirinya sendiri. Tak berpikir bahwa bila ada yang menolong pun, si penolong mungkin ikut dihajar juga. Karena itulah, tak satupun yang berminat untuk membelanya. Sebab dia adalah mahluk manja. Dia tidak pelu dilindungi sebab perlindungan yang kita berikan hanya akan membuatnya bertambah manja.

Untunglah, ada yang masih punya sifat pemberani. Pernah seorang teman terdampar diantara sekumpulan orang mabok. Berbeda dengan daku dimana tak satupun penghuni hutan bambu berani menawari minum sebab hal itu sama saja dengan membuat Tarmo murka, teman daku tak punya apapun yang bisa diandalkan. Dia ditawari minum. Saat tidak mau, dia diancam. Ketika tetap tidak mau, kerah bajunya dicengkeram dan hampir dipukuli. Tapi hal itu tak sedikitpun menyurutkan semangatnya untuk terus berkata TIDAK. Sebab dia lebih memilih babak belur atau kehilangan teman dibanding ikut meminum khamr.

Daku salut kepadanya. Daku bertanya darimana asal keberanian itu. Tapi dia juga tak tahu. Dia cuma bilang begini : “Awalnya kita memang merasa takut. Namun setelah mengucapkan kata TIDAK, rasa takut itu sirna. Hati kita jadi diliputi keberanian yang entah datang darimana. Yang membuat kita mampu untuk terus berkata TIDAK apapun resikonya. Sebab memang itu yang harus kita lakukan.”

Keberanian. Itulah sebabnya daku jatuh hati kepada Rasulullah, Abubakar, Umar, Utsman, Ali,  Abu Dujanah, Abu Dzar Al Ghifari, Salman Al Farisi, dan lainnya. Sebab mereka berani berkata TIDAK ketika harus berkata TIDAK.

Daku harap, manusia seperti merekalah yang kelak memimpin bangsa dan agama ini. Sudah terlalu banyak pengecut yang menjadi pemimpin. Mengajarkan ideologi kepengecutan pada pengikutnya. Melegalkan penindasan. Menghambakan diri pada pihak yang secara ekonomi dan militer lebih kuat.

 

Kesimpulan : Ayo bermain layang-layang

6 komentar:

  1. terimakasih banyak mbak

    pakabar..?
    salam buat sang buah hati

    BalasHapus
  2. bagus sekali mas
    terima kasih untuk pelajarannya
    berguna sekali
    dan mampu memberi semanga BERKATA TIDAK untuk hal yang seharusnya TIDAK kita kerjakan,.

    DC

    BalasHapus
  3. Islam emang keren kannn, da kalanya kita pemaaf, da kalanya kita pemberani, da kalanya kita memulai menegur hal yg ga bener.......... tergantung kemampuan kita ya mass....

    selamat melantangkan TIDAK untuk banyak hal yang TIDAK ISLAMI....

    oe mas salam buat Tarmo yaa.........;))

    BalasHapus
  4. Yup
    Dan sebaiknya dipelajari secara keseluruhan
    Jangan hanya pemaaf-pemaaf dan menyerah-menyerahnya saja

    BalasHapus
  5. "Di bumi anda terkandung kekayaan alam yang melimpah ruah. Biarkan kami mengolahnya". Kata amerika

    "Go to Hell"
    Begitu aku menjawabnya

    BalasHapus