Persahabatan
Dipahami
Dipelajari
Persahabatan
Adalah masalah hati
Keterkaitan rasa
Serta emosi
Persahabatan
Tak harus baik atau terpuji
Keburukan pun bisa
Diaransemen menjadi simphoni indah
Yang mengiringi jalinan nasib kita
Bersama sahabat
"Mo.."
Dibawah sinar bohlam, seorang pria kurus menyapa sohibnya yang sedang duduk sambil menyalakan rokok. Angin malam berhembus menembus tebalnya jaket, kerlip bintang tertutup kelamnya mendung, hujan rintik-rintik mulai turun membasahi tanah.
"Kenapa tak kau balas..?" Lanjutnya.
Si kurus menatap jari tangan Tarmo yang bergetar hebat layaknya sedang menggigil. Bukan.., bukan karena udara dingin. Tarmo terlalu tangguh untuk ditakhlukkan oleh panasnya gurun maupun dinginnya badai salju.
"Tak seharusnya dia berbuat seperti itu..!!"
Persahabatan kedua orang itu sudah terdengar sampai ke pelosok hutan bambu. Mereka selalu bersama, tak terpisahkan. Saling mengisi, saling melengkapi. Bila sedang duduk mengobrol dengan mata menatap langit, tak satu warga pun yang berani mengganggu. Sebab saat itu mereka sedang menjalin komunikasi dengan alam semesta. Merenungi hidup dan kehidupan, menghayati, memikirkan, lalu menuangkan pemikiran tersebut menjadi untaian kata.
"Keterlaluan..!!"
Namun seorang pemuda berani mengganggu. Bukan hanya mengganggu, dia sudah kurang ajar. Tanpa memberi aba-aba, dia mendekati dua sahabat yang sedang merenung, membekap Tarmo dari belakang, menyeretnya ke jalan aspal, lalu membantingnya. Dia memelintir tangan Tarmo hingga terluka dan meringis kesakitan. Membuat sendi pinggangnya seakan lepas, membuat tulang rusuknya terasa patah. Bukannya menyesal atau merasa bersalah, dia malah tertawa terbahak-bahak lalu pergi meninggalkan Tarmo yang masih termangu ditengah jalan. Berdiri dengan muka tertunduk. Berusaha menetralkan rasa marah yang menggelegak didalam dada. Usaha yang amat sulit dan butuh waktu lama. Sebab ketika mendudukkan tubuhnya kembali disamping si kurus, rasa marah itu masih bersisa.
"Dia harus diberi peringatan Mo, biar insyaf. Lampiaskan kemarahanmu. Beritahu dia makna dari rasa takut"
Benar. Ketakutan, tirani, intimidasi, terkadang bisa menjadi membuat orang lain menurut pada kita. Kekerasan adalah obat mujarab untuk mengatasi kekerasan serupa. Apalagi bila yang menjadi tokoh utamanya adalah seorang Tarmo.
"Nggak" Tapi Tarmo menggelengkan kepalanya.
"Biar Gie, diamkan saja." Tarmo melanjutkan kata-katanya
"Apa..? Didiamkan..?" Semoga dia salah bicara.
Tapi sayang, selanjutnya, dengan jari tangan yang masih bergetar Tarmo menjawab : "Ya..!!"
Seketika, gerimis berubah menjadi hujan lebat. Kilatan petir menghantui langit. Suara gemuruh menerpa telinga. Kedua sahabat itu saling berpandangan, berjuta kisah yang telah belasan tahun terekam dalam memori mereka tumpah dalam sekejap.
The Memories
Si kurus, yang sekarang bertubuh kurus, dari dulupun sebenarnya sudah kurus. Berbekal kekurusan itu dia mengikhlaskan diri untuk dijahili oleh teman sekelas maupun sesekolahan. Entah oleh siswa-preman paling ditakuti maupun siswa bukan preman yang karena tubuhnya lebih besar maka tetap harus ditakuti. Tapi apa dinyana, dia tak perlu repot-repot mengikhlaskan diri sebab ternyata, Tarmo lebih ditakuti oleh siswa paling preman sekalipun.
Tunggu, jangan salah paham. Tarmo bukan siswa badung, bengal, atau semacamnya. Dia hanya siswa biasa yang sayangnya, sedikit gila. Dia tidak punya rasa takut. Omelan guru dianggapnya nasehat, hukuman dianggap sebagai sebentuk kasih sayang, bahkan penolakan para gadis diartikan bahwa dia lebih cocok berperan sebagai sahabat serta pelindung kaum hawa dibanding sebagai pacar. Itulah Tarmo. Dia tidak suka cari ribut apalagi sampai berkelahi. Dia hanya terobsesi untuk menggilakan diri. Dan kegilaan itu membuat siswa lain tak berani membuat masalah dengannya.
Sedangkan si kurus..? Dia hanya sesosok manusia yang kisah hidupnya tak mungkin tertuang dalam buku sejarah. Dia tokoh tidak penting yang pantas untuk diacuhkan. Tapi entah kenapa Tarmo begitu melindunginya. Walau Tarmo lebih suka mengejar-ngejar para siswi dan membuat mereka berlari ketakutan daripada menolong siswa lain yang sedang dipalak, tapi bila yang dipalak adalah si kurus niscaya dia langsung menghentikan kejarannya dan ganti mengejar-ngejar si pemalak.
Bukan hanya itu. Biarpun Tarmo (maaf) miskin dan jarang diberi uang saku namun dia hobi mentraktir si kurus tanpa pernah mau balas ditraktir. Dia sering membeli makanan untuk si kurus walau dia sendiri sedang kelaparan. Bahkan saat membeli es serut tapi hanya punya duit seratus perak, dia lebih suka membeli es separoh harga lalu membaginya dengan si kurus daripada mengajak patungan.
Dia selalu melakukan apapun untuk si kurus. Bila hujan turun, dia meminjamkan mantelnya sedangkan dia rela hujan-hujanan. Bila si kurus dinakali, dialah yang babak belur akibat berkelahi sedangkan si kurus disuruh lari. Bila si kurus main sampai sore dan diomeli ibunya, dia menawarkan diri untuk menjadi pihak yang patut disalahkan. Saat nyolong tebu dan dikejar-kejar pak mandor, dia lari ke arah yang berbeda dengan si kurus agar dialah yang dikejar. Dan itu semua dilakukan tanpa mengharap balasan. Satu-satunya permohonan yang pernah dia ucapkan adalah ketika minta diajari pelajaran matematika di hari-hari terakhir menjelang ebtanas. Itupun percuma sebab gara-gara terlalu sering membolos maka sepulang sekolah dia selalu dihukum untuk belajar sendiri di ruang guru.
Alur yang sama terus berlanjut sampai mereka dewasa dan berumur duapuluh tahun lebih. Tak ada yang berani mengganggu si kurus karena itu berarti juga mengganggu Tarmo. Bahkan ketika kembali dari pekerjaannya sebagai TKI dan duit yang dikumpulkan dengan susah payah sudah habis, dia tetap tidak mau ditraktir. Dia malah mendaftar jadi TKI lagi agar bisa membeli ginseng biar si kurus jadi sehat dan tidak kurus lagi. Membelikan laptop agar si kurus bisa melek IT. Mengumpulkan modal untuk me...
Ah.., cukup..!!
Tarmo sudah melakukan segalanya untuk si kurus. Sekarang saatnya dia melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri
"Mo, kau tahu..?"
Si kurus mengeluarkan jurus terakhir. Tarmo harus diberitahu detail kedzaliman yang selama ini terjadi. Tentang penderitaan para korban.
"Kemarin ada gadis dari RT sebelah yang main kesini. Dia memakai rok dan rok itu, dengan semena-mena ditarik keatas hingga celana dalamnya kelihatan. Tak cukup sampai disitu, bahkan (maaf) pantatnya pun ditendang dari belakang. Hal itu dilakukan berulangkali hingga kemudian, sejak beberapa hari ini, gadis itu tidak pernah kesini lagi."
"Lalu si X yang bertubuh kecil. Dia diangkat tinggi-tinggi lalu tulang ekornya dihantamkan ke tegel"
"Juga si Y yang perutnya dipukul sampai hampir muntah, si Z yang ditindih hingga sesak nafas, bahkan pacarnya sendiri juga sering ditampar. Dan semua itu dia anggap sebagai bahan bercanda yang menyenangkan..? Sadarlah Mo. Dimana rasa kesetiakawananmu..?Asal tahu saja. Mereka marah, mereka ingin melawan tapi tidak berani. Mereka kalah bodi. Seharusnya kamu mewakili aspirasi mereka. Mengungkapkan suara hati mereka. Jangan hanya diam."
Mendengar hal itu, tangan Tarmo yang tadinya berangsur tenang kini menggigil kembali. Bahkan lebih hebat. Dia menyelipkan rokok ke sela bibirnya, menghisap lalu menghembuskannya. Asap putih mengepul acak dari sela bibir yang bergetar. Emosinya campur aduk. Hal itu berlangsung lama hingga getaran tangannya berhenti.
"Diam..?" Akhirnya Tarmo kembali bersuara.
"Jujur kuakui. Dibekap dan dibanting-banting seperti tadi, rasanya memang sakit. Namun sesakit apapun tubuh ini, hatiku terasa jauh lebih sakit lagi. Aku jadi ingin membalas."
"Lalu ke…"
Si kurus tak bisa melanjutkan kata-katanya. Mulutnya terasa terkunci ketika melihat Tarmo menghisap rokoknya tuk terakhir kali, menghirupnya dalam-dalam, meracuni paru-paru, lalu menghembuskan asapnya dalam hitam malam. Sinar matanya sudah kembali seperti semula. Seperti masa kecil dulu. Dengan mata itu dia balas menatap si kurus. Dengan mata seperti itu pula kemudian dia berucap :
Selanjutnya hanya ada bisu. Hujan sudah mereda. Bulan menyembul dari balik awan. Segerombol kampret kembali beterbangan. Beberapa bintang tampak seperti jerawat di wajah langit. Si kurus melihat punggung tegap Tarmo dari belakang ketika Tarmo kembali ke rumahnya di pedalaman hutan bambu. Selama ini manusia aneh itu telah melakukan banyak hal untuk si kurus. Dan sekaranglah saat untuk membalasnya.
*Dua minggu setelah hari H
- Mata pencaharian si pemuda hampir bangkrut karena si kurus mengajak teman-teman (yang pernah menjadi korban) untuk melakukan aksi boikot
- Si pemuda hampir putus dengan pacar gara-gara ada pihak ketiga dimana pihak ketiga tersebut didukung habis-habisan
- Si pemuda dijauhi oleh warga karena si kurus mengajak mereka bersikap tegas dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah
- Oleh penduduk hutan bambu, pemuda itu dianggap sebagai manusia durhaka
- Akibat membuat resah warga, si pemuda dibenci oleh keluarganya sendiri
- Ditambah dengan berbagai masalah lain, sekarang si pemuda menjadi perokok berat dengan muka depresi. Yang sering mondar-mandir sendirian keliling kampung walau jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga dinihari. Yang entah kenapa, sering tiba-tiba berteriak "HUWAAAA..!!!", lalu tiba-tiba pula tertawa : "HAHAHAHA…!!!"
Tapi itu belum cukup. Si kurus takkan berhenti sebelum pemuda itu merasakan apa yang Tarmo rasa. Sebelum melihat jari tanggannya bergetar hebat seperti yang Tarmo alami. Sebelum meminta maaf pada semua orang yang pernah dianiaya terutama pada beberapa gadis yang sering disingkap rok-nya. Sebelum putus dengan pacarnya agar pacar tersebut bisa berpacaran dengan pria lain yang tidak suka menempeleng. Sebelum merubah sifat dan sikapnya. Sebelum si kurus merasa bahwa dia telah melakukan sesuatu untuk Tarmo.
waduh....panjang banget ceritanya, ntar deh balik lagi....^_^
BalasHapuspuisinya bagus sekali
BalasHapusterima kasih sahabat :)
dc
Mau kemana mbak..?
BalasHapusBoleh ikut..?
Mo...
BalasHapusna ?
:D
Hihi..
BalasHapusPakabar mbak..?