
Tunggu Gie.., tidak pernah sekalipun..? Eh, sebenarnya pernah ding, tapi cuma satu kali. Itu pun hanya seminggu lamanya. Dengan alasan yang sama sekali tak bisa dicerna Logika. Tapi biarpun begitu, pertengkaran tersebut tidak bisa dianggap remeh. Sebab saking marahnya kami jadi saling menghina. Tak lagi bertegur sapa, selalu menghindar jika bertatap muka.
Sebenarnya penyebab pertengkaran itu amatlah sederhana. Dulu kami pernah berjanji untuk berkelahi. Saling baku hantam dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki. Kegiatan yang sudah beberapa kali dilakukan namun hasilnya tetap saja seri. Tak ada yang menang, tak ada yang kalah. Nah, tetapi secara sepihak saya batalkan rencana itu. Jadi wajar kalau dia marah.
Begitulah. Singkat cerita, pertengkaran itu kami isi dengan saling mencaci maki secara sembunyi-sembunyi. Entah kenapa saya merasa amat bahagia melihat dia menderita, dan akan bermuram durja jika melihat dia sedang puas tertawa. Kami berlomba untuk saling membeberkan aib lawan. Saya mengadukan perbuatan dia yang dulu saat SMP selalu mengajak membolos les komputer dan latihan pramuka. Dia juga balik bercerita tentang kelakuan saya yang hanya mau ditraktir tanpa pernah membalasnya. Disaat sibukpun terkadang kami masih menyempatkan diri untuk saling membenci, memikirkan cara untuk saling menjatuhkan. Terkadang saya berdoa agar dia ditimpa kemalangan. Entah itu salah potong rambut, salah makan, ban kempes di jalan, atau kemalangan yang lain. Intinya, penderitaan dia adalah kebahagiaan buat saya.
Lho, benarkah segawat itu..? Saya kira iya. Sebab para penduduk kampung pun dibuat heran oleh kami. Mereka seakan tak percaya pada apa yang sedang terjadi. Sepasang sahabat yang berjenis kelamin laki-laki, yang dari dulu telihat akrab sekali, hingga ada yang berkata bahwa andai saja kami ini berlawanan jenis pasti sudah dijodohkan menjadi suami istri tiba-tiba saja terlibat dalam perang dingin yang hebat. Dua RT yang bertetangga, yaitu RT saya dan RT nya dia diliputi suasana mencekam, seakan sedang menghadapi teror dalam pekatnya malam.
Untunglah seminggu kemudian perang dingin tersebut mencair dengan mudahnya. Mas Tarsan, seorang ustadz sekaligus pengurus mushalla berusaha untuk mendamaikan kami. "Seorang laki-laki tidak boleh bermusuhan dengan saudaranya selama lebih tiga hari" begitu kata beliau. Lalu...
DEG..!!!!!
Tiba-tiba saya tersadar bahwa ternyata kami terlalu kekanak-kanakan. Menghabiskan begitu banyak waktu untuk saling bermusuhan, yang bahkan penyebabnya pun sudah hampir kami lupakan. Duh Gusti..., betapa khilafnya diri ini.
Akhirnya dengan sedikit canggung dan jaga gengsi kami saling mengulurkan tangan, saling memaafkan, berbaikan dan mengakhiri segala pertengkaran. Rasa kesal yang selama beberapa hari terakumulasi dalam hati pun seakan sirna dengan sendirinya. Rasa was-was berganti dengan ketenangan yang amat menentramkan. Rasanya plong, damai, bebas, lepas, dan.. Ah, entah kata apa lagi yang pas untuk menggambarkan perasaan yang saya alami.
Sebenarnya sampai sekarang pun saya masih menyesali pertengkaran tersebut. Tapi saya juga bersyukur, karena ternyata cukup dengan membuka hati untuk saling memaafkan maka rasa permusuhan yang ada dapat sirna dengan mudahnya.
Purwokerto, 7 Nop 2006
Togie de Lonelie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar