Selasa, 17 Juli 2007

Pilkades, Kere & Hantu



Ada pepatah yang berbunyi "Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh". Pepatah ini dicontohkan dengan lidi. Alkisah, jika kita mematahkan banyak lidi secara satu per satu, niscaya lidi tersebut langsung patah. Namun jika lidi tersebut disatukan membentuk seikat sapu lidi dan kita disuruh mematahkannya sekaligus, kita akan mengalami kesulitan. Mengambil hikmah dari hal ini, dalam pelajaran pancasila semasa SD sampai SMA, kita diajari untuk selalu bersatu dalam suka maupun duka. Konon katanya agar dalam suka kita bisa berbagi kebahagiaan dan dalam duka kita bisa saling membantu.

Hal ini benar juga, namun tidak selalu bermanfaat banyak. Sebab jika seorang kere bersatu dengan kere-kere lain dalam satu waktu, satu-satunya bentuk "saling bantu" yang dapat mereka lakukan hanyalah : Berusaha untuk menikmati kekerean secara kolektif, tidak lebih.

Dulu, saat di kampung saya ada acara pilkades, ada empat pemuda yang sedang berstatus sebagai kere. Mereka berkumpul di pertigaan dalam acara gosip bersama yang sasarannya adalah para calon kepala desa. Sebagai kere, mereka tidak punya uang barang seperak pun. Setelah kelaparan gara-gara kebanyakan berorasi, mereka ingin beli meniran* yang harganya tiga ratus perak di warung dekat terminal Purwokerto. Dan berhubung mereka, yang terdiri dari saya (mahasiswa), adik saya (pelajar SMA), si X (Anak SMP) dan si Y (pekerja yang belum gajian) sama sekali tidak punya uang, maka kami hanya bisa meratap sambil mengelus perut yang semakin keroncongan. Ternyata, walaupun status kami berbeda namun pada intinya kami tetaplah sama, sama-sama kere.

Mulanya kami ingin bersilaturahmi saja ke rumah calon kepala desa. Disana, kami pasti disuguhi makanan sehingga perut kami bisa sedikit dikenyangkan. Dan bila di salah satu rumah calon kades makanan yang disediakan kurang banyak, kami tinggal ngelayab ke calon kades yang lain agar dikasih makanan lagi. Etiskah..? tentu. Karena sebagai pemilih, kami harus mengenal dengan baik siapa calon pemimpin kampung kami. Dan perkenalan tersebut tidak maksimal kalau hanya dengan bergosip. Kami harus datang langsung ke rumah mereka, menemui mereka, mendengar visi dan misi mereka. Yaah, walaupun hal itu dilatar belakangi oleh perut keroncongan, tapi tidak apa-apa. Yang penting etis. Sayangnya adik saya tidak setuju dengan usul ini sehingga akhirnya kami memutuskan untuk mencabut singkong saja, di kebun yang terkenal keangkerannya.

Angker..? Benarkah..?

Katanya sih iya. Ada beberapa remaja masjid yang ditemui wanita cantik berpakaian putih di kebun ini. Awalnya saya tidak percaya karena di kampung saya banyak cerita yang dilebih-lebihkan, banyak bohongnya. Namun karena ternyata salah seorang remaja tersebut sangat dikenal kejujurannya. Dan berhubung di kampung saya, hanya dua orang yang benar-benar saya percayai (yaitu Tarmo dan remaja tersebut) maka kabar miring itu terpaksa saya amin-kan saja

Begitulah. Akhirnya malam itu ada empat pemuda yang meluncur ke kebun singkong. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, maka saya sebagai pemuda yang paling tua terlebih dahulu memberikan wejangan dan nasehat.

"Pokoknya nanti kalau ada hantu, kalian jangan lari dulu. Kita ngumpul-ngumpul dulu, terus mulai berhitung. Nah, pas pada hitungan ketiga, kita baru boleh lari. Jangan saling meninggalkan. Jadi, walaupun diganggu hantu atau tidak, kita tetap sama-sama, berbagi suka dan duka. OK..?" Dan mereka pun mengangguk setuju.

Singkat cerita, sampailah kami di kebun singkong. Sebenarnya kebun ini tidak begitu menyeramkan, sama seperti kebun-kebun lainnya. Namun entah kenapa, setibanya disana, saya merasa seperti ada seseorang yang sedang mengawasi kami. Karena itulah saat tiga pemuda yang lain sedang sibuk mencabut dan membersihkan singkong sambil jongkok, saya berkali-kali berdiri dan melihat keadaan sekeliling. Tapi tidak ada sesuatu yang aneh. Hanya ada ratusan daun singkong yang melambai ditiup angin. Berkali-kali saya melakukan hal itu, dan hasilnya tetap sama. Tak ada apa-apa.

Hingga akhirnya, saat kami selesai mencabut singkong dan beranjak pulang, tiba-tiba si X dan si Y yang tadinya berjalan pelan dibelakang saya, lari tunggang langgang sambil berteriak "Ada hantuuu..!! Ada hantuu..". Dan saya, yang tidak bisa lari cepat langsung mencengkeram kerah baju mereka

"Tunggu dulu..!! Hantu apa..?"

"Ada kakek-kakek berambut panjang sedang jongkok Gie. Badannya gede, kalau berdiri mungkin sampai tiga meter" Mereka berkata sambil ingin lari, namun tidak bisa karena saya terus mencengkeram kerah baju mereka.

Akhirnya setelah berjalan dengan susah payah (karena sambil menahan dua orang teman yang tetap ingin lari) sampailah kami di pinggir jalan. Dan setelah mengklarifikasi ke para tetangga, ada kemungkinan bahwa hantu itu adalah peliharaan sang pemilik kebun yang ditugasi untuk jaga malam. Kontan saja saya langsung mencak-mencak. Kenapa..? Karena si X adalah cucu si pemilik kebun, jadi kalau dia pergi mencabut singkong seharusnya dibiarkan saja. Tidak diganggu. Apalagi saya juga heran. Si hantu kan ditugasi untuk menjaga kebun dari para pencuri, kalau memang dia tidak kenal dengan si cucu pemilik kebun (karena dia tetap diganggu) kenapa hantu itu tidak menangkap kami..? Kenapa dia hanya duduk-duduk saja..? Kerja apaan tuh..? Gak becus. Harusnya hantu itu dipecat dan diganti dengan hantu lain yang kerjanya lebih profesional.

Maka dari itu saya pun segera berbalik dan menarik dua teman saya itu kembali ke kebun singkong. Namun baru saja sampai di pinggir kebun, adik saya yang tadinya hanya ikut-ikut saja langsung memprotes tindakan saya.

"Kita kesini buat nyabut singkong Gie, bukan buat ngomelin hantu. Kalau kita balik kesitu lagi, terus kapan kenyangnya..? Memangnya kamu pingin kelaparan sampai besok..?"

Bah, kata-kata apaan tuh..? Bukankah sudah seharusnya kami memprotes si hantu karena sudah mengganggu manusia..? Bukankah kami perlu berkata padanya bahwa dia tidak becus bekerja..? Bukankah kami harus mengklarifikasi lagi untuk mengetahui apakah yang dilihat oleh dua orang itu benar-benar hantu..? Bukankah.....

Ah, sayang seribu sayang, bunyi kriuk-kriuk dari perut saya seakan mengingatkan bahwa kami memang benar-benar sedang kelaparan. Mengingatkan tentang status kami yang sedang kere. Mengingatkan tentang betapa tidak mengenakkannya nasib kaum kere. Sudah kelaparan, gak punya duit buat beli makanan, eh masih pula diganggu urusan hantu. Hingga kemudian kami pun memutuskan untukmeluncur ke rumah, merebus singkong yang ternyata betul-betul enak. Singkong yang entah kenapa terasa begitu manis, begitu lembut di lidah.


*Meniran = Makanan berupa beras yang dibungkus daun pisang dan dikukus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar