Sebenarnya saya ingin KKN yang biasa saja, tanpa banyak polemik atau problema. Tapi apa mau dikata, ternyata dari awal KKN kali ini memang sudah bermasalah, penuh misteri.
Begini, konon katanya Diknas telah berkali-kali membujuk LPM agar mau memprogramkan PBA pada KKN yang dilaksanakan mahasiswa, tentu saja LPM menolak. PBA itu urusannya Diknas, tidak ada sangkut pautnya dengan KKN. Lagipula Diknas sendiri sebenarnya tidak punya program yang jelas tentang pelaksanaan PBA nantinya. Entah dalam hal pembekalan tutor, persiapan materi, sarana prasarana, dan lain sebagainya.
Sayangnya, kemudian pihak LPM dipanggil untuk "sowan" ke rektorat, disana LPM di ultimatum agar mau menerima PBA. Tentu saja LPM tak punya daya untuk menolak. Usut punya usut, ternyata Diknas telah mengadakan "pembicaraan rahasia" dengan rektorat. Dan sampai saat ini kami belum tahu apa saja yang telah mereka bicarakan. Namanya juga rahasia.
Nah setelah itu muncul berbagai macam kekonyolan :
Pertama : Asal tahu saja, sebelumnya Diknas sendiri telah melatih banyak tutor untuk melaksanakan PBA (non-KKN). Mereka diberi pembekalan selama kurang lebih empat bulan. Tapi saya dengar, PBA yang mereka laksanakan tidak begitu bagus (kalau tidak mau dibilang hampir gagal). Dan tahukah anda..? pada KKN-PBA kali ini, kami, para mahasiswa KKN, diberi pembekalan berapa lama...? Satu hari sodara-sodara..., hanya satu hari. Dari jam sembilan pagi sampai jam empat sore. Pertanyaannya adalah, jika para tutor yang diberi pembekalan selama empat bulan saja belum bisa melaksanakan PBA dengan baik, lalu bagaimana dengan kami...?
Kedua : Diknas telah melaksanakan PBA dan berhasil meluluskan banyak peserta. Akan tetapi kenyataannya, biarpun sudah dinyatakan lulus dan bebas dari buta aksara, mereka masih saja tidak bisa membaca. Aneh kan...? Yang lebih aneh lagi, kalau warga disuruh ikut program PBA (Non-KKN) selama empat bulan tapi masih saja mengalami kesulitan untuk baca-tulis. Lalu bagaimana dengan kami yang hanya diberi waktu dua minggu? sekitar enam kali pertemuan? Coba anda bayangkan, kira-kira hasilnya seperti apa ..?
Ketiga : Yang menyedihkan adalah, Diknas sama sekali "tidak membantu" kami untuk mengatasi permasalahan di lapangan. Mereka hanya menyediakan alat tulis dan sertifikat, lalu kami dilepas begitu saja. sama sekali tidak diperhatikan. Akibatnya, tiap kali ada keluhan, ya kami ini, para mahasiswa ini yang disalahkan. Bukan LPM, apalagi Diknas. Ck, Keterlaluan.
Keempat : Sebagian besar masyarakat lebih membutuhkan kami untuk membantu mengatasi permasalahan umum mereka, Bukan PBA. Ada hal yang lebih krusial untuk ditanggulangi. Seperti buruknya kondisi jalan, wabah demam berdarah dan malaria, masalah di sektor pertanian, peternakan, perikanan, perdagangan, dan lain sebagainya. Itulah yang sebenarnya diharapkan masyarakat setiap kali ada KKN. Jadi, kalau kami disibukkan dengan PBA, lalu masyarakat harus minta bantuan siapa..? Diknas..? Bah..!!!
Terakhir : Berkaitan dengan gaji tutor. Terus terang, kami tidak begitu mengharapkan uang tersebut. Jadi lebih baik disumbangkan saja ke tiap kelompok KKN di desa untuk membantu kelancaran progam lain. Sebenarnya, pada KKN kali ini kami bertemu dengan banyak warga kurang mampu. Mereka mengalami kesulitan untuk mengembangkan usaha, faktor utamanya adalah modal. Jadi, alangkah bermanfaat kalau uang tersebut digunakan untuk membantu mereka. Membentuk koperasi petani kek, membeli bibit kek, membentuk jalur pemasaran kek, penerangan jalan kek, perpustakaan desa kek, yang penting bukan diserahkan ke tiap mahasiswa, mbok nanti malah digunakan untuk berpesta pora. Tapi masalahnya, apakah Diknas berpikir sampai kesitu...? Lha wong saat ditanya tentang gaji tutor saja mereka menjawab "tidak tahu", LPM bilang "Gak ngerti", rektorat lebih parah, cuma geleng-geleng kepala.
Kesimpulannya, sebenarnya boleh-boleh saja kami diberi tugas untuk mengajar, asalkan diberi pembekalan yang cukup, fasilitas memadai, serta bantuan tenaga dari Diknas. Tanpa itu, program KKN-PBA akan sia-sia saja, tak ada gunanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar