Saya suka makan masakan padang. Beberapa teman teknik juga suka masakan padang. Kami selalu makan siang di rumah makan padang dekat kampus. Bumbunya, kuahnya, dagingnya, amat menggugah selera. Hingga lama-lama kami ketagihan untuk selalu makan disana. Ibarat kata, bagi kami, makan masakan padang menjadi rutinitas yang tidak boleh dilewatkan.
Sayangnya, suatu hari harga masakan padang mengalami kenaikan. Tentu saja kami protes. Kenapa..? Karena sebagai mahasiswa, uang saku kami amat terbatas. tidak cukup untuk membeli masakan padang kalau harganya naik. Memang, kami bisa saja mencari tambahan uang dari kerja sambilan, tapi kami tidak mau repot. Waktu kami sudah habis oleh praktikum dan setumpuk tugas kuliah. Dan walaupun ada beberapa diantara kami yang sebenarnya punya waktu luang karena hanya mengambil beberapa SKS, dia pun ikut-ikutan sibuk. Lho, sibuk apa..? Ya sibuk untuk berpura-pura sibuk, agar terlihat sesibuk mahasiswa lain yang memang sedang sibuk.
Karena itulah, kami sepakat untuk melakukan demonstrasi besar-besaran ke rumah makan padang dekat kampus. Berbagai spanduk dan poster kami usung selama demo. Bunyinya cukup sangar dan bikin merinding : "Turunkan Harga Masakan Padang", "Kami tidak bisa hidup tanpa masakan padang", "Menaikkan harga masakan padang berarti menindas rakyat kecil". Dan berhubung demo yang kami lakukan tidak diindahkan oleh pemilik rumah makan, akhirnya kami bertindak anarkis. Kami mencoret-coret taplak meja, melubangi panci, membanting sendok, bahkan sempat pula mencomot remah-remah rendang dan paru goreng yang tersisa diatas wajan lalu memasukannya ke mulut - HUP..!!
Melihat hal itu, sang pemilik rumah makan akhirnya sudi turun tangan. Beliau mengajak kami berdiskusi. Beliau menjelaskan bahwa untuk membuat satu porsi masakan padang, dibutuhkan modal sebanyak enam ribu rupiah. Tapi masakan tersebut dijual kepada kami seharga empat ribu limaratus. Jadi kalau dihitung, untuk setiap porsinya beliau menderita kerugian sebanyak duaribu limaratus perak. Selain itu, beliau juga berkata bahwa alasan kenapa dulu makanan disana dijual dengan harga murah adalah karena beliau merasa prihatin terhadap nasib kami, para maniak masakan padang. Beliau tidak mau kami merana karena tidak bisa makan masakan padang, karena itulah beliau pasrah menderita kerugian. Demi kami.
Tapi masalahnya, kalau harga tersebut dipertahankan, hampir bisa dipastikan bahwa tidak lama lagi beliau akan bangkrut. Sebagai bos rumah makan padang, beliau butuh banyak uang untuk membeli bahan, menggaji pekerja, membayar transportasi, membayar perbaikan kompor dan panci, serta biaya lain. Jadi beliau memutuskan untuk menaikkan harga. Tidak untung ya tidak apa-apa, cukup impas sajalah. Dijualnya sesuai dengan harga produksi.
Di akhir diskusi, beliau menambahkan bahwa setelah berkonsultasi kepada para ahli, maka beliau menyimpulkan bahwa kenaikan harga yang beliau lakukan adalah suatu hal yang wajar. Sedangkan kami, kalau memang tidak punya uang, toh masih bisa mengkonsumsi makanan selain masakan padang..? Ada nasi rames seharga duaribu limaratus (pake telor goreng), ada gado-gado (duaribu perak), bahkan kalau perlu silahkan beli mie instan saja (delapanratus lima puluh rupiah). Kalau sudah punya uang, barulah kami bisa makan lagi disana.
Ah, pandangan yang picik. Sebab bagi kami, makan bukanlah sekedar makan. Makan adalah urusan selera, tatacara, dan kebiasaan. Memang, dulu kami biasa makan seadanya. Kalau ada nasi ya dicomot, ada ubi ya diembat, bahkan kerap kali kami berpuasa. Bukan karena ajaran agama, tapi karena tidak ada makanan. Tapi itu kan dulu. Sekarang keadaannya sudah berbeda.
Sebabnya..? Karena bos pemilik rumah makan dekat kampus telah mengenalkan masakan padang kepada kami. Beliau sengaja menjual masakan padang sesuai dengan harga yang mampu kami beli. Oleh karena itu, makan masakan padang yang semula adalah hobi, berubah menjadi kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Sehingga bagi kami, berhenti atau mengurangi konsumsi masakan padang berarti malapetaka.
Tapi berhubung duit yang kami punya amat minim, maka harga masakan padang tidak boleh dinaikkan. Kalau toh harus naik, maka si Bos pemilik rumah makan harus memberi kami uang. Lho, bukankah kasihan si Bos..? Memang, tapi kami tak peduli. Pokoknya tak ada makanan selain masakan padang, tak ada hari tanpa masakan padang. Siapapun yang menghalangi kami akan kami tendang. Kami hajar, kami buang ke selokan. Entah itu si Bos, dia, mereka, bahkan anda.
Hidup masakan padang..!! hidup masakan padang..!! hidup masakan padang..!!
Purwokerto, dinihari
Saat mendengar obrolan bapak-bapak yang melayat ke rumah si gadis manis dari RT sebelah
Rabu, 29 Agustus 2007
[Kritik] Masyarakat Manja - semoga nyambung
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Wooo.... sampe segitunya kecanduan masakan padang :p
BalasHapus*saatnya berganti selera* :D
BalasHapuswekekeke
mahasiswa manja = mandi jarang
tapi emang enak masakan padang bro
apalagi yang ngelayanin gadis rt sebelah
pasti mak nyus
wekekekek....hidup masakan padang seperti gudeg dan bakpia (lho??)
kenapa bisa naik, krn skr harga cabe khan naik alias semakin mahal
BalasHapusemang mau cabe nya diganti kecap? ;p
beneran tuh ron??? mau yang ngelayanin gadis rt sebelah yang udah dikubur? XD
BalasHapusnyambung??? hehehe....
BalasHapuscek cek cek segitunya.... ga da masakan padang ga mati kan...???
BalasHapusMengganti minyak tanah atau gas elpiji dengan kayubakar..? :P
BalasHapusWah, dia kan masih SMP bang, g boleh kerja di rumahmakan padang
BalasHapusMbok nanti jadi polemik, gara2 mempekerjakan gadis manis dibawah umur
:P
Yup, mangkane, kl emang harus naik kan mending di OK kan saja
BalasHapusSelama naiknya masih wajar
Yang dikubur bukan si gadis manis itu bang
BalasHapustapi ortu dia
karena itulah biarpun bernuansa gelap, tulisan daku gak sampai ada nangis2nya
Hahaha, syukurlah...
BalasHapus:P
Yaah, ga da nasi msh ada ubi kan..?
BalasHapusg da minyak masih ada kayu bakar..?
g da bensin masih ada sepeda..?
yup betoelllll... tpi dadi rodo nelangsa...
BalasHapusDa....
BalasHapusNasi kuning tiga....( nggak ada lo gak rame)
*alternatif terakhir buat makan nasi padang*
ada- ada ajah...
@Mbak fee
BalasHapusYaah, itu dia masalahnya mbak
Kita bukannya gak bisa, tapi gak mau
Sebab udah terbiasa hidup enak
Jadi, kalo dipaksa untuk kembali nelangsa
Kitanya yang protes
Padahal, kalo jaman dulu siih..., nasi kek, ubi kek, apa kek..
Ya nikmat-nikmat saja tuh
Yang penting kan karbohidratnya ada
itu kata bapak2 di RT sebelah lho, mereka kan ngalamin sendiri
@Bang Yondi
BalasHapusDi rumah makan padang sini gak ada nasi kucing bang
Adanya ya menu biasa, empat ribu limaratus perak per porsi
Tapi lumayan enak loh
Walopun katanya, gak seenak masakan padang di kota padang
Bang, kalo nanti wisata ke purwokerto, bawa makanan padang ya..?
^_^
hidup enak kalo hatinya ga bahagia yo sama saja...
BalasHapusbanyak2 bersyukur aja intinya kali ya... ???
iya, bapak-bapak di rt sebelah akhirnya juga bilang seperti itu
BalasHapusplus satu lagi, kalo mo protes ato demo harusnya liat2 sikon
tapi daku gak tau maksudnya apa, coz daku keburu pulang
dah subuh